Sekolah Unggulan Untuk Kaum Miskin

2:59:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi


Yogyakarta masih menjadi gudangnya sekolah unggulan. Dari tingkat TK hingga SMA, berbagai model sekolah unggulan, sekolah favorit, atau apapun istilahnya, dapat ditemui. Negeri maupun swasta tak jadi soal. Asal citra sekolah “wah”, fasilitas lengkap, kurikulum oke, maka para orang tua pun berbondong-bondong menyekolahkan putera-puterinya. Berapapun biayanya. Inilah masalahnya. Sekolah unggulan yang telah melahirkan banyak prestasi, hanya untuk the have, mereka yang punya duit banyak. Masyarakat tidak lagi kaget bila uang masuk TK atau SD, sudah berjuta-juta dan uang SPP perbulannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Lantas bagaimana nasib si miskin? Tak adakah bangku yang tersisa bagi mereka di sekolah unggulan itu? Tulisan ini tak hendak mengkritisi fenomena sekolah unggulan, tetapi mencoba menggagas upaya agar kaum miskin dapat “mencicipi” sekolah unggulan itu.






Sekolah unggulan sering dimaknai sebagai sekolah untuk melahirkan anak didik yang unggul dengan dukungan standar mutu untuk menciptakan prestasi siswa, kurikulum yang sarat muatan, guru berkualitas, sarana-prasarana yang lengkap dan pengelolaan sekolah yang baik. Profil sekolah unggulan di tengah masyarakatpun dapat dilihat dari prestasi siswa mulai dari juara berbagai lomba, tingkat kelulusan UAN, diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit, dan sebagainya.






Sayangnya untuk menikmati semua itu, sekolah unggulan meminta biaya sangat mahal. Untuk masuk sebuah TK unggulan di Yogya saja, uang masuknya jutaan rupiah. SD pun demikian, selain harus antre dan mendaftar beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka, orang tua rela merogoh saku dalam-dalam. SMP dan SMA sami mawon. Puluhan juta rupiah harus disediakan. Tak salah bila banyak pihak menilai sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya (the have). Sekolah jenis ini sama sekali tertutup bagi kaum miskin (the have not). Kaum miskin akhirnya bersekolah –itupun kalau beruntung sekolah, karena lebih banyak lagi yang putus sekolah– di sekolah-sekolah dengan kategori “pinggiran” alias “tidak unggul” dan “seadanya”.

Usaha untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum miskin bukan tak pernah dilakukan. Berbagai model “sekolah alternatif untuk kaum miskin” telah dikembangkan di berbagai kota. Di Kalibening Salatiga misalnya, sebuah SMP untuk kaum miskin didirikan dengan konsep pendidikan murah dan berkualitas. Di Bandung, ada SMA khusus untuk kaum miskin yang digagas seorang pengusaha. Sekolah ini benar-benar gratis. Demikian juga di Jakarta, dan kota lain termasuk Yogyakarta, sekolah untuk kaum miskin telah didirikan oleh berbagai lembaga ataupun perorangan. Semua itu layak untuk diberi apresiasi, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas dibanding dengan jumlah kaum miskin yang harusnya terlayani.







Menggerakkan Kembali Orang Tua Asuh
Selain membangun sekolah “khusus” untuk kaum miskin, ada cara lain menurut saya yang dapat dikembangkan agar anak-anak kurang beruntung itu dapat tersenyum mendapatkan pelayanan sekolah berkualitas. Caranya sederhana saja. Menyediakan sebagian dari bangku-bangku sekolah unggulan yang biasanya untuk kalangan the have saja. Artinya sekolah-sekolah unggulan tersebut memiliki kebijakan untuk mengalokasikan kursinya sebagian untuk kaum miskin. Terserah saja, 5 %, 10 %, 25 % 50 %, atau lebih dari itu. Tergantung kemampuan sekolah. Sekolah tidak perlu khawatir kehilangan pendapatan dengan masuknya siswa-siswa tak punya itu. Mereka akan tetap “membayar” tetapi melalui “orang tua asuh” mereka. Ya.. orang tua asuh. Sebuah program yang pernah menjadi gerakan nasional tetapi semakin kehilangan gaungnya. Orang tua asuh inilah yang akan membiayai siswa-siswa tak mampu itu belajar di sekolah unggulan. Teknisnya juga sederhana, sekolah membentuk sebuah unit kerja khusus untuk menggalang orang tua asuh. Berbekal proposal lengkap dengan profil calon-calon anak asuh yang tak mampu tapi punya prestasi tinggi, sekolah tidak susah untuk menggaet calon orang tua asuh. Mereka bisa ditawarkan berbagai paket pembiayaan untuk anak asuh, mulai dari membiayai SPP saja, buku, kegiatan, atau bahkan paket lengkap seperti membiayai anak sendiri. Perusahaan-perusahaan yang sedang gencar menjalankan program Corporate Social Responsibility juga layak untuk diajak membiayai kegiatan mulia ini. Tidak jarang justeru perusahaan atau perorangan merasa kesulitan menyalurkan dana sosial mereka. Program pendidikan untuk kaum miskin biasanya lebih dipilih karena lebih memberdayakan bila dibandingkan bantuan konsumsi habis pakai.

Bila program ini berjalan mulus, maka kelak “Program Orang Tua Asuh” dapat menjadi “core business” sekolah, tidak lagi mengandalkan SPP atau pungutan dari orang tua. Artinya, bisa saja sekolah benar-benar dapat diusahakan menjadi murah atau bahkan gratis karena dananya ditanggung oleh donatur. Sebagai ilustrasi, sebuah sekolah unggulan, SDIT Hidayatatullah, di kawasan Jogja Utara, setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada anak kurang mampu untuk menikmati layanan pendidikannya. Untuk keseluruhan kegiatan sekolah tersebut memiliki sumber pembiayaan dari SPP (48 %), BOS (17 %), donator (14 %), Komite Sekolah (20 %), Lain-lain (2%). Terlihat bahwa dana donator atau orang tua asuh jumlahnya hampir menyamai dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Bila usaha ini terus dilaksanakan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus meningkat. 14 % dana dari donatur dari keseluruhan pendapatan sekolah dapat digunakan untuk membiayai anak miskin.

Ilustrasi tersebut memperilihatkan bahwa program “Sekolah Unggulan untuk Kaum Miskin” itu dapat memberikan kontribusi besar dalam mengurai benang kusut persoalan pendidikan kita. Salah satunya adalah sekolah akan terhindar dari sikap diskriminatif. Sebuah prinsip dalam filosofi pendidikan yang sering dilanggar. Sekolah seharusnya terbuka bagi siswa dari semua jenis kalangan. Heterogenitas siswa memberikan dampak yang positif dalam keperibadian anak didik. Siswa dari golongan kaya dapat bersosialisasi dengan anak dari golongan miskin. Mengetahui kekurangberuntungan mereka, berempati hingga suatu saat muncul keinginan untuk berbagi. Siswa miskinpun akan muncul kepercayaan dirinya bila diberikan kesempatan bergaul dengan siswa yang lebih dari mereka dari segi ekonomi. Kepercayaan diri akan menghilangkan perasaan minder.
Selain itu, sekolah unggulan akan benar-benar meraih predikat “unggulan” yang sesungguhnya, bukan sebutan semu yang mengundang cibiran masyarakat. Jika selama ini sebutan sekolah unggulan dialamatkan kepada sekolah yang inputnya bagus, proses bagus dan outputnya bagus maka hal itu adalah wajar adanya. Sekolah akan benar-benar disebut unggul bila input yang diproses adalah dari kalangan yang “kurang bagus” lantas menghasilkan output yang istimewa. (***Subhan Afif)

Catatan : Tulisan ini dibuat 6 Desember 2006 dan pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jateng-DIY, www.kompas.com/kompas-cetak/0612/16/jogja/1031803.htm

5 komentar:

  1. Vikchun mengatakan...

    Bismillah

  2. Vikchun mengatakan...

    smoga pemikiran2 dari tujuan yang sama demi mencerdaskan Bangsa Indonesia bs menyatu bukan hanya dalam rencana

  3. Vikchun mengatakan...

    yang saya amati memberikan fasilitas sekolah gratis saja tidaklah efektif untuk mereka yang dalam tekanan ekonomi yang sangat, karna waktu mereka terbelenggu oleh pemikiran orang tua dan kebutuhan utama keluarga mereka.

  4. Vikchun mengatakan...

    Smoga saya bisa melakukan sesuatu untuk melengkapi usaha para dermawan (yang memberikan fasilitas sekolah gratis)dengan pendekatan yang lebih mendalam,,,

  5. Vikchun mengatakan...

    mohon kerjasamanya,, barang kali banyak yang lebih tahu di mana saya dapat berkontribusi dalam menyelesaikan masalah bangsa ini,,,