Berkontribusi dalam Pendidikan
8:38:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Benar-benar berkualitaskah pendidikan di Malaysia? Apakah pendidikan kita benar-benar kalah kualitas dari mereka. Bisa panjang ceritanya (InsyaAllah lain kali kita bahas..). Saya hanya ingin menyoroti “komitmen” lah yang menjadi kunci mereka menyalip kita. Pemerintah (Kerajaan) mereka benar-benar berkomitmen tinggi untuk memajukan pendidikan, bahkan, saya kira, sejak mereka belum merdeka. Pendidikan benar-benar menjadi prioritas untuk dibenahi jika ingin maju. Tidak ada ceritanya, ganti menteri, ganti kurikulum. Tak ada juga perdebatan panjang tak berujung untuk menentukan apakah dana pendidikan harus sekian persen. Yang ada adalah komitmen untuk berbuat segera, layaknya tindakan dokter di ruang gawat darurat, untuk terus membenahi pendidikan.
Di tempat kita? Saya tak terlalu tega untuk menambah daftar panjang keluh kesah sekian banyak orang tentang pendidikan Indonesia. Saya hanya berfikir, apakah centang perenang masalah pendidikan kita akan selesai hanya dengan berkeluh kesah (atau bahkan mencaci maki).
Sebenarnya saya telah terjun di dunia pendidikan sejak akhir tahun 1997. Ketika saya diterima sebagai dosen di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Cukup lama. Tapi saya merasa, bahwa pendidikan adalah bagian dari hidup, wadah perjuangan, dan perihal lain yang lebih idialis, justeru 3 atau 4 tahun belakangan ini. Tepatnya, bermula ketika 2 orang yang tampak penuh semangat mendatangi saya. Pak Saryo dan Pak Ma’ruf dari SDIT Hidayatullah ditemani Pak Nur Ahmad (dosen UGM tetangga saya) malam itu datang ke rumah. Bukan untuk minta sumbangan, tapi memberikan wawasan baru kepada saya, bahwa membenahi pendidikan adalah kewajiban. Sekecil apapun kontribusi, akan sangat berarti.
Dari merekalah saya bersentuhan dengan fakta-fakta riil yang lebih seram dari berita di Koran tentang kondisi pendidikan kita, terutama di tingkat dasar, swasta, Islam lagi. Tentang guru yang gajinya yang tak layak untuk disebutkan. Tentang anak-anak tak beruntung yang kesulitan mengakses pendidikan bermutu. Tentang manajemen yang masih amburadul, dan seabrek persoalan lainnya. Sebenarnya, sudah sering saya dengar. Tapi merasakan dan melihat langsung, tentu beda.
Melalui sahabat-sahabat itulah saya berkenalan dengan “pendidikan” dalam arti sesungguhnya. Dari situ kemudian, saya aktif dalam forum diskusi informal tentang pendidikan di rumah Bp Prof.Indarto, mantan fakultas teknik UGM, setiap Rabu malam. Di forum itu, ada orang-orang yang telah lebih dulu berkiprah, berfikir dan berbuat untuk pendidikan. Ada Ustadz Sembodo, M. Faudzil Adhim, RUA Zainal Fanani, Sukamta, Slamet Waltoyo, Budi Yuwono, dan masih banyak lagi. Forum itu, disebut Forum Seturan (karena dulu memang tempatnya di Seturan) memberikan banyak pencerahan buat saya. Belakangan, Forum yang diplesetkan menjadi “Forum Studi Relawan untuk Pendidikan”, semakin intens menjadi ajang pembelajaran saya dalam masalah pendidikan. Dari Forum inilah lahir berbagai ide untuk pengembangan pendidikan Islam. Penerbitan majalah Fahma (majalah mungil untuk orang tua dan guru) juga digagas dari Forum Seturan. Setelah Fahma cukup eksis (beredar dari Batam hingga Papua), ide untuk mendirikan Fahma Training Centre yang melayani penyelenggaraan pelatihan,workshop, seminar pendidikan, mengalir dengan sendirinya. Maka digelarlah beragam training di banyak daerah di Indonesia.
Di tahun 2008, saya sempat menjadi trainer beberapa kali pelatihan yang digelar Fahma Training Centre untuk para guru dan pengelola sekolah. Tentu saja yang terkait dengan disiplin ilmu saya, ilmu komunikasi. Diantaranya adalah : Training Penulisan di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, Training Komunikasi Pemasaran Sekolah di Rumah Ibu Yogyakarta, Seminar Peningkatan Kualitas Madrasah di Temanggung, dan Workshop Nasional Merancang Sekolah Berkualitas di hotel Satya Nugraha Yogyakarta.
Bertemu dan berdiskusi dengan para guru dan manajemen sekolah dari berbagai penjuru di negeri ini sungguh mengasyikkan. Mata mereka menyiratkan bahwa tak ada kata lelah untuk berjuang memajukan pendidikan. Bila berada di tengah para pejuang itu, saya semakin yakin pendidikan kita belum mati. Asal semua mau berkontribusi. (***Subhan Afifi)
Berhaji dengan “Enteng”
10:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Pertemuan Forum Seturan yang dimulai dengan shalat Magrib berjamaah itu biasanya diisi terlebih dahulu dengan pengajian bersama Ustadz Bagus Priyo Sembodo. Ustadz Sembodo biasanya membahas secara runtut hingga tuntas sebuah kitab. Kami pernah diajak mengkhatamkan kitab hadist “Arbain”, dan kini kitab tafsir Al-Qur’an, Karimirrahman yang disusun Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, menjadi menu rutin pengajian.
Rabu malam tiga minggu lalu, seperti biasa Ustadz Sembodo secara menarik dan menyentuh hati, membahas Tafsir Surat Adh-Dhuha. Usai membahas ayat terakhir “Wa amma bini’mati Rabbika fa haddist, Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”, Ustadz Sembodo, tiba-tiba menyentak perhatian hadirin. “Saya ingin menyebut-nyebut nikmat besar Allah yang diberikan kepada saya, InsyaAllah besok pagi saya berangkat haji,”. Spontan saja yang hadir mengucapkan Alhamdulillah, dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Betapa tidak, sang Ustadz, sama sekali tak pernah ada kabar akan berhaji. Tahu-tahu pamit mau berangkat besuk pagi. Tak ada ramai-ramai, syukuran, pamitan dan sejenisnya. Bahkan banyak diantara kami yang sering jumpa dan bergaul dengan beliau tak tahu sama sekali rencana itu.
“Bikin rumah, beli mobil, atau apapun, itu tidak wajib,” kata sang Ustadz suatu saat. “Tapi..haji itu wajib.” Haji lah yang seharusnya didahulukan dari beragam keinginan dan kebutuhan di dunia. “Nanti lah suatu saat akan saya ceritakan bagaimana saya bisa berhaji,” katanya malam itu. Mungkin membaca rasa ingin tahu para muridnya, “koq Ustadz bisa naik haji sih”, kalau melihat kehidupan beliau dengan 1 isteri dan 6 anaknya (yang juga diakuinya sendiri) sangat sederhana.
Saya membayangkan betapa “enteng”nya haji ketika penyikapannya a la Ustadz Sembodo. Enteng karena tak perlu syarat macam-macam yang super berat ketika orang ingin berhaji,dan sering kita temui. Berat karena masih menunggu hidup berkecukupan dengan rumah megah dan mobil mewah, baru naik haji. Atau menunggu anak-anak yang jadi tanggungan besar dan sukses. Atau malah menunggu “kesiapan, panggilan dan hidayah”, karena merasa masih bergelimang dosa. Atau menjadi berat karena prosesi haji diikuti dengan beragam “ritual” yang biayanya bisa lebih mahal dari ongkos naik haji.
Ketika berangkat, kesan “berat” juga sulit dihilangkan. “Berat” arti fisik benar-benar terlihat dari barang bawaan para jamaah haji. Banyak para jamaah yang merasa tak nyaman jika tak membawa beragam bawaan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan dilarang. Para petugas ketika pemberangkatan harus bersusah payah menggeledah tas besar jamaah. Para jamaah masih sulit diajak untuk membawa barang bawaan sekedarnya. Bawaan barang yang berlebihan hanya akan menyulitkan. Ketika pulang, bawaan itu dipastikan akan “beranak-pinak” karena bawaan dari Arab Saudi lebih banyak lagi. Di bandara King Abdul Aziz Jeddah, ketika pemulangan barang bawaan yang tidak boleh dibawa karena melebihi kapasitas yang diizinkan menggunung dan menjadi mubazir. Di tanah suci, aktivitas berbelanja oleh jamaah haji merupakan pemandangan sehari-hari, dan jamaah Indonesia dikenal royal plus gemar berbelanja. Berbelanja oleh-oleh untuk sanak keluarga tentu tidak dilarang, tetapi ketika aktivitas itu memberatkan diri sendiri dan orang lain, menjadi layak dipertanyakan.
Secara non fisik kondisi “berat” jamaah juga terlihat dari kondisi kesehatan. Banyak jamaah yang dalam kondisi sakit, sudah sangat sepuh, bahkan stress berhaji, sehingga “memberatkan” dirinya, dan orang lain. Kondisi ini merupakan efek dari merasa “berat” untuk berhaji di usia muda dengan beragam alasan. Dari aspek ibadah manasik haji yang dijalankan sebagian jamaah tergolong berat. Banyaknya do’a yang harus dibaca menjadi beban tersendiri bagi jamaah. Padahal do’a-do’a yang dituntunkan tidak lah sebanyak dan seberat itu. Ketika pulang pun “berat”nya haji tergambar pada harapan masyarakat maupun diri sendiri dengan status Pak Haji dan Bu Haji. Status yang seringkali menjadi ujian keikhlasan. Di beberapa daerah status ini malah memiliki posisi tawar tersendiri secara sosial, ekonomi, bahkan politik.
Sudah saatnya berhaji disikapi dengan “enteng”. Tentu bukan menggampangkan. Kalau haji itu mudah, kenapa dibikin susah. Niat kuat, mengumpulkan bekal secukupnya, berangkat dengan ringan, dan akhirnya pulang, InsyaAllah, menjadi haji yang “entengan”. Enteng beribadah, enteng berbuat untuk sesama. Bukan sebaliknya. (***Subhan Afifi)
Azzam Berhaji
10:06:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
dengan ayat itu. Sampai-sampai anak pertama saya beri nama Azzam.
Begitulah, Azzam untuk berhaji itu saya pelihara terus. Saya menjadi gemar ngobrol tentang haji, membaca buku atau mencari informasi apapun tentang haji. Entah mengapa ada kedamaian dalam semua kegiatan itu. Bahkan, saat jogging atau jalan pagi, saya membayangkan sedang sa’i atau tawaf. Tak terasa sambil jogging pun lantunan talbiyah terucap “labbaik Allhomma labbaik... Aku Datang (InsyaAllah) memenuhi panggilanMu Ya Allah...
Tekad yang kuat harus diiringi usaha yang keras, plus do’a, baru setelah itu boleh bertawakkal. Rumus standar yang nyaris klise dan sering dilupakan. “Ya Allah saya sangat ingin bersimpuh di Rumah..Mu”. Sebagai wujud usaha, segera saya buka tabungan Mabrur,Haji dan Umrah di Bank Syariah Mandiri, 19 September 2005. Setoran awalnya Rp. 500.000. Sambil terus membisikkan do’a dalam hati.. “Ya Allah saya nggak punya apa-apa, saya hanya punya Engkau yang berkuasa atas segalanya. Izinkan lah ya Allah..” begitu seterusnya. Tak terasa tabungan itu terus bertambah. Tak banyak memang,hanya bertambah Rp 100.000 atau Rp. 200.000. Tidak juga rutin setiap bulan. Tapi saya merasa ada getaran ketika saya menyetorkan uang ke kasir bank dengan jumlah yang tak seberapa itu. Begitu seterusnya. Selama 2 tahun lebih saya memelihara “tekad yang kuat” itu dan “berusaha” keras walau seadanya.
Percaya tidak percaya, tahun 2007 lalu saya diizinkan Allah memenuhi panggilanNya. Ya..saya berhaji. Bukan karena tabungan saya mencapai jumlah ONH dalam 2 tahun. Saldo tabungan saya (hingga kini bahkan) berjumlah Rp. 1.645.827,50. Ini bukan cerita sinetron religi televisi swasta kita. Allah berkehendak dengan kekuasaanNya. Saya bisa naik gaji gratis, digaji lagi. Hehe.
Sekitar Agustus 2007, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia dan KBRI Kuala Lumpur mengumumkan kesempatan untuk menjadi Tenaga Musim Haji (Temus) yang akan membantu pelaksanaan haji untuk jamaah Indonesia. Setiap tahun Panitia Pelaksana Haji di Arab Saudi merekrut para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Luar Negeri untuk menjadi Petugas Haji Indonesia. Mahasiswa Indonesia di Malaysia juga dapat jatah, selain di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan negara Asia lainnya. Singkat cerita, saya lolos dalam seleksi Temus PPI Malaysia. Dari sekitar 59 pendaftar, saya terpilih bersama 8 orang rekan. Sebuah keajaiban : Saya yang berlatar belakang ilmu umum, bisa lolos. Rekan-rekan lain yang terpilih, bahkan sebagian besar para pendaftar, adalah mahasiswa S2 dan S3 jurusan Agama Islam (sebagian besar malah S1-nya diselesaikan Timur Tengah, seperti Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Islam Madinah,dan lainnya). Tentu mereka sangat berkompeten untuk menjadi petugas haji. Bahkan ada yang sudah bolak-balik naik haji. Saya ? Subhanallah, belajar manasik haji saja baru kemarin sore. Tapi Allah berkehendak lain.
Ini benar-benar anugrah terindah buat Saya. Hingga saya berangkat dari kost-kostan di Kuala Lumpur menuju bandara KLIA, rasanya saya masih nggak percaya kalau saya akan naik haji. Berbekal tas ransel butut yang saya biasa bawa ke kampus Universiti Malaya, dan koper kecil, saya berangkat. Seorang kawan yang mengantar berkomentar, “koq naik haji seperti mau ke perpustakaan sih.” Benar-benar begitu enteng dan mudah. Alhamdulillah.
Begitulah, penerbangan KL-Dubai-Jeddah, dilanjutkan perjalanan darat Jeddah-Mekah, saat itu, menjadi perjalanan yang paling membahagiakan sepanjang hidup. Hingga akhirnya, saya benar-benar diizinkan bersimpuh di depan Ka’bah, kiblat muslim sedunia itu. Terimakasih Ya Allah. Saya jadi tambah yakin dengan : fa idza azzamta fa tawakkal alallah. Tiada yang tak mungkin, dengan izin Allah. Maka, berniat kuatlah untuk berhaji, atau untuk cita-cita besar apa saja. Apapun kondisinya. Allah akan menunjukkan jalan yang sangat mudah dan indah. Sungguh...! (***Subhan Afifi).
Do'a Untuk 2 Bunda di Multazam
10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Khusus untuk Bunda saya, Ya Allah, saya merasa belum berbuat apa-apa untuknya sebagai tanda bakti. Hingga saat ini, saya tak tahu, bahkan mungkin tak punya, apa “amalan andalan” saya terkait dengan pelayanan saya kepada beliau. Saya merasa belum cukup mampu untuk mencukupi semua kebutuhannya. Saya masih sangat egois dengan diri dan keluarga kecil saya. Ah..hingga sebesar ini, saya tetap saja merepotkan beliau, alih-alih sekedar menawarkan solusi dari segala kesusahannya. Saya teramat khawatir, bagaimana jika Bunda saya dipanggil olehNya, sedang saya dalam posisi belum benar-benar jadi anak berbakti. Malam itu, dengan segala kerendahan hati saya minta ampun atas semua itu. Saya berbisik agar Allah memberikan kesehatan, kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan Bunda saya. Kalaupun Allah berkenan memanggilnya suatu saat, maka saya memohon agar beliau diringankan dalam Sakratul Mautnya. Diberi akhir yang baik. Bukankah tak ada keindahan dalam akhir kehidupan selain Khusnul Khatimah?
Untuk Bunda anak-anak saya, saya membisikkan harap agar ia diberi kekuatan dan jalan yang terang. Sungguh, peran yang ia sandang jauh lebih berat. Menjadi madrasah bagi permata hati kami, mendapingi jejak hidup saya, sekaligus berbuat yang terbaik untuk ummat melalui keahlian profesionalnya. Maka terbayanglah segala kenaifan saya menghadapi anugerah terindah itu. Sebagai suami, saya sering berperilaku bak presiden negeri super power tanpa cela yang harus diikuti segala maunya. Atas nama cinta dan ketaatan, saya menempatkan diri pada posisi yang selalu harus dilayani, tanpa menyisakan ruang untuk melayani. Astaghfirullah !
Begitulah, dua bunda ini, menyita perhatian saya di Multazam. Sejatinya, membayangkan 2 bunda adalah membayangkan peran ke-ayah-an. Kesuksesan peran ayah, diantaranya, ditentukan oleh mereka berdua. Kelak, bagaimana anak-anak memperlakukan ayahnya ditentukan oleh model perlakuan sang ayah yang diberikan kepada 2 bunda itu (termasuk ayah kandung & ayah-bunda mertua, tentunya). Inilah hukum alam yang sangat rasional. Siapa memberi, dia akan mendapat lebih banyak. Siapa yang melayani dengan ikhlas, ia akan dilayani sepenuh hati. Saat ini, para anak sedang mengintip dengan mata hatinya, bagaimana sang ayah melayani nenek (dan tentu juga kakek) mereka. Apakah ia cukup sabar, atau sering mengeluh, atau bahkan menghadapi mereka sebagai beban? Naudzubillah ! Apakah ”teori” tentang birrul walidain yang sering mereka dengar dari sang ayah, benar-benar ada contohnya? Kalau tidak, jangan kaget, mereka akan setengah berteriak di balik pintu : ”Huuuu ! Preettt !”
Terhadap bunda tercinta mereka, anak-anak sedang meneropong dengan tatapan sucinya, bagaimana sang ayah berbuat dalam keseharian. Apakah bunda mereka yang hebat, diperlakukan seperti ratu atau malah tak ubahnya pembantu? (Bukankah laki-laki terbaik adalah laki-laki yang paling baik memperlakukan isterinya ?). Apakah sang ayah cukup tanggap dengan segala kerepotan bunda mereka, atau tetap memposisikan diri sebagai mandor yang bisanya hanya tunjuk sana, suruh sini? Apakah sang ayah selalu berkata manis penuh penghargaan dan terimakasih atas segala kebaikan yang diberikan bunda mereka? Bukankah bunda mereka terkasih telah menumpahkan segala bentuk kebaikan di rumah, sejak matahari belum terbit, hingga mata sang ayah terbenam ?
Malam itu, di Multazam, saya benar-benar bersimpuh, terutama untuk 2 bunda. Terisak karena banyak kekeliruan dan pasang niat untuk lebih baik. Tak tahu mengapa, malamnya saya tertidur begitu tenang. Saya tak sempat lagi mengingat-mengingat apa yang saya panjatkan di Multazam. Pagi harinya, dalam perjalanan menuju bandara King Abdul Aziz Jeddah, saya mendapat sms dari tanah air. Mengabarkan Bunda saya tiba-tiba berada dalam kondisi kritis, padahal sebelumnya sehat wal afiat. Di pagi hari Jum’at itu, Bunda saya baru saja pulang takziyah ke rumah seorang tetangga muslim. Tak banyak yang diucapkan dan dikeluhkannya, ketika beliau masuk kamar, membersihkan diri, dan berbaring menghadapi sakratul maut-nya dengan begitu tenang. Beberapa saat sebelum shalat Jum’at ditunaikan, menurut penuturan orang-orang disekelilingya, Bunda saya menghadap Sang Khalik dengan wajah tersenyum. Innalillahi wa inna ilahi rojiun.
Kekhawatiran saya terjadi juga. Saya akhirnya belum sempat mempersembahkan bakti terbaik untuk bunda saya. Saya bersedih bukan karena kematiannya, karena kematian adalah kepastian. Tak ada yang bisa mengelak darinya. Saya bersedih karena saya belum optimal dalam melayani, persis ketika ayahanda saya wafat 10 tahun lalu, ketika saya, dengan berbagai alasan, belum juga betul-betul menunjukkan tanda-tanda sebagai anak yang berbakti.
Kini, masih ada Bunda anak-anak saya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan yang akan berlalu dengan cepat ini. Masih dari tanah suci, saya sempatkan mengirim sms untuknya, semacam pengakuan atas kesalahan dan peneguhan komitmen : ”Sayang, Mas cinta adik karena Allah. Sungguh, cinta yang terus tumbuh dan bersemi, hingga di surga nanti. InsyaAllah!” (**Subhan Afifi)
Haji dan Napak Tilas Sejarah
10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Saya menyesal, saat berkesempatan haji, bacaan sejarah saya masih sangat lemah. Saya hanya tahu beberapa peristiwa umum di zaman Rasul. Rasul menerima wahyu pertama di gua Hira’, atau Rasul bersembunyi di gua Tsur bersama sahabatnya, Abu Bakar, ketika dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy saat berhijrah ke Madinah. Juga tentang beberapa peperangan di Kota Madinah, seperti perang Uhud yang fenomenal itu. Sayangnya pengetahuan itu sangat minim.
Sebagai petugas haji, saya dan kawan-kawan saat itu, datang ke Mekkah beberapa Minggu sebelum jamaah haji berdatangan. Pulangnya pun terakhir, ketika para jamaah telah kembali ke tanah air semua. Saya sempat merasakan bagaimana lengangnya Masjidil Haram, sebelum dan sesudah masa haji. Kesempatan langka yang mungkin tak akan terulang.
Ketika awal datang ke Mekkah, setelah umrah ditunaikan, dan waktu untuk bertugas belum datang, saya berkesempatan menyusuri beberapa penggal sejarah Rasululloh. Saat itu, saya dan kawan-kawan mahasiswa di Malaysia, ingin sekali menapaktilasi sejarah turunnya wahyu pertama di Gua Hira’. Tapi rupanya kami nyasar ke gunung Tsur. Supir Arab angkot omprengan itu tanpa bicara apa-apa membawa kami ke Gunung Tsur, padahal kami mintanya ke Jabal Nur, tempat Gua Hira’. Ya sudahlah. Dengan semangat menyala kami mendaki Gunung itu saat siang panas menyengat. Mungkin karena baru nyampe di Mekkah, dan energi masih berlebih, saya dan kawan-kawan tak menghiraukan medan yang berat. Sambil tentu saja membayangkan bagaimana Rasululloh dan Abu Bakar mendaki gunung itu, menghindari kejaran para musuhnya. Atau bagaimana Asma’ binti Abu Bakar yang bolak-balik mengantar makanan kepada mereka berdua saat bersembunyi di gua itu. Jangan membayangkan gunung di Arab seperti gunung Merapi atau Merabu yang sejuk dan hijau. Gunung Tsur terjal, berbatu, dan tanpa sebatang pohon hijau pun. Masih dilengkapi dengan panas menyengat. Di puncak gunung itulah, kami menemukan sebuah gua kecil yang tak terurus. Tempat Rasululloh dan Abu Bakar bersembunyi sedangkan di mulut gua para pengejarnya sudah tak berjarak. Maka muncullah perkataan Rasul yang diabadikan dalam Al-Qur’an : La Tahzan, Innalaha Ma’ana, Jangan khawatir, Sesungguhnya, Allah bersama kita. Menenangkan Abu Bakar, yang secara manusiawi, merasa resah dan takut.
Pemerintah Arab Saudi memang tidak memprogramkan pemeliharaan tempat-tempat bersejarah. Kalau di Indonesia mungkin sudah dibangun tugu peringatan atau malah jadi tempat wisata. Di jalan menuju gunung Tsur bahkan ditulis besar-besar anjuran untuk tidak mendatangi tempat itu, karena bukan termasuk perkara yang disyariatkan. Takut para jamaah haji datang berbondong-bondong, dan menyalahgunakannya untuk hal-hal yang berbau syirik. Seperti yang banyak terjadi di Jabal Rahmah, gunung di padang Arafah yang diyakini tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah diturunkan dari Syurga. Di situ banyak ditemukan para jamaah yang melakukan beragam perkara yang dilarang seperti menulis nama dan menempel foto agar diberi enteng jodoh, atau meminta berkah.
Tentu tak ada maksud lain, ketika kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah di zaman Rasululloh. Selain mencoba menghadirkan jejak masa lalu untuk menambah semangat dalam kehidupan sepulang haji. Ketika menyusuri jalan panjang Mekah-Jeddah-Madinah, juga kami merasakan betapa berat perjalanan hijrah Rasululloh dan para sahabatnya. Ketika mengunjungi masjid Nabawi, makam Rasululloh, Abu Bakar dan Umar, serta kompleks pemakaman para sahabat lain di Baqi’, seakan kita di bawa ke masa silam yang penuh hikmah. Atau ketika mengunjungi bukit Uhud, masjid Kiblatain, masjid Kuba, dan banyak lagi. Jika saja, sirah nabawiyah kita kuasai dengan detail, ruh perjuangan mereka akan terasa hadir lebih dekat. Perjalanan napak tilas sejarah itu, akan membangkitkan jiwa, untuk bersungguh-sungguh dalam hidup. Seperti yang pernah mereka, Rasululloh dan para sahabatnya, orang-orang yang Agung, contohkan. Agar hidup tak berlalu begitu saja ! (***Subhan Afifi)
Menjadi Ayah yang Dicintai
12:10:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Ramadhan dan Perubahan
8:43:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi
Salam Kenal
2:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Bermula dari Niat
4:04:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Tapi tunggu, saya teringat dengan sebuah hadist terkait peristiwa hijrah :
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung niatnya. Dan bagi setiap orang, apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang ingin dikawininya, maka hijrahnya seperti yang ia niatkan.”
Subhanallah, perbuatan boleh sama, kesulitan yang dihadapi serupa, tapi hasilnya bisa berbeda 100 %. Ternyata tak semua yang berhijrah itu benar-benar mengharap ridho Allah. Ada juga yang menempuh segala kesulitan hanya karena ingin jadi lebih kaya. Bahkan ada karena ingin mengawini pujaan hati. Duh.. sesuatu yang manusiawi, tapi sangat fatal akibatnya.
Semua memang bermula dari niat. Niat dalam hati. Hanya kita dan Allah yang tahu, apa niat kita melakukan segalanya selama ini. Untuk apa sih kita bersusah payah bekerja, jungkir balik seharian, mengejar sesuatu habis-habisan, atau buat yang sedang belajar, kuliah mati-matian? Kalau niatnya hanya untuk dunia, (materi, pujian, atau segala sesuatu yang akan kita tinggalkan) semuanya memang akan kita dapatkan. Tapi betapa ruginya. Seharusnya, segalanya kita niatkan untuk ibadah kepadaNya, mencari keridhoanNya. Dunia dan segalanya akan mengikuti, kalau ridho Allah yang jadi tujuan. Sudah selayaknya niat dibenahi, agar semuanya bermakna, hingga di surga nanti.(***Subhan Afifi)
Komunikasi Kontempoter & Perkembangan Teknologi Komunikasi
7:08:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi
Pencitraan Indonesia di Luar Negeri
Manajemen komunikasi bencana
Stategi Komunikasi Kebijakan Publik
Personal Branding Elit Politik
Electronic Government
Eksistensi Media Cetak di Era Digital
Pornografi di Internet
Cyber Crime
Media dan Terorisme
Media dan Konflik Keagamaan
Media dan Irasionalitas Masyarakat
Media dan Isu Lingkungan
Propaganda Media Barat terhadap Islam
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Infotainment
Televisi dan Budaya
Televisi, Kekerasan dan Anak-Anak
Etika Jurnalistik Televisi
Komunikasi Pendidikan
Regulasi Telekomunikasi
Film dan Identitas
Etika periklanan
Semiotika Grafiti
Selain mata kuliah Komunikasi Kontemporer, pada semester pendek tahun ajaran 2007/2008 ini, saya mengampu mata kuliah Perkembangan Teknologi Komunikasi. Mata Kuliah ini membahas perkembangan teknologi komunikasi dari perspektif ilmu komunikasi. Objek material ilmu komunikasi adalah masyarakat dan media, jadi mata kuliah ini akan menitikberatkan perhatian pada eksplorasi konsep-konsep dasar, konsekuensi sosial dan konsekuensi kultural teknologi komunikasi.
Hakekat Teknologi Komunikasi
Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi
Mediamorfosis dan Pengaruh Kemajuan Teknologi terhadap Media Komunikasi
Konsep dan Aplikasi dalam Cyberspace
Konsekuensi Sosial Teknologi Komunikasi
Konsekuensi Kultural Teknologi Komunikasi
Agenda Penelitian Teknologi Komunikasi
Abrar, Ana Nadhya, 2003, Teknologi Komunikasi, Perspektif Ilmu Komunikasi, LESFI, Yogyakarta
Fidler, Roger, 2003, Mediamorfosis : Memahami Media Baru, Bentang, Yogyakarta
Holmes, David, 2005, Communication Theory, Media, Technology, Society, Sage, London
Pavlik, John V, 1996, New Media Technology, Cultural and Commercial Perspectives, Allyn and Bacon, Boston
(***Subhan Afifi)
10 Pemenang Hibah Penelitian Pemkot Jogja
7:01:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi
Berlibur Ke Perpustakaan
1:42:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Saya terkesan, betapa mereka sangat menghargai buku dan para pencinta buku. Tengoklah bagaimana para petugasnya melayani para pengunjung dengan ramah dan sigap. Ketika saya menjelajahi “The Lee Kong Chian Reference Library” dari lantai 7-13, petugas jaga selalu siap menjawab pertanyaan bahkan mengantar saya menemukan buku di raknya, setelah mengecek di komputer katalog. Di lantai 11, saya mencari sebuah buku berjudul “Future Television”. Petugasnya meminta saya menunggu 10 menit. “Buku ini, ada di bagian yang lain, akan saya ambilkan,” katanya. Tepat 10 menit, Ia datang dengan buku berwarna cerah. “Apakah buku ini yang anda cari ?” katanya dalam bahasa Inggris berlogat China. Olala, rupanya buku itu adalah fiksi ilmiah anak-anak.
Singapore memang memberikan perhatian besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang disimbolkan melalui buku. Sayangnya, wisatawan Indonesia yang menjadi juara 1 pengunjung terbanyak di Singapore (tahun 2007 berjumlah 1.956.000 orang) tidak begitu berhasrat menjadikan National Library atau perpustakaan-perpustakaan lain sebagai objek kunjungan mereka. Mereka lebih tertarik membajiri Orchard Road dan tempat-tempat sejenis. Mereka adalah para penggila belanja alias shopoholics yang terkenal paling royal. Tak ada sama sekali kesan Indonesia adalah negara miskin, bila melihat orang-orang yang gila belanja itu di Singapore. Saya jadi teringat 3 orang permata hati saya yang sedang “gila” membaca : Azzam, Zulfa dan Nuha. Andai saja mereka berkesempatan mengunjungi negeri-negeri yang lain, termasuk Singapore, maka perpustakaan yang mencerdaskan, selayaknya menjadi objek kunjungan utama mereka. (InsyaAllah ya Nak.. suatu saat!).
Saya tak begitu tega membandingkan kondisi National Library Singapore itu dengan suasana perpustakaan nasional atau perpustakaan daerah kita yang berdebu. Hanya saja, saya bertanya dalam hati, sebegitu miskinkah kita? Apakah pemerintah atau tokoh-tokoh kita tak punya cukup uang untuk membangun perpustakaan yang layak dan nyaman, sehingga menjadi tujuan utama para orang tua dan anak untuk “menghabiskan waktu”? Sepertinya tidak. Buktinya,mereka mampu menggelontorkan banyak duit untuk klub sepak bola yang kalah melulu. Nyatanya, para pemimpin lebih suka menghabiskan uang milyaran rupiah untuk mengiklankan diri di televisi, atau memasang potret diri mereka, lengkap dengan slogan-slogan tanpa bukti di sepanjang jalan seantero negeri. Atau, tengok saja, seorang isteri gubernur di suatu daerah menghabiskan dana jutaan rupiah untuk memasang iklan di harian lokal, “hanya” untuk mengumumkan kepada publik kalau kucing kesayangannya hilang.
Masalahnya ada pada visi. Visi untuk jadi bangsa yang maju dan cerdas lewat buku yang belum kita punya. Budaya baca yang rendah sudah lama disadari, tapi tak pernah sungguh dicarikan solusi.Banyak sebenarnya yang bisa dilakukan semua pihak untuk mengejar ketertinggalan kita di dunia pustaka. Perpustakaan nasional, daerah atau yang dimiliki perguruan tinggi sudah saatnya direformasi menjadi pusat ilmu senyaman pusat-pusat perbelanjaan. Bukan sekedar asal ada. Uang-uang berlebih dari para orang kaya, pejabat, kandidat kepala daerah, tokoh parpol, atau siapapun, akan lebih bermakna bila diinfakkan ke perpustakaan, daripada “hangus” di jalan-jalan.
Dalam skala yang lebih kecil, kita bisa berbuat lebih banyak dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah kita. Tak masalah rasanya, jika gedung sekolah terlihat sederhana, tetapi koleksi buku-buku perpustakaan bertambah setiap bulan. Ruangan dan fasilitasnya dibuat paling lengkap dan nyaman. Perpustakaan sudah selayaknya mendapat prioritas nomor satu. Para petugas perpustakaan juga bukan ala kadarnya tetapi pustakawan profesional yang benar-benar cinta buku.
Beruntung, sekolah anak saya, Azzam dan Zulfa, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, telah menunjukkan itikad baiknya untuk menempatkan perpustakaan dalam posisi terhormat. Hampir setiap hari, Azzam dan Zulfa membawa buku baru dari perpustakaan sekolahnya. Kadang mereka harus diingatkan berkali-kali untuk ganti baju sekolah atau mandi, karena keasyikan membaca buku pinjaman begitu tiba di rumah. Menurut cerita mereka, perpustakaan sekolah selalu penuh pada jam-jam istirahat. Para siswa lebih memilih beristirahat dengan membaca, atau menonton koleksi audiovisual yang lumayan lengkap di perpustakaan yang sejuk.
Ketika saya pulang ke Jogja, saya menemukan sebuah perpustakaan umum yang nyaman di Jogja Utara : Taman Bacaan Natsuko Shioya. Saat kami sekeluarga mengunjunginya, kami semua langsung merasa betah. Koleksi bacaannya cukup lengkap. Gedung dan ruang bacaannya yang didisain nyaman dengan suasana alam yang menyegarkan, membuat anak-anak sulit diajak pulang. Rasanya waktu berlalu begitu cepat di situ. Perpustakaan itu bukan milik pemerintah, atau dibangun oleh tokoh nasional yang banyak uang. Tapi didedikasikan oleh Glen Goulds, asal Australia dan perusahaan tempatnya bekerja CV Satria Grafika untuk mengenang seorang turis Jepang yang dulunya sering berkunjung ke Yogyakarta, Natsuko Shioya. Nyamannya suasana perpustakaan itu membuat saya dan isteri tak lagi bingung merencanakan liburan anak-anak. Kami sudah menggagendakan Taman Bacaan Natsuko Shioya (dan mungkin perpustakaan-perpustakaan lain di kota kami) menjadi tujuan utama untuk mengisi liburan mendatang. Ya, InsyaAllah, kami akan berlibur ke perpustakaan. (***Subhan Afifi)
Ketika Penulis Blog Ditangkap
4:54:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Dua negara yang katanya serumpun itu sering menghadapi masalah dalam hubungan. Citra Indonesia, kalau kita membaca media Malaysia, memang tidak begitu sedap. Judul-judul berita seperti ini dapat ditemui : “Curiga dengan Koloni Indon”, “Indon Asingkan Diri, Enggan Campur Gaul Masyarakat Tempatan Meskipun ada Antara Mereka Miliki PR”, “Geng Indon Pecah Rumah Hujung Minggu Mengganas”, “Malaysia tidak Kemaruk Indon”, “Amah Indon Lega Tinggalkan LCCT”, “Indons and Filipinos Top In Crime”, “Indons Robbed, Woman Rapped”, “Warga Indon dituduh Samun Suri Rumah”, “Indon Cemar KL”, dan masih banyak lagi. KBRI KL telah melayangkan surat protes tentang penyebutan kata “Indon” yang bernada merendahkan itu, tapi tetap saja media masih menggunakannya, walau sudah agak berkurang. Di tataran masyarakat Malaysia, kata “Indon” sudah sangat popular untuk menyebut warga Indonesia dengan konotasi bermasalah.
Media Indonesia pun dikritik karena dianggap tidak berimbang dan sering menjelek-jelekkan Malaysia. “Media Seberang Tak Adil, Stesen TV Lapor Berita Negatif Mengenai Malaysia Setiap Hari”, begitu judul berita Harian Metro 13 September 2007. Begitulah !
Menurut Dr Abu yang juga jadi penyelia thesis PhD saya, citra negatif tentang orang Indonesia di media massa Malaysia atau sebaliknya, sudah sepatutnya dihentikan. Karena era ke-sejagad-an tak lagi menyediakan tempat bagi pertentangan karena hal yang “remeh-temeh”. Persoalan pencitraan negatif, khususnya tentang orang Indonesia di Malaysia, menurut Dr Abu, tak lepas dari aspek ekonomi politik media. “Media-media mainstream Malaysia dikendalikan partai berkuasa, UMNO. Citra seperti itu tak ditemui di media-media alternatif,” katanya. Dr Abu menjelaskan panjang lebar bahwa ke depan, berita-berita yang mencitrakan negatif Negara lain tak akan laku di Malaysia, karena masyarakat semakin kritis dan terbuka.
Dr Abu Hassan merupakan salah satu dosen UM yang sering bersuara kritis. Beliau sering diundang berbagai stasiun televisi di Malaysia untuk menjadi narasumber dalam talkshow-talkshow politik terkini. Komentar-komentar tajamnya terhadap penguasa, tak urung membuat ada salah seorang wartawan media Malaysia bertanya : “Apa tidak takut ditangkap?”. Dr Abu hanya tersenyum dan berkata : “Pak Lah berbeda dengan Mahathir, saya menyuarakan pendapat untuk perbaikan masyarakat,” katanya di belakang setir, ketika mengantarkan saya pulang ke kolej 11, pukul 11 malam.
Tadi pagi, saya terkejut membaca Berita Harian. Dua penulis blog, Raja Petra Raja Kamaruddin dan Syed Akbar Ali, ditangkap polisi karena menulis artikel yang dianggap menghasut di blog Malaysia-Today. Ini adalah kali pertama penulis blog didakwa berdasarkan Seksyen 4(1)(c) Akta Hasutan 1948 dengan hukuman maksimum denda RM5,000 atau penjara tiga tahun.
(**Subhan Afifi)
Kun Fa Yakun di Kuala Lumpur
3:00:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Ustadz Yusuf Mansur tidak sekedar sedang berteori, tapi bercerita dari pengalaman nyata. Ia sendiri pernah terlilit hutang Rp. 1,4 Milyar, dan mampu diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Demikian juga dengan testimoni para pendengar pengajiannya di berbagai kota. Inti dari matematika sedekah itu adalah : tidak akan berkurang harta yang kita sedekahkan, bahkan bertambah. Jika kita punya uang Rp.110.000, kita sedekahkan Rp.10.000 maka sisa uang itu bukan menjadi Rp.100.000, tetapi menjadi Rp 200.000. Ini karena Rp.10.000 yang disedekahkan itu akan dikembalikan Allah menjadi 10 x lipatnya (=Rp.100.000). Maka dengan rumus yang sama, jika uang Rp110.000 itu disedekahkan Rp.100.000, bukan bersisa Rp.10.000, tetapi menjadi Rp.1.010.000. Lagi-lagi karena, yang Rp100.000 itu dikalikan 10. Seorang mahasiswa yang diminta maju ke depan saat pengajian itu, dan hanya membawa uang RM 22, memilih untuk memberikan sedekah RM20, bukan RM2, karena menurut hitung-hitungan matematika sedekah, uangnya akan berlipat menjadi RM202.
Jadi, kata Ustadz, “kalau mau sedekah dan ingin masalah teratasi jangan tunggu uang sisa, karena pasti uang kita nggak bakalan ada sisanya.” Kalau ingin dapat rezeki besar bersedekahlah. Ingin motor atau mobil baru, bukan dengan mengajukan kredit, tapi bersedekahlah 10 %-nya dari total harganya, maka dengan izin Allah, rezeki itu akan datang. Punya utang tak lunas-lunas, sedekahkan 10 % dari total utang. Buat yang sedang nyari jodoh, Ustadz menyarankan untuk “menghitung” kira-kira suami yang diidam-idamkan bergaji berapa sebulan, kalikan 12 (setahun), tambahkan dengan biaya pernikahan dan lain-lain. Dan bersedekahlah 10 % dari totalnya, InsyaAllah suami dambaan segera datang. Mau naik haji cepat, infakkan 10 % dari Ongkos Naik Haji. Ringkasnya, masalah apapun InsyaAllah akan teratasi dengan rumus itu. Tentu saja semuanya harus dengan keyakinan.
Subhanallah, saya kagum dengan cara Ustadz itu menginspirasi dan menggerakkan banyak orang. Para jamaahpun ramai-ramai meletakkan uang sedekah di sorban yang digelar Ustadz, dan menulis komitmen jumlah Rp yang akan disumbangkan untuk program PROGRAM PEMBIBITAN PENGHAFAL ALQUR'AN - DAARUL QUR'AN, di Pondok pesantren Wisata Hati yang dipimpinnya.
Saya pun pulang dengan semangat baru. Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, apakah sedekah yang kita berikan hanya didorong oleh hitung-hitungan matematis, “berapa” yang akan kembali lagi ke kita? Bagaimana kita menjaga keikhlasan? Di akhir pengajian, memang Ustadz menyampaikan bahwa apa yang dijelaskannya masih “Gigi Satu” : bersedekah karena ingin menyelesaikan masalah. Di tahap berikutnya, ada sedekah yang didorong karena syukur kepada Allah, karena cinta kepada Allah. Mungkin itu jawabannya. Alhamdulillah saya mendapat pencerahan hari itu.(***Subhan Afifi)
Mediamorfosis Gaya Malaysia
1:30:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Efek “kemenangan” oposisi merambah ke berbagai sudut. Dunia kampus yang selama ini steril dari perbincangan politik, mulai dipanaskan oleh diskusi-diskusi dan kritik para mahasiswa dan pensyarah (dosen)nya. Masyarakat yang biasa apatis terhadap politik, semakin tertarik bicara politik. Yang menarik, media massa yang selama ini berada dalam pasungan kerajaan, mulai menunjukkan geliat perubahannya. Media Malaysia sedang bertransformasi dari alat komunikasi yang memberi legitimasi bagi kekuasaan, menjadi media yang berorientasi pada publik dan mendukung demokratisasi. Ada kecenderungan media massa Malaysia memanfaatkan perubahan politik untuk menuju sistem media yang lebih bebas, terbuka dan menjadi penopang demokrasi. Walaupun media cenderung menumpang arus perubahan, karena terlihat ketika pemerintah masih sangat kuat media tidak berbuat untuk perubahan itu, tetapi sejak Badawi kehilangan populeritasnya media memanfaatkan ketidakberuntungan itu.
Menuju Universitas Ramah Difabel
3:11:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Rupanya si mahasiswa tadi tidak sendiri. Saya cukup surprise melihat cukup banyak kaum difabel yang hilir mudik di kampus itu.
Fenomena di atas ternyata dapat ditemui di hampir semua universitas di
Fasilitas publik di luar kampus, seperti bus
Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakat
Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi.
Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.
Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.
Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.
Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.
Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.
Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)
Mogok Sekolah, Tak Perlu Marah
3:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Soal-soal ujian bernama kesabaran itu, justeru diperkenalkan oleh bidadari kecil kami, Zulfa Athifah (6 tahun). Sebagai anak kedua, Zulfa menunjukkan keunikan sekaligus kelebihannya. Sejak bayi, puteri kami ini menunjukkan kreativitasnya yang luar biasa. Kalau menangis, suaranya keras melengking, dan susah untuk dihentikan. Belakangan, terlihat kemauannya keras, susah untuk dipatahkan. Bak diplomat ulung, “argumentasi-argumentasi” si kecil Zulfa susah untuk ditaklukkan.
Saat itu, saya merasa tak ada yang patut dicemaskan dengan mogok sekolah itu. Dan satu hal yang paling saya ingat, saya berusaha untuk TIDAK MARAH. Kami tak ingin marah-marah. Apalagi mencak-mencak menyalahkan sekolah. Para guru di TKIT itu sudah sedemikian ikhlas dan berjuang keras mendidik anak saya. Tapi, mungkin juga ada sesuatu yang perlu dicari sebagai sumber masalah. Kami mencoba terus mengkomunikasikan masalah ini dengan para guru. Sebagian besar guru menyarankan, “biar saja Pak, nggak usah dipaksa, toh semua kompetensi yang diharapkan, sudah dikuasai Zulfa”. Benar juga, di balik sikap ogah-ogahannya untuk sekolah, Zulfa tak ada masalah dengan berbagai “pelajaran” di TKIT itu. Bahkan, untuk membaca, sejak TK A, Zulfa sudah lancar membaca. Kami tidak pernah mengajarkannya membaca.Tidak juga menerapkan metode Glenn Doman atau apa. Rasanya, tau-tau saja dia bisa membaca. Kami hanya sering, bahkan rutin, membacakan buku-buku sejak dia masih bayi. Kini, buku-buku sekelas Ensiklopedi Bocah Muslim sudah menjadi santapan kegemarannya.
Sekolah Unggulan Untuk Kaum Miskin
2:59:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi
Sekolah unggulan sering dimaknai sebagai sekolah untuk melahirkan anak didik yang unggul dengan dukungan standar mutu untuk menciptakan prestasi siswa, kurikulum yang sarat muatan, guru berkualitas, sarana-prasarana yang lengkap dan pengelolaan sekolah yang baik. Profil sekolah unggulan di tengah masyarakatpun dapat dilihat dari prestasi siswa mulai dari juara berbagai lomba, tingkat kelulusan UAN, diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit, dan sebagainya.
Sayangnya untuk menikmati semua itu, sekolah unggulan meminta biaya sangat mahal. Untuk masuk sebuah TK unggulan di Yogya saja, uang masuknya jutaan rupiah. SD pun demikian, selain harus antre dan mendaftar beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka, orang tua rela merogoh saku dalam-dalam. SMP dan SMA sami mawon. Puluhan juta rupiah harus disediakan. Tak salah bila banyak pihak menilai sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya (the have). Sekolah jenis ini sama sekali tertutup bagi kaum miskin (the have not). Kaum miskin akhirnya bersekolah –itupun kalau beruntung sekolah, karena lebih banyak lagi yang putus sekolah– di sekolah-sekolah dengan kategori “pinggiran” alias “tidak unggul” dan “seadanya”.
Usaha untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum miskin bukan tak pernah dilakukan. Berbagai model “sekolah alternatif untuk kaum miskin” telah dikembangkan di berbagai kota. Di Kalibening Salatiga misalnya, sebuah SMP untuk kaum miskin didirikan dengan konsep pendidikan murah dan berkualitas. Di Bandung, ada SMA khusus untuk kaum miskin yang digagas seorang pengusaha. Sekolah ini benar-benar gratis. Demikian juga di Jakarta, dan kota lain termasuk Yogyakarta, sekolah untuk kaum miskin telah didirikan oleh berbagai lembaga ataupun perorangan. Semua itu layak untuk diberi apresiasi, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas dibanding dengan jumlah kaum miskin yang harusnya terlayani.
Bila program ini berjalan mulus, maka kelak “Program Orang Tua Asuh” dapat menjadi “core business” sekolah, tidak lagi mengandalkan SPP atau pungutan dari orang tua. Artinya, bisa saja sekolah benar-benar dapat diusahakan menjadi murah atau bahkan gratis karena dananya ditanggung oleh donatur. Sebagai ilustrasi, sebuah sekolah unggulan, SDIT Hidayatatullah, di kawasan Jogja Utara, setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada anak kurang mampu untuk menikmati layanan pendidikannya. Untuk keseluruhan kegiatan sekolah tersebut memiliki sumber pembiayaan dari SPP (48 %), BOS (17 %), donator (14 %), Komite Sekolah (20 %), Lain-lain (2%). Terlihat bahwa dana donator atau orang tua asuh jumlahnya hampir menyamai dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Bila usaha ini terus dilaksanakan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus meningkat. 14 % dana dari donatur dari keseluruhan pendapatan sekolah dapat digunakan untuk membiayai anak miskin.
Ilustrasi tersebut memperilihatkan bahwa program “Sekolah Unggulan untuk Kaum Miskin” itu dapat memberikan kontribusi besar dalam mengurai benang kusut persoalan pendidikan kita. Salah satunya adalah sekolah akan terhindar dari sikap diskriminatif. Sebuah prinsip dalam filosofi pendidikan yang sering dilanggar. Sekolah seharusnya terbuka bagi siswa dari semua jenis kalangan. Heterogenitas siswa memberikan dampak yang positif dalam keperibadian anak didik. Siswa dari golongan kaya dapat bersosialisasi dengan anak dari golongan miskin. Mengetahui kekurangberuntungan mereka, berempati hingga suatu saat muncul keinginan untuk berbagi. Siswa miskinpun akan muncul kepercayaan dirinya bila diberikan kesempatan bergaul dengan siswa yang lebih dari mereka dari segi ekonomi. Kepercayaan diri akan menghilangkan perasaan minder.
Catatan : Tulisan ini dibuat 6 Desember 2006 dan pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jateng-DIY, www.kompas.com/kompas-cetak/0612/16/jogja/1031803.htm