Berkontribusi dalam Pendidikan

8:38:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Berkali-kali saya mendengar komentar dari beberapa orang-orang yang tahu kalau saya sedang studi di Malaysia. “Wah..dulu mereka belajar ke Indonesia, sekarang orang-orang kita malah belajar ke sana,” kata mereka. Ya itu dulu.. Ketika Malaysia belum ada apa-apanya, dan Indonesia sudah kelihatan lebih maju dalam pendidikan. Sekarang, harus diakui kita tertinggal. Fasilitas lebih lengkap, biaya lebih murah, masa studi lebih cepat, dan punya jaringan internasional yang lebih luas, menjadi keunggulan pendidikan Malaysia. Komunikasi pemasaran dan pencitraan mereka juga digencarkan habis-habisan. Hasilnya, setiap tahun mahasiswa/pelajar Indonesia yang ke Malaysia datang berbondong-bondong, bahkan lulusan SMA kita dari berbagai daerah semakin banyak terlihat di berbagai universitas di Kuala Lumpur dan sekitarnya. Keponakan saya yang lulusan SMA Mataram saja memilih melanjutkan ke Jurusan Hubungan Internasional di Universiti Malaya.


Benar-benar berkualitaskah pendidikan di Malaysia? Apakah pendidikan kita benar-benar kalah kualitas dari mereka. Bisa panjang ceritanya (InsyaAllah lain kali kita bahas..). Saya hanya ingin menyoroti “komitmen” lah yang menjadi kunci mereka menyalip kita. Pemerintah (Kerajaan) mereka benar-benar berkomitmen tinggi untuk memajukan pendidikan, bahkan, saya kira, sejak mereka belum merdeka. Pendidikan benar-benar menjadi prioritas untuk dibenahi jika ingin maju. Tidak ada ceritanya, ganti menteri, ganti kurikulum. Tak ada juga perdebatan panjang tak berujung untuk menentukan apakah dana pendidikan harus sekian persen. Yang ada adalah komitmen untuk berbuat segera, layaknya tindakan dokter di ruang gawat darurat, untuk terus membenahi pendidikan.

Di tempat kita? Saya tak terlalu tega untuk menambah daftar panjang keluh kesah sekian banyak orang tentang pendidikan Indonesia. Saya hanya berfikir, apakah centang perenang masalah pendidikan kita akan selesai hanya dengan berkeluh kesah (atau bahkan mencaci maki).

Sebenarnya saya telah terjun di dunia pendidikan sejak akhir tahun 1997. Ketika saya diterima sebagai dosen di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Cukup lama. Tapi saya merasa, bahwa pendidikan adalah bagian dari hidup, wadah perjuangan, dan perihal lain yang lebih idialis, justeru 3 atau 4 tahun belakangan ini. Tepatnya, bermula ketika 2 orang yang tampak penuh semangat mendatangi saya. Pak Saryo dan Pak Ma’ruf dari SDIT Hidayatullah ditemani Pak Nur Ahmad (dosen UGM tetangga saya) malam itu datang ke rumah. Bukan untuk minta sumbangan, tapi memberikan wawasan baru kepada saya, bahwa membenahi pendidikan adalah kewajiban. Sekecil apapun kontribusi, akan sangat berarti.

Dari merekalah saya bersentuhan dengan fakta-fakta riil yang lebih seram dari berita di Koran tentang kondisi pendidikan kita, terutama di tingkat dasar, swasta, Islam lagi. Tentang guru yang gajinya yang tak layak untuk disebutkan. Tentang anak-anak tak beruntung yang kesulitan mengakses pendidikan bermutu. Tentang manajemen yang masih amburadul, dan seabrek persoalan lainnya. Sebenarnya, sudah sering saya dengar. Tapi merasakan dan melihat langsung, tentu beda.

Melalui sahabat-sahabat itulah saya berkenalan dengan “pendidikan” dalam arti sesungguhnya. Dari situ kemudian, saya aktif dalam forum diskusi informal tentang pendidikan di rumah Bp Prof.Indarto, mantan fakultas teknik UGM, setiap Rabu malam. Di forum itu, ada orang-orang yang telah lebih dulu berkiprah, berfikir dan berbuat untuk pendidikan. Ada Ustadz Sembodo, M. Faudzil Adhim, RUA Zainal Fanani, Sukamta, Slamet Waltoyo, Budi Yuwono, dan masih banyak lagi. Forum itu, disebut Forum Seturan (karena dulu memang tempatnya di Seturan) memberikan banyak pencerahan buat saya. Belakangan, Forum yang diplesetkan menjadi “Forum Studi Relawan untuk Pendidikan”, semakin intens menjadi ajang pembelajaran saya dalam masalah pendidikan. Dari Forum inilah lahir berbagai ide untuk pengembangan pendidikan Islam. Penerbitan majalah Fahma (majalah mungil untuk orang tua dan guru) juga digagas dari Forum Seturan. Setelah Fahma cukup eksis (beredar dari Batam hingga Papua), ide untuk mendirikan Fahma Training Centre yang melayani penyelenggaraan pelatihan,workshop, seminar pendidikan, mengalir dengan sendirinya. Maka digelarlah beragam training di banyak daerah di Indonesia.

Di tahun 2008, saya sempat menjadi trainer beberapa kali pelatihan yang digelar Fahma Training Centre untuk para guru dan pengelola sekolah. Tentu saja yang terkait dengan disiplin ilmu saya, ilmu komunikasi. Diantaranya adalah : Training Penulisan di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, Training Komunikasi Pemasaran Sekolah di Rumah Ibu Yogyakarta, Seminar Peningkatan Kualitas Madrasah di Temanggung, dan Workshop Nasional Merancang Sekolah Berkualitas di hotel Satya Nugraha Yogyakarta.

Bertemu dan berdiskusi dengan para guru dan manajemen sekolah dari berbagai penjuru di negeri ini sungguh mengasyikkan. Mata mereka menyiratkan bahwa tak ada kata lelah untuk berjuang memajukan pendidikan. Bila berada di tengah para pejuang itu, saya semakin yakin pendidikan kita belum mati. Asal semua mau berkontribusi. (***Subhan Afifi)

Berhaji dengan “Enteng”

10:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Jika sedang di Jogja, saya selalu menyempatkan diri menghadiri pertemuan di rumah Prof Dr Indarto, mantan Dekan Fakultas Teknik UGM, setiap Rabu malam. Kami menyebut pertemuan itu dengan “Forum Seturan”. Awalnya memang karena pertemuannya diselenggarakan di rumah Pak Indarto ketika masih di Seturan. Hingga tuan rumah pindah ke Wedomartani pun, forumnya tetap disebut Forum Seturan, yang belakangan diplesetkan menjadi Forum Studi Relawan Pendidikan. Forum itu menjadi semacam think thank pengembangan pendidikan Islam. Hasil obrolan sana-sini biasanya menjadi bahan pengembangan SDIT Hidayatullah Yogyakarta dan beberapa sekolah Islam lainnya di Yogyakarta.


Pertemuan Forum Seturan yang dimulai dengan shalat Magrib berjamaah itu biasanya diisi terlebih dahulu dengan pengajian bersama Ustadz Bagus Priyo Sembodo. Ustadz Sembodo biasanya membahas secara runtut hingga tuntas sebuah kitab. Kami pernah diajak mengkhatamkan kitab hadist “Arbain”, dan kini kitab tafsir Al-Qur’an, Karimirrahman yang disusun Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, menjadi menu rutin pengajian.

Rabu malam tiga minggu lalu, seperti biasa Ustadz Sembodo secara menarik dan menyentuh hati, membahas Tafsir Surat Adh-Dhuha. Usai membahas ayat terakhir “Wa amma bini’mati Rabbika fa haddist, Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”, Ustadz Sembodo, tiba-tiba menyentak perhatian hadirin. “Saya ingin menyebut-nyebut nikmat besar Allah yang diberikan kepada saya, InsyaAllah besok pagi saya berangkat haji,”. Spontan saja yang hadir mengucapkan Alhamdulillah, dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Betapa tidak, sang Ustadz, sama sekali tak pernah ada kabar akan berhaji. Tahu-tahu pamit mau berangkat besuk pagi. Tak ada ramai-ramai, syukuran, pamitan dan sejenisnya. Bahkan banyak diantara kami yang sering jumpa dan bergaul dengan beliau tak tahu sama sekali rencana itu.

“Bikin rumah, beli mobil, atau apapun, itu tidak wajib,” kata sang Ustadz suatu saat. “Tapi..haji itu wajib.” Haji lah yang seharusnya didahulukan dari beragam keinginan dan kebutuhan di dunia. “Nanti lah suatu saat akan saya ceritakan bagaimana saya bisa berhaji,” katanya malam itu. Mungkin membaca rasa ingin tahu para muridnya, “koq Ustadz bisa naik haji sih”, kalau melihat kehidupan beliau dengan 1 isteri dan 6 anaknya (yang juga diakuinya sendiri) sangat sederhana.

Saya membayangkan betapa “enteng”nya haji ketika penyikapannya a la Ustadz Sembodo. Enteng karena tak perlu syarat macam-macam yang super berat ketika orang ingin berhaji,dan sering kita temui. Berat karena masih menunggu hidup berkecukupan dengan rumah megah dan mobil mewah, baru naik haji. Atau menunggu anak-anak yang jadi tanggungan besar dan sukses. Atau malah menunggu “kesiapan, panggilan dan hidayah”, karena merasa masih bergelimang dosa. Atau menjadi berat karena prosesi haji diikuti dengan beragam “ritual” yang biayanya bisa lebih mahal dari ongkos naik haji.

Ketika berangkat, kesan “berat” juga sulit dihilangkan. “Berat” arti fisik benar-benar terlihat dari barang bawaan para jamaah haji. Banyak para jamaah yang merasa tak nyaman jika tak membawa beragam bawaan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan dilarang. Para petugas ketika pemberangkatan harus bersusah payah menggeledah tas besar jamaah. Para jamaah masih sulit diajak untuk membawa barang bawaan sekedarnya. Bawaan barang yang berlebihan hanya akan menyulitkan. Ketika pulang, bawaan itu dipastikan akan “beranak-pinak” karena bawaan dari Arab Saudi lebih banyak lagi. Di bandara King Abdul Aziz Jeddah, ketika pemulangan barang bawaan yang tidak boleh dibawa karena melebihi kapasitas yang diizinkan menggunung dan menjadi mubazir. Di tanah suci, aktivitas berbelanja oleh jamaah haji merupakan pemandangan sehari-hari, dan jamaah Indonesia dikenal royal plus gemar berbelanja. Berbelanja oleh-oleh untuk sanak keluarga tentu tidak dilarang, tetapi ketika aktivitas itu memberatkan diri sendiri dan orang lain, menjadi layak dipertanyakan.

Secara non fisik kondisi “berat” jamaah juga terlihat dari kondisi kesehatan. Banyak jamaah yang dalam kondisi sakit, sudah sangat sepuh, bahkan stress berhaji, sehingga “memberatkan” dirinya, dan orang lain. Kondisi ini merupakan efek dari merasa “berat” untuk berhaji di usia muda dengan beragam alasan. Dari aspek ibadah manasik haji yang dijalankan sebagian jamaah tergolong berat. Banyaknya do’a yang harus dibaca menjadi beban tersendiri bagi jamaah. Padahal do’a-do’a yang dituntunkan tidak lah sebanyak dan seberat itu. Ketika pulang pun “berat”nya haji tergambar pada harapan masyarakat maupun diri sendiri dengan status Pak Haji dan Bu Haji. Status yang seringkali menjadi ujian keikhlasan. Di beberapa daerah status ini malah memiliki posisi tawar tersendiri secara sosial, ekonomi, bahkan politik.

Sudah saatnya berhaji disikapi dengan “enteng”. Tentu bukan menggampangkan. Kalau haji itu mudah, kenapa dibikin susah. Niat kuat, mengumpulkan bekal secukupnya, berangkat dengan ringan, dan akhirnya pulang, InsyaAllah, menjadi haji yang “entengan”. Enteng beribadah, enteng berbuat untuk sesama. Bukan sebaliknya. (***Subhan Afifi)

Azzam Berhaji

10:06:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Tahun 2005, tiga tahun lalu, saya sangat ingin berhaji. Terutama setelah 2 orang kakak perempuan saya pergi ke tanah suci. Entah mengapa saya sangat ingin. Keinginan itu terus mengkristal menjadi tekad yang kuat. Dalam bahasa Arab, tekad yang kuat ini disebut Azzam. “Fa idza Azzam fatawakkal ‘Alallah..Jika kamu telah memiliki tekad yang kuat, maka bertawakallah kepada Allah” begitu Firman Allah. Saya sangat terinspirasi

dengan ayat itu. Sampai-sampai anak pertama saya beri nama Azzam.

Begitulah, Azzam untuk berhaji itu saya pelihara terus. Saya menjadi gemar ngobrol tentang haji, membaca buku atau mencari informasi apapun tentang haji. Entah mengapa ada kedamaian dalam semua kegiatan itu. Bahkan, saat jogging atau jalan pagi, saya membayangkan sedang sa’i atau tawaf. Tak terasa sambil jogging pun lantunan talbiyah terucap “labbaik Allhomma labbaik... Aku Datang (InsyaAllah) memenuhi panggilanMu Ya Allah...

Tekad yang kuat harus diiringi usaha yang keras, plus do’a, baru setelah itu boleh bertawakkal. Rumus standar yang nyaris klise dan sering dilupakan. “Ya Allah saya sangat ingin bersimpuh di Rumah..Mu”. Sebagai wujud usaha, segera saya buka tabungan Mabrur,Haji dan Umrah di Bank Syariah Mandiri, 19 September 2005. Setoran awalnya Rp. 500.000. Sambil terus membisikkan do’a dalam hati.. “Ya Allah saya nggak punya apa-apa, saya hanya punya Engkau yang berkuasa atas segalanya. Izinkan lah ya Allah..” begitu seterusnya. Tak terasa tabungan itu terus bertambah. Tak banyak memang,hanya bertambah Rp 100.000 atau Rp. 200.000. Tidak juga rutin setiap bulan. Tapi saya merasa ada getaran ketika saya menyetorkan uang ke kasir bank dengan jumlah yang tak seberapa itu. Begitu seterusnya. Selama 2 tahun lebih saya memelihara “tekad yang kuat” itu dan “berusaha” keras walau seadanya.

Percaya tidak percaya, tahun 2007 lalu saya diizinkan Allah memenuhi panggilanNya. Ya..saya berhaji. Bukan karena tabungan saya mencapai jumlah ONH dalam 2 tahun. Saldo tabungan saya (hingga kini bahkan) berjumlah Rp. 1.645.827,50. Ini bukan cerita sinetron religi televisi swasta kita. Allah berkehendak dengan kekuasaanNya. Saya bisa naik gaji gratis, digaji lagi. Hehe.

Sekitar Agustus 2007, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia dan KBRI Kuala Lumpur mengumumkan kesempatan untuk menjadi Tenaga Musim Haji (Temus) yang akan membantu pelaksanaan haji untuk jamaah Indonesia. Setiap tahun Panitia Pelaksana Haji di Arab Saudi merekrut para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Luar Negeri untuk menjadi Petugas Haji Indonesia. Mahasiswa Indonesia di Malaysia juga dapat jatah, selain di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan negara Asia lainnya. Singkat cerita, saya lolos dalam seleksi Temus PPI Malaysia. Dari sekitar 59 pendaftar, saya terpilih bersama 8 orang rekan. Sebuah keajaiban : Saya yang berlatar belakang ilmu umum, bisa lolos. Rekan-rekan lain yang terpilih, bahkan sebagian besar para pendaftar, adalah mahasiswa S2 dan S3 jurusan Agama Islam (sebagian besar malah S1-nya diselesaikan Timur Tengah, seperti Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Islam Madinah,dan lainnya). Tentu mereka sangat berkompeten untuk menjadi petugas haji. Bahkan ada yang sudah bolak-balik naik haji. Saya ? Subhanallah, belajar manasik haji saja baru kemarin sore. Tapi Allah berkehendak lain.

Ini benar-benar anugrah terindah buat Saya. Hingga saya berangkat dari kost-kostan di Kuala Lumpur menuju bandara KLIA, rasanya saya masih nggak percaya kalau saya akan naik haji. Berbekal tas ransel butut yang saya biasa bawa ke kampus Universiti Malaya, dan koper kecil, saya berangkat. Seorang kawan yang mengantar berkomentar, “koq naik haji seperti mau ke perpustakaan sih.” Benar-benar begitu enteng dan mudah. Alhamdulillah.

Begitulah, penerbangan KL-Dubai-Jeddah, dilanjutkan perjalanan darat Jeddah-Mekah, saat itu, menjadi perjalanan yang paling membahagiakan sepanjang hidup. Hingga akhirnya, saya benar-benar diizinkan bersimpuh di depan Ka’bah, kiblat muslim sedunia itu. Terimakasih Ya Allah. Saya jadi tambah yakin dengan : fa idza azzamta fa tawakkal alallah. Tiada yang tak mungkin, dengan izin Allah. Maka, berniat kuatlah untuk berhaji, atau untuk cita-cita besar apa saja. Apapun kondisinya. Allah akan menunjukkan jalan yang sangat mudah dan indah. Sungguh...! (***Subhan Afifi).


Do'a Untuk 2 Bunda di Multazam

10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Langit Mekkah cerah dalam malam Jum’at yang InsyaAllah barokah. Baru saja thawaf yang membangkitkan jiwa itu usai saya tunaikan. Shalat sunnah 2 rakat dekat maqom Ibrahim dan beberapa teguk air zam-zam menjadi penyegar raga tiada tara. Saya mencoba merengsek maju ke arah Multazam. Secuil tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah itu, tak pernah sepi dari lautan hamba yang ingin do’anya diijabahi. Alhamdulillah, setelah bersabar beberapa saat, saya benar-benar berada di salah satu tempat berdoa yang mustajab itu. Saya yang biasanya susah menangis merasakan mata sering bergerimis selama berada di dua tanah suci. Apalagi ini, saat berada di tempat yang sebelumnya hanya terdengar namanya, kini begitu dekat, tak berjarak. Saya tak pernah mencoba merancang permintaan apa yang ingin saya panjatkan. Hanya saja, malam itu, yang teringat adalah orang-orang yang saya cintai, terutama ayah yang telah almarhum dan 2 orang bunda : Bunda saya sendiri yang telah berusia senja, dan bunda anak-anak saya yang telah berbuat begitu banyak. Saya berharap ayah saya diberi pengampunan atas dosa-dosanya, diterima segala amalnya, hingga dimasukkan ke JannahNya.

Khusus untuk Bunda saya, Ya Allah, saya merasa belum berbuat apa-apa untuknya sebagai tanda bakti. Hingga saat ini, saya tak tahu, bahkan mungkin tak punya, apa “amalan andalan” saya terkait dengan pelayanan saya kepada beliau. Saya merasa belum cukup mampu untuk mencukupi semua kebutuhannya. Saya masih sangat egois dengan diri dan keluarga kecil saya. Ah..hingga sebesar ini, saya tetap saja merepotkan beliau, alih-alih sekedar menawarkan solusi dari segala kesusahannya. Saya teramat khawatir, bagaimana jika Bunda saya dipanggil olehNya, sedang saya dalam posisi belum benar-benar jadi anak berbakti. Malam itu, dengan segala kerendahan hati saya minta ampun atas semua itu. Saya berbisik agar Allah memberikan kesehatan, kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan Bunda saya. Kalaupun Allah berkenan memanggilnya suatu saat, maka saya memohon agar beliau diringankan dalam Sakratul Mautnya. Diberi akhir yang baik. Bukankah tak ada keindahan dalam akhir kehidupan selain Khusnul Khatimah?

Untuk Bunda anak-anak saya, saya membisikkan harap agar ia diberi kekuatan dan jalan yang terang. Sungguh, peran yang ia sandang jauh lebih berat. Menjadi madrasah bagi permata hati kami, mendapingi jejak hidup saya, sekaligus berbuat yang terbaik untuk ummat melalui keahlian profesionalnya. Maka terbayanglah segala kenaifan saya menghadapi anugerah terindah itu. Sebagai suami, saya sering berperilaku bak presiden negeri super power tanpa cela yang harus diikuti segala maunya. Atas nama cinta dan ketaatan, saya menempatkan diri pada posisi yang selalu harus dilayani, tanpa menyisakan ruang untuk melayani. Astaghfirullah !

Begitulah, dua bunda ini, menyita perhatian saya di Multazam. Sejatinya, membayangkan 2 bunda adalah membayangkan peran ke-ayah-an. Kesuksesan peran ayah, diantaranya, ditentukan oleh mereka berdua. Kelak, bagaimana anak-anak memperlakukan ayahnya ditentukan oleh model perlakuan sang ayah yang diberikan kepada 2 bunda itu (termasuk ayah kandung & ayah-bunda mertua, tentunya). Inilah hukum alam yang sangat rasional. Siapa memberi, dia akan mendapat lebih banyak. Siapa yang melayani dengan ikhlas, ia akan dilayani sepenuh hati. Saat ini, para anak sedang mengintip dengan mata hatinya, bagaimana sang ayah melayani nenek (dan tentu juga kakek) mereka. Apakah ia cukup sabar, atau sering mengeluh, atau bahkan menghadapi mereka sebagai beban? Naudzubillah ! Apakah ”teori” tentang birrul walidain yang sering mereka dengar dari sang ayah, benar-benar ada contohnya? Kalau tidak, jangan kaget, mereka akan setengah berteriak di balik pintu : ”Huuuu ! Preettt !”

Terhadap bunda tercinta mereka, anak-anak sedang meneropong dengan tatapan sucinya, bagaimana sang ayah berbuat dalam keseharian. Apakah bunda mereka yang hebat, diperlakukan seperti ratu atau malah tak ubahnya pembantu? (Bukankah laki-laki terbaik adalah laki-laki yang paling baik memperlakukan isterinya ?). Apakah sang ayah cukup tanggap dengan segala kerepotan bunda mereka, atau tetap memposisikan diri sebagai mandor yang bisanya hanya tunjuk sana, suruh sini? Apakah sang ayah selalu berkata manis penuh penghargaan dan terimakasih atas segala kebaikan yang diberikan bunda mereka? Bukankah bunda mereka terkasih telah menumpahkan segala bentuk kebaikan di rumah, sejak matahari belum terbit, hingga mata sang ayah terbenam ?

****

Malam itu, di Multazam, saya benar-benar bersimpuh, terutama untuk 2 bunda. Terisak karena banyak kekeliruan dan pasang niat untuk lebih baik. Tak tahu mengapa, malamnya saya tertidur begitu tenang. Saya tak sempat lagi mengingat-mengingat apa yang saya panjatkan di Multazam. Pagi harinya, dalam perjalanan menuju bandara King Abdul Aziz Jeddah, saya mendapat sms dari tanah air. Mengabarkan Bunda saya tiba-tiba berada dalam kondisi kritis, padahal sebelumnya sehat wal afiat. Di pagi hari Jum’at itu, Bunda saya baru saja pulang takziyah ke rumah seorang tetangga muslim. Tak banyak yang diucapkan dan dikeluhkannya, ketika beliau masuk kamar, membersihkan diri, dan berbaring menghadapi sakratul maut-nya dengan begitu tenang. Beberapa saat sebelum shalat Jum’at ditunaikan, menurut penuturan orang-orang disekelilingya, Bunda saya menghadap Sang Khalik dengan wajah tersenyum. Innalillahi wa inna ilahi rojiun.
Kekhawatiran saya terjadi juga. Saya akhirnya belum sempat mempersembahkan bakti terbaik untuk bunda saya. Saya bersedih bukan karena kematiannya, karena kematian adalah kepastian. Tak ada yang bisa mengelak darinya. Saya bersedih karena saya belum optimal dalam melayani, persis ketika ayahanda saya wafat 10 tahun lalu, ketika saya, dengan berbagai alasan, belum juga betul-betul menunjukkan tanda-tanda sebagai anak yang berbakti.

Kini, masih ada Bunda anak-anak saya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan yang akan berlalu dengan cepat ini. Masih dari tanah suci, saya sempatkan mengirim sms untuknya, semacam pengakuan atas kesalahan dan peneguhan komitmen : ”Sayang, Mas cinta adik karena Allah. Sungguh, cinta yang terus tumbuh dan bersemi, hingga di surga nanti. InsyaAllah!” (**Subhan Afifi)

Haji dan Napak Tilas Sejarah

10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Bagi yang akan segera berhaji, saya menyarankan anda untuk mempelajari secara detail sejarah kenabian (sirah nabawiyah), selain tentu saja tata cara (manasik) haji. Kenapa sejarah ? Karena sejarah di masa lalu mengajarkan kita untuk arif menyikapi kehidupan masa kini dan masa datang. Lebih-lebih untuk masa depan yang sesungguhnya : Kehidupan sesudah mati. Perjalanan di 2 tanah suci, Mekkah dan Madinah, serta kota lain seperti Jeddah, akan terasa lebih bermakna ketika bayangan apa yang terjadi di zaman Rasululloh seolah hadir di depan kita. Mempelajari sejarah dan mendapati jejaknya di depan mata, membuat kita seperti ikut terlibat di dalamnya. Seakan menjadi aktornya.

Saya menyesal, saat berkesempatan haji, bacaan sejarah saya masih sangat lemah. Saya hanya tahu beberapa peristiwa umum di zaman Rasul. Rasul menerima wahyu pertama di gua Hira’, atau Rasul bersembunyi di gua Tsur bersama sahabatnya, Abu Bakar, ketika dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy saat berhijrah ke Madinah. Juga tentang beberapa peperangan di Kota Madinah, seperti perang Uhud yang fenomenal itu. Sayangnya pengetahuan itu sangat minim.

Sebagai petugas haji, saya dan kawan-kawan saat itu, datang ke Mekkah beberapa Minggu sebelum jamaah haji berdatangan. Pulangnya pun terakhir, ketika para jamaah telah kembali ke tanah air semua. Saya sempat merasakan bagaimana lengangnya Masjidil Haram, sebelum dan sesudah masa haji. Kesempatan langka yang mungkin tak akan terulang.

Ketika awal datang ke Mekkah, setelah umrah ditunaikan, dan waktu untuk bertugas belum datang, saya berkesempatan menyusuri beberapa penggal sejarah Rasululloh. Saat itu, saya dan kawan-kawan mahasiswa di Malaysia, ingin sekali menapaktilasi sejarah turunnya wahyu pertama di Gua Hira’. Tapi rupanya kami nyasar ke gunung Tsur. Supir Arab angkot omprengan itu tanpa bicara apa-apa membawa kami ke Gunung Tsur, padahal kami mintanya ke Jabal Nur, tempat Gua Hira’. Ya sudahlah. Dengan semangat menyala kami mendaki Gunung itu saat siang panas menyengat. Mungkin karena baru nyampe di Mekkah, dan energi masih berlebih, saya dan kawan-kawan tak menghiraukan medan yang berat. Sambil tentu saja membayangkan bagaimana Rasululloh dan Abu Bakar mendaki gunung itu, menghindari kejaran para musuhnya. Atau bagaimana Asma’ binti Abu Bakar yang bolak-balik mengantar makanan kepada mereka berdua saat bersembunyi di gua itu. Jangan membayangkan gunung di Arab seperti gunung Merapi atau Merabu yang sejuk dan hijau. Gunung Tsur terjal, berbatu, dan tanpa sebatang pohon hijau pun. Masih dilengkapi dengan panas menyengat. Di puncak gunung itulah, kami menemukan sebuah gua kecil yang tak terurus. Tempat Rasululloh dan Abu Bakar bersembunyi sedangkan di mulut gua para pengejarnya sudah tak berjarak. Maka muncullah perkataan Rasul yang diabadikan dalam Al-Qur’an : La Tahzan, Innalaha Ma’ana, Jangan khawatir, Sesungguhnya, Allah bersama kita. Menenangkan Abu Bakar, yang secara manusiawi, merasa resah dan takut.

Pemerintah Arab Saudi memang tidak memprogramkan pemeliharaan tempat-tempat bersejarah. Kalau di Indonesia mungkin sudah dibangun tugu peringatan atau malah jadi tempat wisata. Di jalan menuju gunung Tsur bahkan ditulis besar-besar anjuran untuk tidak mendatangi tempat itu, karena bukan termasuk perkara yang disyariatkan. Takut para jamaah haji datang berbondong-bondong, dan menyalahgunakannya untuk hal-hal yang berbau syirik. Seperti yang banyak terjadi di Jabal Rahmah, gunung di padang Arafah yang diyakini tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah diturunkan dari Syurga. Di situ banyak ditemukan para jamaah yang melakukan beragam perkara yang dilarang seperti menulis nama dan menempel foto agar diberi enteng jodoh, atau meminta berkah.

Tentu tak ada maksud lain, ketika kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah di zaman Rasululloh. Selain mencoba menghadirkan jejak masa lalu untuk menambah semangat dalam kehidupan sepulang haji. Ketika menyusuri jalan panjang Mekah-Jeddah-Madinah, juga kami merasakan betapa berat perjalanan hijrah Rasululloh dan para sahabatnya. Ketika mengunjungi masjid Nabawi, makam Rasululloh, Abu Bakar dan Umar, serta kompleks pemakaman para sahabat lain di Baqi’, seakan kita di bawa ke masa silam yang penuh hikmah. Atau ketika mengunjungi bukit Uhud, masjid Kiblatain, masjid Kuba, dan banyak lagi. Jika saja, sirah nabawiyah kita kuasai dengan detail, ruh perjuangan mereka akan terasa hadir lebih dekat. Perjalanan napak tilas sejarah itu, akan membangkitkan jiwa, untuk bersungguh-sungguh dalam hidup. Seperti yang pernah mereka, Rasululloh dan para sahabatnya, orang-orang yang Agung, contohkan. Agar hidup tak berlalu begitu saja ! (***Subhan Afifi)

Menjadi Ayah yang Dicintai

12:10:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang sahabat berkisah tentang pengalamannya di padang Arafah. Saat prosesi puncak haji yang menggetarkan jiwa itu, hampir seluruh jamaah haji sedunia menitikkan air mata. Larut dalam do’a dan istighfar. Terbayang akan dosa dan kepongahan. “Saya menangis, karena ingat anak saya…” tuturnya menyebut “jenis” dosanya yang paling diingat saat itu. Sahabat itu pernah sangat marah pada anaknya. “Nangis nggak diam-diam, saya seret dia ke kamar, saya kunci dari luar,” lanjutnya. Tentu saja tangis sang anak tambah melengking. Sampai akhirnya benar-benar diam karena kecapekan dan dicuekin ayahnya. “Saya sungguh menyesal,” katanya mengenang.

Para ayah yang lain, termasuk saya, tentu punya sederet daftar dosa dan kesalahan pada anak. Biasanya daftar itu akan terbayang-bayang di pelupuk mata ketika sang anak sedang jauh di mata. Penyesalan sudah tentu datang terlambat. Marah, membentak, atau merasa “pasti benar” sering menjadi “kebiasaan” para ayah. Sebagian yang lain, bahkan mungkin tega-teganya “bermain tangan” alias menghukum dengan kekerasan, dengan berbagai dalih.

Kesibukan di luar rumah dan kepenatan di dunia yang keras dan penuh persaingan, menjadikan para ayah gampang “tersulut”. “Ayah bisanya cuma marah-marah dan terima beres,” begitu mungkin citra yang dilekatkan anak pada ayahnya yang suka marah-marah dan tak peduli. Padahal, ayah adalah model kehidupan. Sikapnya di rumah, perhatiannya terhadap keluarga dan orang lain akan disimpan dengan rapi di ingatan anak. Rekaman itu akan segera dihadirkan sebagai kebiasaan dan juga perilaku di kemudian hari. Dari ayah anak belajar beragam keterampilan hidup. Cara berlogika, bersaing, bekerjasama, menghitung resiko, mencari solusi, atau bahkan mengungkapkan kemarahan, “dicatat” baik-baik oleh anak dari sang guru kehidupannya itu.

Dibanding ibu, apa yang diberikan dan dilakukan ayah untuk anak tidaklah seberapa. Wajar jika Rasululloh SAW menyebut ibu beberapa kali, baru kemudian ayah, ketika ditanya seorang sahabat tentang kepada siapa dia harus berbakti. Pengalaman keseharian menunjukkan betapa anak lebih ingat (dan tentu lebih cinta) pada ibunya, karena apa yang diberikan ibu jauh lebih banyak. Coba saja, ketika anak sakit atau bangun tidur, siapa yang dipanggilnya pertama : ”Ibu......!”. Bukan ayah. Bagi sebagian anak, ayah malah sering menjadi momok yang “menakutkan”. “Awas lho.. jangan nakal, nanti dimarahi ayah, “Belajar sana, nanti gak dikasih uang jajan lho sama ayah..!, ”Cepet sembunyi, ayah datang..!”, ungkapan-ungkapan spontan itu mungkin pernah kita dengar dalam percakapan diantara anak.


Kasih sayang dan cinta ibu memang tak mungkin tersaingi. Tapi, dengan segala “keterbatasan"nya, sosok ayah masih sangat berpotensi meraih cinta yang tulus dari anak. Lagipula ayah mana sih yang tidak cinta sama anaknya. Ayah hanya perlu memoles sedikit cara berkomunikasinya pada anak. Ketegasan tak harus diekspresikan dengan kemarahan. Sosok ayah yang berwibawa tak perlu dicitrakan dengan cara “menjaga jarak”. Jaim alias “jaga image” kata anak sekarang. Justeru yang diperlukan adalah sosok sahabat. Sangat diperlukan bahkan, ayah menunjukkan perasaannya pada anak. Anak perlu tahu bahwa mereka dibutuhkan dan dicintai ayahnya. Pelukan dan ciuman ayah, adalah bahasa non verbal yang tak ternilai.
Disiplin tak harus diajarkan dengan kekerasan dan hukuman. Bahasa cinta dan keteladan jauh lebih efektif digunakan. Gaya komunikasi dengan memberikan instruksi satu arah sudah selayaknya ditinggalkan. Komunikasi yang lebih dialogis dan empatis lebih layak dikedepankan. Kesediaan ayah untuk sekedar bermain, ngobrol, mendengar celoteh, atau menanggapi ide “aneh” anak, akan lebih bermakna, dari sekedar suruh ini, suruh itu. Waktu yang disediakan ayah adalah bukti cinta.


Kebiasaan “minta didengarkan” harus diimbangi dengan keterampilan mendengar. Bukankah hal itu yang lebih diperlukan, ketika anak sedang penasaran, bersedih, atau bingung? Keinginan untuk selalu memberikan solusi pada setiap masalah yang dihadapi anak, bisa diwujudkan dalam bentuk memberi kesempatan mereka mencari jalan keluar sendiri. Nasehat dengan nada memaksa sudah selayaknya dikemas dengan bahasa yang mampu memberi inspirasi dan motivasi.
Saya sedang berusaha menjalankan itu semua. Tak mudah memang. Yang jelas, ketika anak saya, Azzam, diberi home learning oleh sekolahnya, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, untuk menuliskan siapa sosok yang ia sayangi dan mengapa. Saya menempati urutan kedua. Rangking 1 tetap Ummi-nya. Lumayanlah.. ! Saya hanya masih menunggu, suatu saat nanti anak-anak saya, Azzam, Zulfa dan Nuha, akan berbisik malu-malu : “Abi… I Love You !” (***Subhan Afifi)

Ramadhan dan Perubahan

8:43:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Barrack Obama belum tentu terpilih jadi Presiden AS, tapi ia telah berhasil menjadi magnet, memukau rakyat Amerika dengan mimpinya “change we can believe in”. Tema atau tawaran perubahan memang memberi harapan, pantas saja sebuah sebuah produk menempel besar-besar Bilboard iklan “Perubahan itu perlu” di jalan-jalan. Renald Kasali dengan buku “Change”nya juga sudah jauh-jauh hari mengingatkan pentingnya perubahan. Sahabat saya, Arif Wibawa, 10 tahun lalu sudah menawarkan konsep yang visioner “Berdamai dengan Perubahan” untuk memperbaiki arah fakultas kami, FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta.
Perubahan adalah keniscayaan, bahasa para ustadz : sunnatullah. Bukankah hari-hari kita terus berubah. Bumi semakin ringkih. Kita yang dulu imut-imut, sekarang mulai amit-amit. “Dunia sudah berubah, Pak,” kata seorang guru besar kepada kawan saya ketika menawarkan sebuah program S3 bidang komunikasi yang bisa ditempuh di luar jalur reguler. 

 

Persoalannya, perubahan seringkali sebatas slogan tanpa makna. Reformasi, kurang apa maknanya dengan perubahan. Kita hampir saja kehilangan makna momen reformasi, karena perubahan yang dikandung dalam kata reformasi justeru tak terwujud dalam keseharian. Kondisi memang berubah, tetapi masih banyak yang sekedar berubah bentuk, tapi esensinya sami mawon : Korupsi tetap (bahkan semakin) merajalela, rakyat tetap (juga semakin) miskin dan lapar, kemaksiatan justeru semakin telanjang dibalut slogan kebebasan dan seni. Birokrasi memang berubah. Tapi yang berubah pejabatnya, tapi mentalitasnya setali tiga uang : masih berwatak ingin dilayani. Kalaupun ada semangat melayani, yang dilayani adalah atasan, bukan rakyat sebagai tuan yang sesungguhnya. Masih panjang lagi deretan persoalan yang dibawa oleh perubahan reformasi. Walaupun tak boleh dinafikan, perubahan-perubahan yang positip juga ada.
 
Ramadhan adalah bulan untuk perubahan. “La’allakum tattaqun, agar kamu bertakwa.,” ini tujuan puasa, sangat sering kita dengar di masjid-masjid. Tujuan itu bermakna perubahan. Alumni training center Ramadhan seharusnya berubah total. Yang dulunya pemarah, akan jadi pemaaf. Yang dulunya shalat bolong-bolong, jadi orang yang pertama datang saat shalat berjamaah. Yang dulunya pelit, jadi dermawan yang meletakkan duit hanya di kantong, bukan di hati. Yang dulunya rajin maksiat, jadi taat sepanjang hayat. Yang dulunya menaruh “Islam” di KTP dalam dompet, akan jadi meletakkan Islam di tempat terhormat sebagai panduan hidup. Begitu seterusnya. Sayangnya, kenyataan tak seindah harapan. Puasa seringkali berfungsi sebagai “istirahat sejenak” dari hiruk pikuk keangkaramurkaan. Hanya sejenak. 30 hari saja, yang jelek-jelek itu “dikurangi”. “Hush..gak boleh bohong, kan sedang puasa,”, “Nah gitu dong, aurat ditutupi, sedang puasa kan,” “korupsinya jangan banyak-banyak dong, sedang ramadhan nih,”. Tapi, lihatlah sebentar lagi, ketika ramadhan usai, semua akan kembali ke jalannya masing-masing. Roda industri kemaksiatan agar kembali berputar, bahkan seolah dengan energi baru. Pakaian takwa kembali ditanggalkan, tersimpan rapi di rak bagian bawah lemari. Korupsi kembali merajalela, tak peduli koruptor yang tertangkap silih berganti.
 
Akankah ramadhan benar-benar tak menghasilkan apa-apa, minimal untuk diri pribadi? Ini yang saya takutkan. Mari mulai dari diri. Ramadhan ini harus melahirkan diri yang berubah. “Siapa tahu, ini Ramadhan terakhir kita” kata Edi Susilo, sahabat saya, dalam kultum ba’da zuhurnya di Masjid Sarbini. (**Subhan Afifi)

Salam Kenal

2:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Saya Subhan Afifi. Lahir di Sumbawa Besar, 28 September 1974, dari pasangan orang tua yang mulia : H. Achmad Hasan (alm) dan Hj Siti Khodijjah (almh). Ayah saya asli Taliwang, Sumbawa, sedangkan Bunda orang Muntilan Magelang. Sebuah perpaduan budaya yang unik.

Masa kecil yang indah saya lewati di kota Mataram. SDN 2 Kekalik dan SMPN 2 Mataram adalah sekolah formal yang pertama kali mengajarkan huruf, angka, dan nilai-nilai. Ayah saya mengajarkan agar berani hidup merantau. Setamat SMP, saya beranikan diri sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Jauh dari keluarga.

Jogja kota yang nyaman, tapi saya ingin merasakan pengalaman hidup di kota lain. Tahun 1992-1997 saya kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. Setamat kuliah, saya kembali ke Jogja, mengabdikan diri di dunia pencerahan, menjadi staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta, hingga kini. Universitas inilah yang berbaik hati memberikan kesempatan meng-upgrade diri dengan mengirim saya bersekolah lagi di program Magister Manajemen Komunikasi FISIP UI Jakarta (lulus tahun 2002), dan program Doktoral di Department  of Media Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (sejak tahun 2006).

Allah Ta’ala memberikan anugerah terindah kepada saya berupa permata hati yang menyejukkan. Mereka adalah dr Nurlaili Muzayyanah (isteri tercinta yang saya nikahi tahun 1997), Azzam Abdussalam (putera sulung yang sholeh nan hebat), Zulfa Athifah (puteri sholehah yang cerdas) dan Nuha Qonitah (bungsu sholehah saya yang pintar). Kini kami sedang mencoba menghadirkan surga di rumah sederhana kami di Sedan Asri B-3 Jl Palagan Tentara Pelajar Yogyakarta.

Selain mengajar, saya mencoba melakukan berbagai aktivitas di luar kampus, biasanya memang tidak jauh-jauh dari dunia pendidikan. Bersama-sama kawan di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, kami mencoba mengembangkan pendidikan Islam berkualitas yang peduli pada kaum miskin. Saat ini, saya dan kawan-kawan juga sedang merintis terwujudnya Islamic Centre “Achmad Hasan Ali” di Taliwang, Sumbawa Barat, NTB. Terwujudnya lembaga pendidikan Islam yang unggul di daerah itu menjadi cita-cita besar kami. “Membangun kemuliaan dengan amal terbaik…” menjadi motto lembaga yang selalu terngiang-ngiang untuk segera diwujudkan.

Menulis dan saling berbagi dalam aneka diskusi adalah aktivitas yang saya minati. Sewaktu kuliah saya pernah aktif di Koran Kampus Manunggal Undip dan menerbitkan bulletin Islamuna. Kini, bersama kawan-kawan di Forum Seturan (Forum Studi Relawan Pendidikan) Yogyakarta, kami menerbitkan majalah pendidikan Fahma, dan mengembangkan Fahma Training Centre. Di kampus saya dan kawan-kawan pernah merintis terbitnya “Jurnal Ilmu Komunikasi” hingga meraih status terakreditasi, dan sekarang aktif mengelola jurnal internasional “the Indonesian Journal of Communication Studies”.

Menulis buku, menjadi mimpi besar yang ingin segera saya wujudkan. InsyaAllah. Berbagai persoalan “Komunikasi, Pendidikan dan Parenting” adalah topik diskusi yang saya minati.

Mari berbagi inspirasi, agar hidup tak berlalu begitu saja….!

Bermula dari Niat

4:04:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Ketika menyusuri jalan panjang Jeddah-Madinah, Januari lalu, saya membayangkan betapa beratnya perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah yang ditempuh Rasululloh SAW dan para sahabatnya. Padang pasir yang super panas dan gersang terlihat sejauh mata memandang. Perjalanan dengan bis nyaman ber AC sejuk saja terasa lama dan membosankan, apalagi perjalanan dengan berjalan kaki atau naik onta, seperti mereka, orang-orang terbaik sepanjang masa itu. Selain alam yang ganas, mereka masih dibayang-bayangi para musuh yang beringas dan siap membunuh. Hanya keimanan yang tinggi dan harapan akan kehidupan nikmat sesudah kematian saja yang bisa mengalahkan segala kesulitan.


Tapi tunggu, saya teringat dengan sebuah hadist terkait peristiwa hijrah :
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung niatnya. Dan bagi setiap orang, apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena dunia (harta atau kemegahan dunia), atau karena seorang wanita yang ingin dikawininya, maka hijrahnya seperti yang ia niatkan.”

Subhanallah, perbuatan boleh sama, kesulitan yang dihadapi serupa, tapi hasilnya bisa berbeda 100 %. Ternyata tak semua yang berhijrah itu benar-benar mengharap ridho Allah. Ada juga yang menempuh segala kesulitan hanya karena ingin jadi lebih kaya. Bahkan ada karena ingin mengawini pujaan hati. Duh.. sesuatu yang manusiawi, tapi sangat fatal akibatnya.

Semua memang bermula dari niat. Niat dalam hati. Hanya kita dan Allah yang tahu, apa niat kita melakukan segalanya selama ini. Untuk apa sih kita bersusah payah bekerja, jungkir balik seharian, mengejar sesuatu habis-habisan, atau buat yang sedang belajar, kuliah mati-matian? Kalau niatnya hanya untuk dunia, (materi, pujian, atau segala sesuatu yang akan kita tinggalkan) semuanya memang akan kita dapatkan. Tapi betapa ruginya. Seharusnya, segalanya kita niatkan untuk ibadah kepadaNya, mencari keridhoanNya. Dunia dan segalanya akan mengikuti, kalau ridho Allah yang jadi tujuan. Sudah selayaknya niat dibenahi, agar semuanya bermakna, hingga di surga nanti.(***Subhan Afifi)

Komunikasi Kontempoter & Perkembangan Teknologi Komunikasi

7:08:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Komunikasi Kontemporer adalah salah satu mata kuliah wajib yang diajarkan di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta. Mata kuliah ini membahas isu-isu komunikasi terbaru yang sedang menjadi perbincangan hangat di dunia komunikasi. Pembahasannya dapat dikaitkan dengan teori, hasil penelitian maupun analisis perkembangan terbaru fenomena komunikasi. Mahasiswa yang mengikuti matakuliah ini diharapkan akan memiliki kemampuan analisis yang baik, selain mampu menulis sebuah artikel ilmiah yang berkualitas. Harapannya, ketika menulis skripsi nanti, mahasiswa tidak lagi kesulitan, karena telah memiliki bekal yang cukup. Mata kuliah ini dilaksanakan dengan sistem diskusi karena menerapkan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student centered learning). Mahasiswa akan aktif mengeksplorasi sumber pembelajaran dan mendiskusikannya di kelas.
Saya, yang sudah 2 tahun tidak mengajar karena sedang tugas belajar, pada semester pendek kali ini, diminta jurusan mengampu mata kuliah ini. Pada pertemuan pertama, Rabu (25/6), mahasiswa saya minta untuk mendiskusikan tema-tema komunikasi yang menurut mereka menarik dan sedang menjadi fenomena relatif baru saat ini. Beberapa topik komunikasi kontemporer yang dimunculkan mahasiswa adalah :
Electronic Public Relations
Pencitraan Indonesia di Luar Negeri
Manajemen komunikasi bencana
Stategi Komunikasi Kebijakan Publik
Personal Branding Elit Politik
Electronic Government
Eksistensi Media Cetak di Era Digital
Pornografi di Internet
Cyber Crime
Media dan Terorisme
Media dan Konflik Keagamaan
Media dan Irasionalitas Masyarakat
Media dan Isu Lingkungan
Propaganda Media Barat terhadap Islam
Jurnalisme Damai
Jurnalisme Infotainment
Televisi dan Budaya
Televisi, Kekerasan dan Anak-Anak
Etika Jurnalistik Televisi
Komunikasi Pendidikan
Regulasi Telekomunikasi
Film dan Identitas
Etika periklanan
Semiotika Grafiti

Selanjutnya, mahasiswa akan menulis salah satu topik tersebut menjadi sebuah artikel ilmiah. Mahasiswa akan mengeksplorasi data dan referensi terkait topik yang dipilih. Selama proses penulisan artikel ilmiah itu, ide dan analisis mahasiswa yang terkait dengan topik penulisan, atau topik-topik lain dalam bidang komunikasi, saya minta di publikasikan di blog masing-masing. 

****


Selain mata kuliah Komunikasi Kontemporer, pada semester pendek tahun ajaran 2007/2008 ini, saya mengampu mata kuliah Perkembangan Teknologi Komunikasi. Mata Kuliah ini membahas perkembangan teknologi komunikasi dari perspektif ilmu komunikasi. Objek material ilmu komunikasi adalah masyarakat dan media, jadi mata kuliah ini akan menitikberatkan perhatian pada eksplorasi konsep-konsep dasar, konsekuensi sosial dan konsekuensi kultural teknologi komunikasi.
Seperti halnya, mata kuliah Komunikasi Kontemporer, mata kuliah ini menekankan keaktifan mahasiswa dalam belajar. Student Centered Learning sudah sewajarnya dipraktekkan dalam pembelajaran di perguruan tinggi. Dosen bukan sumber segala ilmu, tetapi hanya fasilitator yang menjadi teman diskusi mahasiswa. Perkembangan Teknologi Komunikasi sangat memungkinkan mahasiswa untuk menggali sumber belajar seluas mungkin, lebih dari sekedar hasil catatan atau copy-an via USB file power point bahan kuliah dosen.
Beberapa bahasan yang akan didiskusikan adalah :
Hakekat Teknologi Komunikasi
Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi 
Mediamorfosis dan Pengaruh Kemajuan Teknologi terhadap Media Komunikasi
Konsep dan Aplikasi dalam Cyberspace 
Konsekuensi Sosial Teknologi Komunikasi
Konsekuensi Kultural Teknologi Komunikasi
Agenda Penelitian Teknologi Komunikasi

Beberapa referensi yang bisa menjadi alternatif rujukan mata kuliah ini adalah : 

Abrar, Ana Nadhya, 2003, Teknologi Komunikasi, Perspektif Ilmu Komunikasi, LESFI, Yogyakarta

Fidler, Roger, 2003, Mediamorfosis : Memahami Media Baru, Bentang, Yogyakarta 

Holmes, David, 2005, Communication Theory, Media, Technology, Society, Sage, London 

Pavlik, John V, 1996, New Media Technology, Cultural and Commercial Perspectives, Allyn and Bacon, Boston


(***Subhan Afifi)

10 Pemenang Hibah Penelitian Pemkot Jogja

7:01:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

17/06/2008 08:13:58 YOGYA (KR) - Sepuluh judul proposal penelitian terpilih untuk didanai dari program hibah penelitian Pemkot Yogya tahun 2008. Proposal terpilih tersebut diambil dari 2 tema yang telah ditetapkan yaitu: Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkualitas dengan dukungan sumber daya manusia yang profesional dan Kota Yogyakarta sebagai kota yang sehat dan nyaman huni dengan pengelolaan fasilitas publik yang memadai.

Ketua Tim Penilai Drs Ana Nadhya Abrar MES, Senin (16/6) mengatakan, judul proposal yang dinyatakan terpilih ini masing-masing memiliki catatan khusus dari tim seleksi Jaringan Penelitian (Jarlit) untuk diperbaiki, agar bisa dilaksanakan secara terencana, operasional dan menghasilkan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan Pemkot. "Proposal yang terpilih harus dipresentasikan di hadapan tim Jarlit dan instansi terkait di lingkungan Pemkot pada Sabtu (21/6) mendatang di Bappeda kota," ujarnya.

Berikut ke-10 judul proposal tersebut yaitu 'Menghargai perbedaan individu murid; studi kasus di SD Tumbuh' (Ariska Setyawati SE), 'Prospek dan tantangan lulusan kejar paket dalam dunia kerja' (Syariful Hidayatullah SSos). 'Efektivitas interaksi guru dan siswa yang humanis terhadap manajemen di kelas SD di Kota Yogyakarta' (Dra S Hafsah Budiargiati SPsi MSi). 'Pengelolaan pendidikan anak usia dini RW di Kelurahan Keparakan Kota Yogyakarta' (Hartanti MPd).

Selain itu, 'Model pendidikan Islam terpadu; studi penyelenggaraan pendidikan di asrama pelajar pondok pesantren Nurul Ummah Kota Yogyakarta' (Fuad Hasyim SS). 'Analisis Yogyakarta sebagai kota pendidikan berbasis pendidikan vokasional' (Crisantus Eko Setiawan SSos MM). 'Pemberdayaan perpustakaan sekolah sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam rangka mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan' (Nur Halim Sumirat SPdI).

'Pojok pintar di Halte Bis Trans Jogja; upaya meningkatkan kualitas layanan transportasi publik dan minat baca masyarakat Kota Yogyakarta' (Subhan Afifi MSi).

'Tingkat pengetahuan dan pola konsumsi pangan anak usia sekolah di wilayah Kota Yogyakarta ditinjau dari aspek mutu gizi serta keamanan pangan' (Ina Karlina SKepNs). 'Penataan ruang kawasan permukiman di bantaran kali Code; upaya mewujudkan kota sehat dan nyaman huni dengan dukungan masyarakat madani'

(Rini Rachmawati SSi MT). (Ret)-z
Sumber :

Berlibur Ke Perpustakaan

1:42:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang ibu keluar menggandeng anak balitanya dengan wajah ceria dari sebuah gedung yang menjulang ke langit. Di dalam gedung itu, ada sebuah ruangan besar yang asri nan nyaman. Anak-anak bisa “jungkir balik” di situ, atau melahap aneka buku bergizi senikmat mereka mengunyah pizza. Para orang tua pun tampak serius dengan buku-buku dan sumber bacaan digital. Ruang bacaan dan koleksi buku-buku di lantai dasar itu memang khusus untuk anak-anak dan parenting. Ya, saya sedang berada di National Library. Milik sebuah negeri yang mungil : Singapore. Sebuah perpustakaan terpadu yang terdiri dari Central Lending Library, the Lee Kong Chian Reference Library, dan juga Drama Centre.

Saya terkesan, betapa mereka sangat menghargai buku dan para pencinta buku. Tengoklah bagaimana para petugasnya melayani para pengunjung dengan ramah dan sigap. Ketika saya menjelajahi “The Lee Kong Chian Reference Library” dari lantai 7-13, petugas jaga selalu siap menjawab pertanyaan bahkan mengantar saya menemukan buku di raknya, setelah mengecek di komputer katalog. Di lantai 11, saya mencari sebuah buku berjudul “Future Television”. Petugasnya meminta saya menunggu 10 menit. “Buku ini, ada di bagian yang lain, akan saya ambilkan,” katanya. Tepat 10 menit, Ia datang dengan buku berwarna cerah. “Apakah buku ini yang anda cari ?” katanya dalam bahasa Inggris berlogat China. Olala, rupanya buku itu adalah fiksi ilmiah anak-anak.

Singapore memang memberikan perhatian besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang disimbolkan melalui buku. Sayangnya, wisatawan Indonesia yang menjadi juara 1 pengunjung terbanyak di Singapore (tahun 2007 berjumlah 1.956.000 orang) tidak begitu berhasrat menjadikan National Library atau perpustakaan-perpustakaan lain sebagai objek kunjungan mereka. Mereka lebih tertarik membajiri Orchard Road dan tempat-tempat sejenis. Mereka adalah para penggila belanja alias shopoholics yang terkenal paling royal. Tak ada sama sekali kesan Indonesia adalah negara miskin, bila melihat orang-orang yang gila belanja itu di Singapore. Saya jadi teringat 3 orang permata hati saya yang sedang “gila” membaca : Azzam, Zulfa dan Nuha. Andai saja mereka berkesempatan mengunjungi negeri-negeri yang lain, termasuk Singapore, maka perpustakaan yang mencerdaskan, selayaknya menjadi objek kunjungan utama mereka. (InsyaAllah ya Nak.. suatu saat!).

Saya tak begitu tega membandingkan kondisi National Library Singapore itu dengan suasana perpustakaan nasional atau perpustakaan daerah kita yang berdebu. Hanya saja, saya bertanya dalam hati, sebegitu miskinkah kita? Apakah pemerintah atau tokoh-tokoh kita tak punya cukup uang untuk membangun perpustakaan yang layak dan nyaman, sehingga menjadi tujuan utama para orang tua dan anak untuk “menghabiskan waktu”? Sepertinya tidak. Buktinya,mereka mampu menggelontorkan banyak duit untuk klub sepak bola yang kalah melulu. Nyatanya, para pemimpin lebih suka menghabiskan uang milyaran rupiah untuk mengiklankan diri di televisi, atau memasang potret diri mereka, lengkap dengan slogan-slogan tanpa bukti di sepanjang jalan seantero negeri. Atau, tengok saja, seorang isteri gubernur di suatu daerah menghabiskan dana jutaan rupiah untuk memasang iklan di harian lokal, “hanya” untuk mengumumkan kepada publik kalau kucing kesayangannya hilang.

Masalahnya ada pada visi. Visi untuk jadi bangsa yang maju dan cerdas lewat buku yang belum kita punya. Budaya baca yang rendah sudah lama disadari, tapi tak pernah sungguh dicarikan solusi.Banyak sebenarnya yang bisa dilakukan semua pihak untuk mengejar ketertinggalan kita di dunia pustaka. Perpustakaan nasional, daerah atau yang dimiliki perguruan tinggi sudah saatnya direformasi menjadi pusat ilmu senyaman pusat-pusat perbelanjaan. Bukan sekedar asal ada. Uang-uang berlebih dari para orang kaya, pejabat, kandidat kepala daerah, tokoh parpol, atau siapapun, akan lebih bermakna bila diinfakkan ke perpustakaan, daripada “hangus” di jalan-jalan.

Dalam skala yang lebih kecil, kita bisa berbuat lebih banyak dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah kita. Tak masalah rasanya, jika gedung sekolah terlihat sederhana, tetapi koleksi buku-buku perpustakaan bertambah setiap bulan. Ruangan dan fasilitasnya dibuat paling lengkap dan nyaman. Perpustakaan sudah selayaknya mendapat prioritas nomor satu. Para petugas perpustakaan juga bukan ala kadarnya tetapi pustakawan profesional yang benar-benar cinta buku.

Beruntung, sekolah anak saya, Azzam dan Zulfa, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, telah menunjukkan itikad baiknya untuk menempatkan perpustakaan dalam posisi terhormat. Hampir setiap hari, Azzam dan Zulfa membawa buku baru dari perpustakaan sekolahnya. Kadang mereka harus diingatkan berkali-kali untuk ganti baju sekolah atau mandi, karena keasyikan membaca buku pinjaman begitu tiba di rumah. Menurut cerita mereka, perpustakaan sekolah selalu penuh pada jam-jam istirahat. Para siswa lebih memilih beristirahat dengan membaca, atau menonton koleksi audiovisual yang lumayan lengkap di perpustakaan yang sejuk.

Ketika saya pulang ke Jogja, saya menemukan sebuah perpustakaan umum yang nyaman di Jogja Utara : Taman Bacaan Natsuko Shioya. Saat kami sekeluarga mengunjunginya, kami semua langsung merasa betah. Koleksi bacaannya cukup lengkap. Gedung dan ruang bacaannya yang didisain nyaman dengan suasana alam yang menyegarkan, membuat anak-anak sulit diajak pulang. Rasanya waktu berlalu begitu cepat di situ. Perpustakaan itu bukan milik pemerintah, atau dibangun oleh tokoh nasional yang banyak uang. Tapi didedikasikan oleh Glen Goulds, asal Australia dan perusahaan tempatnya bekerja CV Satria Grafika untuk mengenang seorang turis Jepang yang dulunya sering berkunjung ke Yogyakarta, Natsuko Shioya. Nyamannya suasana perpustakaan itu membuat saya dan isteri tak lagi bingung merencanakan liburan anak-anak. Kami sudah menggagendakan Taman Bacaan Natsuko Shioya (dan mungkin perpustakaan-perpustakaan lain di kota kami) menjadi tujuan utama untuk mengisi liburan mendatang. Ya, InsyaAllah, kami akan berlibur ke perpustakaan. (***Subhan Afifi)

Ketika Penulis Blog Ditangkap

4:54:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi




Tadi malam saya berdiskusi, tepatnya mewawancarai, pensyarah (dosen) jurusan Penyiaran dan Film, Universiti Malaya, Dr Abu Hassan Hasbullah, tentang prasangka budaya Indonesia-Malaysia di Media Massa.

Dua negara yang katanya serumpun itu sering menghadapi masalah dalam hubungan. Citra Indonesia, kalau kita membaca media Malaysia, memang tidak begitu sedap. Judul-judul berita seperti ini dapat ditemui : “Curiga dengan Koloni Indon”, “Indon Asingkan Diri, Enggan Campur Gaul Masyarakat Tempatan Meskipun ada Antara Mereka Miliki PR”, “Geng Indon Pecah Rumah Hujung Minggu Mengganas”, “Malaysia tidak Kemaruk Indon”, “Amah Indon Lega Tinggalkan LCCT”, “Indons and Filipinos Top In Crime”, “Indons Robbed, Woman Rapped”, “Warga Indon dituduh Samun Suri Rumah”, “Indon Cemar KL”, dan masih banyak lagi. KBRI KL telah melayangkan surat protes tentang penyebutan kata “Indon” yang bernada merendahkan itu, tapi tetap saja media masih menggunakannya, walau sudah agak berkurang. Di tataran masyarakat Malaysia, kata “Indon” sudah sangat popular untuk menyebut warga Indonesia dengan konotasi bermasalah.

Media Indonesia pun dikritik karena dianggap tidak berimbang dan sering menjelek-jelekkan Malaysia. “Media Seberang Tak Adil, Stesen TV Lapor Berita Negatif Mengenai Malaysia Setiap Hari”, begitu judul berita Harian Metro 13 September 2007. Begitulah !

Menurut Dr Abu yang juga jadi penyelia thesis PhD saya, citra negatif tentang orang Indonesia di media massa Malaysia atau sebaliknya, sudah sepatutnya dihentikan. Karena era ke-sejagad-an tak lagi menyediakan tempat bagi pertentangan karena hal yang “remeh-temeh”. Persoalan pencitraan negatif, khususnya tentang orang Indonesia di Malaysia, menurut Dr Abu, tak lepas dari aspek ekonomi politik media. “Media-media mainstream Malaysia dikendalikan partai berkuasa, UMNO. Citra seperti itu tak ditemui di media-media alternatif,” katanya. Dr Abu menjelaskan panjang lebar bahwa ke depan, berita-berita yang mencitrakan negatif Negara lain tak akan laku di Malaysia, karena masyarakat semakin kritis dan terbuka.

Dr Abu Hassan merupakan salah satu dosen UM yang sering bersuara kritis. Beliau sering diundang berbagai stasiun televisi di Malaysia untuk menjadi narasumber dalam talkshow-talkshow politik terkini. Komentar-komentar tajamnya terhadap penguasa, tak urung membuat ada salah seorang wartawan media Malaysia bertanya : “Apa tidak takut ditangkap?”. Dr Abu hanya tersenyum dan berkata : “Pak Lah berbeda dengan Mahathir, saya menyuarakan pendapat untuk perbaikan masyarakat,” katanya di belakang setir, ketika mengantarkan saya pulang ke kolej 11, pukul 11 malam.

Tadi pagi, saya terkejut membaca Berita Harian. Dua penulis blog, Raja Petra Raja Kamaruddin dan Syed Akbar Ali, ditangkap polisi karena menulis artikel yang dianggap menghasut di blog Malaysia-Today. Ini adalah kali pertama penulis blog didakwa berdasarkan Seksyen 4(1)(c) Akta Hasutan 1948 dengan hukuman maksimum denda RM5,000 atau penjara tiga tahun.


Raja Petra ditangkap karena menulis artikel berjudul Let's Send The Altantuya Murderers To Hell dalam web malaysia-today.net (25/4/08). Sementara Syed Akbar, dikenakan tuduhan menghasut karena menulis komentar berjudul It Is Easy To Impress The Malays. Itu adalah komentar terhadap artikel Raja Petra berjudul Malaysia's Organised Crime Syndicate: All Roads Lead To Putrajaya.



Nah....

(**Subhan Afifi)

Kun Fa Yakun di Kuala Lumpur

3:00:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

May Day lalu, saya beruntung berkesempatan ikut pengajiannya Ustadz Yusuf Mansur di KBRI Kuala Lumpur. Seperti biasanya, seperti yang kita lihat di layar televisi, Ustadz muda itu membawakan tema kekuatan sedekah. Yang membuat saya terkesan, adalah matematika sedekah yang ditawarkannya untuk menjadi solusi apapun masalah yang kita hadapi. Mulai dari kekurangan uang, terlilit hutang, sakit, ingin melanjutkan sekolah, tidak dikaruniai anak, hingga belum kunjung ketemu jodoh. Apapun!

Ustadz Yusuf Mansur tidak sekedar sedang berteori, tapi bercerita dari pengalaman nyata. Ia sendiri pernah terlilit hutang Rp. 1,4 Milyar, dan mampu diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Demikian juga dengan testimoni para pendengar pengajiannya di berbagai kota. Inti dari matematika sedekah itu adalah : tidak akan berkurang harta yang kita sedekahkan, bahkan bertambah. Jika kita punya uang Rp.110.000, kita sedekahkan Rp.10.000 maka sisa uang itu bukan menjadi Rp.100.000, tetapi menjadi Rp 200.000. Ini karena Rp.10.000 yang disedekahkan itu akan dikembalikan Allah menjadi 10 x lipatnya (=Rp.100.000). Maka dengan rumus yang sama, jika uang Rp110.000 itu disedekahkan Rp.100.000, bukan bersisa Rp.10.000, tetapi menjadi Rp.1.010.000. Lagi-lagi karena, yang Rp100.000 itu dikalikan 10. Seorang mahasiswa yang diminta maju ke depan saat pengajian itu, dan hanya membawa uang RM 22, memilih untuk memberikan sedekah RM20, bukan RM2, karena menurut hitung-hitungan matematika sedekah, uangnya akan berlipat menjadi RM202.

Jadi, kata Ustadz, “kalau mau sedekah dan ingin masalah teratasi jangan tunggu uang sisa, karena pasti uang kita nggak bakalan ada sisanya.” Kalau ingin dapat rezeki besar bersedekahlah. Ingin motor atau mobil baru, bukan dengan mengajukan kredit, tapi bersedekahlah 10 %-nya dari total harganya, maka dengan izin Allah, rezeki itu akan datang. Punya utang tak lunas-lunas, sedekahkan 10 % dari total utang. Buat yang sedang nyari jodoh, Ustadz menyarankan untuk “menghitung” kira-kira suami yang diidam-idamkan bergaji berapa sebulan, kalikan 12 (setahun), tambahkan dengan biaya pernikahan dan lain-lain. Dan bersedekahlah 10 % dari totalnya, InsyaAllah suami dambaan segera datang. Mau naik haji cepat, infakkan 10 % dari Ongkos Naik Haji. Ringkasnya, masalah apapun InsyaAllah akan teratasi dengan rumus itu. Tentu saja semuanya harus dengan keyakinan.

Subhanallah, saya kagum dengan cara Ustadz itu menginspirasi dan menggerakkan banyak orang. Para jamaahpun ramai-ramai meletakkan uang sedekah di sorban yang digelar Ustadz, dan menulis komitmen jumlah Rp yang akan disumbangkan untuk program PROGRAM PEMBIBITAN PENGHAFAL ALQUR'AN - DAARUL QUR'AN, di Pondok pesantren Wisata Hati yang dipimpinnya.

Saya pun pulang dengan semangat baru. Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, apakah sedekah yang kita berikan hanya didorong oleh hitung-hitungan matematis, “berapa” yang akan kembali lagi ke kita? Bagaimana kita menjaga keikhlasan? Di akhir pengajian, memang Ustadz menyampaikan bahwa apa yang dijelaskannya masih “Gigi Satu” : bersedekah karena ingin menyelesaikan masalah. Di tahap berikutnya, ada sedekah yang didorong karena syukur kepada Allah, karena cinta kepada Allah. Mungkin itu jawabannya. Alhamdulillah saya mendapat pencerahan hari itu.(***Subhan Afifi)

Mediamorfosis Gaya Malaysia

1:30:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Hawa politik Malaysia masih gerah, walau Pemilu telah cukup lama berselang. Keberhasilan partai oposisi (Partai Keadilan Rakyat-PKR, Partai Islam Se-Malaysia-PAS, dan Partai Aksi Demokratik-DAP) “mencuri” 82 kursi parlemen dari tangan koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN), secara perlahan menghembuskan angin perubahan di negeri jiran itu. Kegagalan BN yang dimotori UMNO mempertahankan dominasinya di parlemen, menginspirasi banyak kalangan di Malaysia bahwa kekuasaan tak selamanya bertahan dan sakral. Keberhasilan oposisi menguasai 5 negara bagian (Perak, Penang, Kedah, Selangor, dan Kelantan), meruntuhkan mitos bahwa BN tak mungkin terkalahkan.

Efek “kemenangan” oposisi merambah ke berbagai sudut. Dunia kampus yang selama ini steril dari perbincangan politik, mulai dipanaskan oleh diskusi-diskusi dan kritik para mahasiswa dan pensyarah (dosen)nya. Masyarakat yang biasa apatis terhadap politik, semakin tertarik bicara politik. Yang menarik, media massa yang selama ini berada dalam pasungan kerajaan, mulai menunjukkan geliat perubahannya. Media Malaysia sedang bertransformasi dari alat komunikasi yang memberi legitimasi bagi kekuasaan, menjadi media yang berorientasi pada publik dan mendukung demokratisasi. Ada kecenderungan media massa Malaysia memanfaatkan perubahan politik untuk menuju sistem media yang lebih bebas, terbuka dan menjadi penopang demokrasi. Walaupun media cenderung menumpang arus perubahan, karena terlihat ketika pemerintah masih sangat kuat media tidak berbuat untuk perubahan itu, tetapi sejak Badawi kehilangan populeritasnya media memanfaatkan ketidakberuntungan itu.


Berdamai dengan Perubahan
Istilah mediamorfosis, dipopulerkan kembali oleh Roger Fidler (1997) untuk menggambarkan transformasi media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan dan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. Istilah mediamorfosis memang lebih banyak digunakan pada transformasi teknologi media. Media melakukan transformasi karena kekuatan sosial, politik, ekonomi dan kultural. Dalam konteks Malaysia, media telah bertransformasi dari sisi isi (content) pemberitaan, dengan mengambil momentum Pemilu Malaysia ke-12, Maret lalu.

Sebelum Pemilu ke-12, media massa Malaysia tak ubahnya media massa kita di era Orde Baru. Koran, majalah, tabloid, televisi dan radio yang beredar tak lebih dari corong penguasa dengan nada seragam. Saya pernah terjebak dalam demonstrasi besar-besaran yang digalang kaum oposisi di pusat kota Kuala Lumpur, November tahun lalu. Saat itu demonstrasi yang menyuarakan Pemilu Bersih sungguh menjadi pemandangan yang sangat baru di Malaysia. Sebelumnya, hampir tak pernah ditemui demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Demonstrasi a la Indonesia yang menjadi pemandangan biasa di tempat kita tak mungkin ditemui di Malaysia. Saat itu, di tengah guyuran hujan lebat ribuan orang berpakaian “kuning-kuning” meneriakkan takbir dengan sisipan slogan-slogan anti pemerintah. Walaupun disemprot water canon dan gas air mata mereka tetap bersemangat menumpahkan aspirasinya. Saya yang memang tak berniat ikut demonstrasi, segera berlalu dan memilih untuk menyaksikan tayangan “aneh tapi nyata” itu di televisi. Hasilnya sungguh mengecewakan. Televisi memang menyiarkan aksi yang digalang Anwar Ibarahim dan tokoh oposisi lainnya itu. Tetapi, yang muncul hanya suara dan foto pejabat kepolisian yang menyebutkan bahwa demonstrasi berjalan biasa-biasa saja, dan situasi aman terkendali. Khas pejabat. Tanpa secuilpun gambar yang memperlihatkan situasi yang sebenarnya. Sangat kontras apa yang saya lihat langsung dengan realitas yang tampak di media. Teknologi komunikasi sudah sangat maju di Malaysia, tapi tidak untuk tayangan anti pemerintah.

Pengalaman kecil itu menjadi contoh riil untuk mengambarkan kondisi media Malaysia selama ini. Media cetak dan elektronik benar-benar dikuasai Barisan Nasional. Stasiun Televisi RTM1 dan RTM2 yang seharusnya dikonsep sebagai televisi publik menjadi alat propaganda Barisan Nasional dalam arti yang sebenar-benarnya. Koran-koran utama hanya berisi good news versi penguasa. Tanpa sedikitpun celah untuk perbedaan pendapat. Berita-berita yang berpeluang menimbulkan “gejolak”, dan merugikan kepentingan nasional tak mungkin ditemui. Ketika media kita mem blow up berbagai persoalan yang menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia, mulai dari dari kasus Ambalat, Penganiayaan TKW, penganiayaan wasit karate, klaim lagu Rasa Sayange, hingga isu Askar Wathoniyah, media Malaysia adem ayem saja. Alhasil, rakyat Malaysia bahkan merasa tak tahu menahu dengan persoalan-persoalan itu. Masyarakat kelas menengah dan terpelajar Malaysia lebih memilih internet sebagai sumber informasi, daripada media massa tradisional. Sensor berlebihan terhadap media, telah berdampak negatif terhadap pencitraan Barisan Nasional. Walaupun secara tekstual berita-berita media memuji-muji penguasa, tetapi masyarakat Malaysia sudah semakin cerdas untuk menyadari konteks atau “berita di balik berita”.

Hingga menjelang Pemilu, media Malaysia masih menunjukkan wataknya yang telah menahun. Di masa kampanye, media-media utama hanya milik barisan nasional. Partai oposisi tak memiliki akses sama sekali untuk diakses media. Mereka hanya berkampanye melalui media internal, selain ceramah umum dan internet.
Setelah hasil Pemilu di umumkan, dan hasilnya cukup mengagetkan masyarakat Malaysia, media massa mulai berdamai dengan perubahan itu. Stasiun-stasiun televisi mulai memberikan ruang bagi kritik dari tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Barisan Nasional. Media cetak dan elektronik yang sebelumnya cenderung memuji-muji pemerintah, berbalik mengecam dengan menghadirkan analisis yang menunjukkan kebobrokan penguasa. Mahathir yang mengkritik keras dan menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Badawi mendapatkan tempat yang luas di media massa. Kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Setelah Pemilu ke-12, kesan perubahan orientasi pemberitaan segera terasa bila kita membaca koran-koran utama Malaysia seperti Utusan, Berita Harian, The Star, dan New Straits Time. Koran-koran itu yang sebelumnya berposisi sebagai mitra loyal pemerintah, mulai berani menurunkan berita atau opini yang berbalik menyerang pemerintah. Televisi juga semakin berani menampilkan wacana yang beragam. Talkshow-talkshow kritis sudah mulai menghiasi televisi. Pengamat-pengamat politik juga semakin berani mengkritisi pemerintah.
Mediamorfosis, walaupun masih malu-malu, sedang terjadi di negeri jiran itu. Media memang belum mengalami perubahan yang radikal, tetapi transformasi yang perlahan itu dianggap telah memberi kontribusi berarti bagi transisi demokrasi di Malaysia. (Subhan Afifi***)

Menuju Universitas Ramah Difabel

3:11:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang mahasiswa tuna netra tampak penuh percaya diri memasuki perpustakaan megah University of Malaya, Kuala Lumpur. Tampaknya ia sangat familiar dengan seluk beluk bangunan itu, masuk dengan tenang, memasuki lift, menuju lantai 3, hingga bekerja dengan bantuan komputer khusus di sebuah laboratourim yang memang spesial untuk “Orang Kurang Upaya/OKU”, begitu kaum difabel (penyandang cacat) disebut di sana.


Rupanya si mahasiswa tadi tidak sendiri. Saya cukup surprise melihat cukup banyak kaum difabel yang hilir mudik di kampus itu. Ada yang tuna netra, menggunakan kursi roda, hingga menggunakan kruk dan penyangga leher. Mereka tampak bersemangat dan seperti tak berbeda dengan mahasiswa lain. Ketika saya menawarkan bantuan untuk membukakan pintu bagi seorang mahasiswi berkursi roda, ia menolak dengan halus karena mampu mengerjakan sendiri. Mereka seolah tak ingin dikasihani dan terlihat sangat mandiri. Di sisi lain, semangat untuk membantu mahasiswa difabel juga terlihat jelas. Tawaran untuk menjadi relawan pada program “Pinjamkan Mata Anda” selalu disambut antusias. Program ini memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menjadi “kawan belajar” berupa membacakan buku, berdiskusi dan lain-lain, bagi para mahasiswa tunanetra.

Fenomena di atas ternyata dapat ditemui di hampir semua universitas di Malaysia. Artinya, perguruan tinggi di Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik terhadap kaum difabel. Fasilitas universitas dirancang ramah untuk mereka. Mulai dari tersedianya ramp, jalan khusus khusus berpemukaan rata yang diperuntukkan bagi pengguna kursi roda, toilet khusus penyandang cacat dengan pegangan di kanan-kiri yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk berpindah, laboratourium komputer khusus, lift, hingga tempat parkir khusus bagi mereka. Symbol of access (gambar kursi roda, penanda fasilitas bagi kaum difabel) mudah ditemui di lingkungan kampus. Ketergantungan terhadap bantuan orang lain dapat direduksi karena kampus menyediakan aksesibilitas memadai bagi penyandang cacat.

Fasilitas publik di luar kampus, seperti bus kota, LRT (Light Rail Train), monorail, dan sebagainya juga sudah ramah difabel. Selalu tersedia fasilitas khusus yang mudah diakses bagi “Golongan Kurang Upaya” itu. Setelah para mahasiswa difabel itu lulus dari perguruan tinggi pun, dunia kerja relatif ramah terhadap mereka. Tersedia lowongan kerja untuk penyandang cacat baik sebagai pegawai negeri, maupun karyawan swasta, sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemerintah Malaysia memang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang diperkirakan berjumlah 2 juta orang saat ini.


Bagaimana dengan Universitas Kita ?
Tidak adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, merupakan ciri negara modern. Malaysia yang “baru-baru” saja membangun dunia pendidikannya, ternyata sudah lebih maju dalam memperlakukan kaum difabel. Membandingkan kondisi kaum difabel dengan di negara maju lainnya tentu kita akan lebih ketinggalan lagi.

Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Fasilitas publik yang tidak ramah terhadap mereka, dunia kerja yang hampir tertutup rapat, hingga dunia pendidikan yang belum sepenuhnya terbuka. Tak jarang sebagian kaum difabel dari kalangan bawah terpaksa “menjual” keterbatasan untuk sekedar mengharap belas kasihan di jalan-jalan.

Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi. Ada ketentuan tentang fasilitas umum harus dilengkapi sarana untuk difabel, dunia usaha berkewajiban mengalokasikan 1 % jumlah pekerjanya bagi mereka, dan sebagainya. Di tingkat daerah juga ada peraturan yang khusus, seperti di Jakarta dengan SK Gubernur No 66 tahun 1981 dan Jawa Barat yang memiliki Perda penyandang cacat.

Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.

Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.

Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.

Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.

Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.

Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)

Mogok Sekolah, Tak Perlu Marah

3:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Anak memang benar-benar unik dan beda. Anak pertama saya, Azzam Abdussalam (7 tahun) sejak usia TK sudah menunjukkan “bakat” untuk menjadi anak yang tertib, disiplin, dan mandiri. Hingga kelas 1 di SDIT Hidayatullah,Balong,Yogyakarta, saat ini, tak pernah kami, saya dan isteri, mendapatkan gejala bahwa ia bermasalah dengan sekolahnya. Tak pernah sekali pun, dia mogok sekolah. Prestasinya di sekolah dan di rumah kadang membuat kami terharu. Di usianya kini, ia sudah khatam 2 kali al-Qur’an, hapal juz 30 dan mulai masuk juz 29. (Semoga semangat Al-Qur’an selalu bersemai dalam hatimu ya..Nak!). Shalatnya juga sudah rutin berjamaah di masjid. Kadang, ia mendahului Abinya menembus gelapnya shubuh, berangkat ke masjid, mengayuh sepeda kecilnya. Gairah dan antusiasme belajarnya juga terasa menyala-nyala. Aktivitas belajar yang ia jalani, mulai dari mengulang pelajaran sekolah, tadarus al-Qur’an hingga hapalan Al-Qur’an, berlangsung tanpa beban. Setidaknya, itu yang kami rasakan dan amati. Sungguh, sejauh ini kami tak menghadapi kesulitan berarti dalam menemani kesehariannya. Rasa-rasanya kami tak menghadapi “ujian untuk bersabar” bila menghadapi si sulung itu. Alhamdulillah !


Soal-soal ujian bernama kesabaran itu, justeru diperkenalkan oleh bidadari kecil kami, Zulfa Athifah (6 tahun). Sebagai anak kedua, Zulfa menunjukkan keunikan sekaligus kelebihannya. Sejak bayi, puteri kami ini menunjukkan kreativitasnya yang luar biasa. Kalau menangis, suaranya keras melengking, dan susah untuk dihentikan. Belakangan, terlihat kemauannya keras, susah untuk dipatahkan. Bak diplomat ulung, “argumentasi-argumentasi” si kecil Zulfa susah untuk ditaklukkan.

Dalam hal sekolah, Zulfa menunjukkan gejala “tak mudah diatur”. Sejak masuk play group di usia 3 tahun, Zulfa seringkali menunjukkan “perlawanannya” dengan sekolah. Kalau akan berangkat sekolah, siap-siapnya lamaaa sekali. Sering terlambat, dan sebagainya. Puncaknya ketika di akhir semester 1 TK B, Zulfa “mengambil keputusan” untuk mogok sekolah. “Nggak ah… nggak mau..!” begitu selalu jawabannya. Mogok sekolah ini berlangsung cukup lama. Zulfa sekolah di TKIT Taruna Al-Qur’an,Ngelempongsari, Yogyakarta, sama dengan kakaknya dulu.

Saat itu, saya merasa tak ada yang patut dicemaskan dengan mogok sekolah itu. Dan satu hal yang paling saya ingat, saya berusaha untuk TIDAK MARAH. Kami tak ingin marah-marah. Apalagi mencak-mencak menyalahkan sekolah. Para guru di TKIT itu sudah sedemikian ikhlas dan berjuang keras mendidik anak saya. Tapi, mungkin juga ada sesuatu yang perlu dicari sebagai sumber masalah. Kami mencoba terus mengkomunikasikan masalah ini dengan para guru. Sebagian besar guru menyarankan, “biar saja Pak, nggak usah dipaksa, toh semua kompetensi yang diharapkan, sudah dikuasai Zulfa”. Benar juga, di balik sikap ogah-ogahannya untuk sekolah, Zulfa tak ada masalah dengan berbagai “pelajaran” di TKIT itu. Bahkan, untuk membaca, sejak TK A, Zulfa sudah lancar membaca. Kami tidak pernah mengajarkannya membaca.Tidak juga menerapkan metode Glenn Doman atau apa. Rasanya, tau-tau saja dia bisa membaca. Kami hanya sering, bahkan rutin, membacakan buku-buku sejak dia masih bayi. Kini, buku-buku sekelas Ensiklopedi Bocah Muslim sudah menjadi santapan kegemarannya.

Jadi, tidak adalah alasan untuk marah. Kami juga tidak marah-marah kepada si anak. Apalagi menakut-nakutinya, “nanti kalau nggak sekolah jadi bodoh, jadi miskin, dan sebagainya!”. Yang kami lakukan, kami mencoba untuk terus berdialog, “kenapa sih Mbak Zulfa nggak mau sekolah ?”. Hingga suatu saat terungkap dari bibir mungilnya : “Bosen ah sekolah, gitu-gitu aja !”. Kami kemudian mulai tersadar, benar juga, mungkin Zulfa bosan. Sejak play group, berarti hampir 3 tahun, sekolah di tempat yang sama, menjalani rutinitas yang bisa jadi menjadi tidak ada “tantangannya” lagi.

Mendengar alasannya yang bosan dengan sekolah, kami jadi semakin “memakluminya”. Zulfa kami biarkan menikmati permainannya di rumah bersama sang adik, Nuha Qonitah (3 tahun). Permainan yang paling mereka gemari adalah “Bermain Peran”, dan peran yang sering mereka mainkan adalah “suasana sekolah”. Zulfa jadi guru, Nuha jadi murid. Zulfa sangat terampil menirukan aksi bu gurunya di sekolah, mulai dari saat senam pagi, masuk kelas, hingga pelajaran mewarnai, bercerita, dan prosesi berdo’a dan lagu perpisahan ketika pulang sekolah. Saya, yang saat ini mendapat anugerah terindah untuk banyak di rumah, berusaha untuk menciptakan berbagai kegiatan bersama dengan Zulfa dan Nuha (ketika Azzam sekolah dan umminya ke kantor). Ada kegiatan yang kami sebut “penjelajahan”. Kami naik sepeda bertiga (Zulfa sendiri, Nuha saya bonceng) menyusuri jalan-jalan kampung, mampir di sawah, merendam kaki dalam kali kecil yang mengalir, berenang, dan seterusnya. Atau pergi bertiga ke pasar, beli ini-itu, sambil bercerita apa saja yang membuat mereka tertarik. Rupanya kegiatan-kegiatan itu sangat digemari Zulfa. Termasuk praktek membuat juice buah segar di pagi hari.
Walaupun kami “memaklumi” kalau Zulfa mogok sekolah, bukan berarti kami ingin membiarkan kondisi itu terus berlangsung. Bagi kami, sekolah tetap penting. Lantas, kami terus coba berdialog dengan Zulfa, membangkitkan lagi kerinduannya dengan sekolah, membayangkan bagaimana enak-nya sekolah. “Di sekolah kan banyak temannya, di ajak jalan-jalan” dan seterusnya. Rupanya, lama-lama Zulfa “menyadari” itu. Hingga suatu hari, saya kembali mengantarkan Zulfa ke sekolah. Walaupun awalnya enggan dan ingin menangis, akhirnya Zulfa kembali menikmati sekolahnya. Hingga hari ini. Guru di sekolah pun, dari hasil bincang-bincang, mencari program-program pembelajaran baru untuk Zulfa. Hasilnya cukup melegakan. Saat ini Zulfa sering pulang sekolah ceria dengan cerita-cerita barunya.
Benar saja, dialog dan komunikasi lebih manjur daripada marah-marah. Saya jadi teringat nasihat Ustadz Fauzil Adhim tentang 7 kunci sukses mendidik anak. Saya hanya hapal 3 diantaranya : (1) Jangan Marah, (2) Jangan Marah, (3) Jangan Marah.. Nah.. sudahkah kita (tidak) marah hari ini ? (***Subhan Afifi)

Catatan : Tulisan ini dibuat 4 Oktober 2007 dan pernah di muat Majalah "Fahma",November 2007. Kini Azzam sudah kelas 2 SDIT Hidayatullah, Zulfa kelas 1 di Sekolah yang sama. Sejak masuk SD Zulfa semakin mencintai sekolah dan tak pernah ia mogok lagi.

Sekolah Unggulan Untuk Kaum Miskin

2:59:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi


Yogyakarta masih menjadi gudangnya sekolah unggulan. Dari tingkat TK hingga SMA, berbagai model sekolah unggulan, sekolah favorit, atau apapun istilahnya, dapat ditemui. Negeri maupun swasta tak jadi soal. Asal citra sekolah “wah”, fasilitas lengkap, kurikulum oke, maka para orang tua pun berbondong-bondong menyekolahkan putera-puterinya. Berapapun biayanya. Inilah masalahnya. Sekolah unggulan yang telah melahirkan banyak prestasi, hanya untuk the have, mereka yang punya duit banyak. Masyarakat tidak lagi kaget bila uang masuk TK atau SD, sudah berjuta-juta dan uang SPP perbulannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Lantas bagaimana nasib si miskin? Tak adakah bangku yang tersisa bagi mereka di sekolah unggulan itu? Tulisan ini tak hendak mengkritisi fenomena sekolah unggulan, tetapi mencoba menggagas upaya agar kaum miskin dapat “mencicipi” sekolah unggulan itu.






Sekolah unggulan sering dimaknai sebagai sekolah untuk melahirkan anak didik yang unggul dengan dukungan standar mutu untuk menciptakan prestasi siswa, kurikulum yang sarat muatan, guru berkualitas, sarana-prasarana yang lengkap dan pengelolaan sekolah yang baik. Profil sekolah unggulan di tengah masyarakatpun dapat dilihat dari prestasi siswa mulai dari juara berbagai lomba, tingkat kelulusan UAN, diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit, dan sebagainya.






Sayangnya untuk menikmati semua itu, sekolah unggulan meminta biaya sangat mahal. Untuk masuk sebuah TK unggulan di Yogya saja, uang masuknya jutaan rupiah. SD pun demikian, selain harus antre dan mendaftar beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka, orang tua rela merogoh saku dalam-dalam. SMP dan SMA sami mawon. Puluhan juta rupiah harus disediakan. Tak salah bila banyak pihak menilai sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya (the have). Sekolah jenis ini sama sekali tertutup bagi kaum miskin (the have not). Kaum miskin akhirnya bersekolah –itupun kalau beruntung sekolah, karena lebih banyak lagi yang putus sekolah– di sekolah-sekolah dengan kategori “pinggiran” alias “tidak unggul” dan “seadanya”.

Usaha untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum miskin bukan tak pernah dilakukan. Berbagai model “sekolah alternatif untuk kaum miskin” telah dikembangkan di berbagai kota. Di Kalibening Salatiga misalnya, sebuah SMP untuk kaum miskin didirikan dengan konsep pendidikan murah dan berkualitas. Di Bandung, ada SMA khusus untuk kaum miskin yang digagas seorang pengusaha. Sekolah ini benar-benar gratis. Demikian juga di Jakarta, dan kota lain termasuk Yogyakarta, sekolah untuk kaum miskin telah didirikan oleh berbagai lembaga ataupun perorangan. Semua itu layak untuk diberi apresiasi, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas dibanding dengan jumlah kaum miskin yang harusnya terlayani.







Menggerakkan Kembali Orang Tua Asuh
Selain membangun sekolah “khusus” untuk kaum miskin, ada cara lain menurut saya yang dapat dikembangkan agar anak-anak kurang beruntung itu dapat tersenyum mendapatkan pelayanan sekolah berkualitas. Caranya sederhana saja. Menyediakan sebagian dari bangku-bangku sekolah unggulan yang biasanya untuk kalangan the have saja. Artinya sekolah-sekolah unggulan tersebut memiliki kebijakan untuk mengalokasikan kursinya sebagian untuk kaum miskin. Terserah saja, 5 %, 10 %, 25 % 50 %, atau lebih dari itu. Tergantung kemampuan sekolah. Sekolah tidak perlu khawatir kehilangan pendapatan dengan masuknya siswa-siswa tak punya itu. Mereka akan tetap “membayar” tetapi melalui “orang tua asuh” mereka. Ya.. orang tua asuh. Sebuah program yang pernah menjadi gerakan nasional tetapi semakin kehilangan gaungnya. Orang tua asuh inilah yang akan membiayai siswa-siswa tak mampu itu belajar di sekolah unggulan. Teknisnya juga sederhana, sekolah membentuk sebuah unit kerja khusus untuk menggalang orang tua asuh. Berbekal proposal lengkap dengan profil calon-calon anak asuh yang tak mampu tapi punya prestasi tinggi, sekolah tidak susah untuk menggaet calon orang tua asuh. Mereka bisa ditawarkan berbagai paket pembiayaan untuk anak asuh, mulai dari membiayai SPP saja, buku, kegiatan, atau bahkan paket lengkap seperti membiayai anak sendiri. Perusahaan-perusahaan yang sedang gencar menjalankan program Corporate Social Responsibility juga layak untuk diajak membiayai kegiatan mulia ini. Tidak jarang justeru perusahaan atau perorangan merasa kesulitan menyalurkan dana sosial mereka. Program pendidikan untuk kaum miskin biasanya lebih dipilih karena lebih memberdayakan bila dibandingkan bantuan konsumsi habis pakai.

Bila program ini berjalan mulus, maka kelak “Program Orang Tua Asuh” dapat menjadi “core business” sekolah, tidak lagi mengandalkan SPP atau pungutan dari orang tua. Artinya, bisa saja sekolah benar-benar dapat diusahakan menjadi murah atau bahkan gratis karena dananya ditanggung oleh donatur. Sebagai ilustrasi, sebuah sekolah unggulan, SDIT Hidayatatullah, di kawasan Jogja Utara, setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada anak kurang mampu untuk menikmati layanan pendidikannya. Untuk keseluruhan kegiatan sekolah tersebut memiliki sumber pembiayaan dari SPP (48 %), BOS (17 %), donator (14 %), Komite Sekolah (20 %), Lain-lain (2%). Terlihat bahwa dana donator atau orang tua asuh jumlahnya hampir menyamai dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Bila usaha ini terus dilaksanakan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus meningkat. 14 % dana dari donatur dari keseluruhan pendapatan sekolah dapat digunakan untuk membiayai anak miskin.

Ilustrasi tersebut memperilihatkan bahwa program “Sekolah Unggulan untuk Kaum Miskin” itu dapat memberikan kontribusi besar dalam mengurai benang kusut persoalan pendidikan kita. Salah satunya adalah sekolah akan terhindar dari sikap diskriminatif. Sebuah prinsip dalam filosofi pendidikan yang sering dilanggar. Sekolah seharusnya terbuka bagi siswa dari semua jenis kalangan. Heterogenitas siswa memberikan dampak yang positif dalam keperibadian anak didik. Siswa dari golongan kaya dapat bersosialisasi dengan anak dari golongan miskin. Mengetahui kekurangberuntungan mereka, berempati hingga suatu saat muncul keinginan untuk berbagi. Siswa miskinpun akan muncul kepercayaan dirinya bila diberikan kesempatan bergaul dengan siswa yang lebih dari mereka dari segi ekonomi. Kepercayaan diri akan menghilangkan perasaan minder.
Selain itu, sekolah unggulan akan benar-benar meraih predikat “unggulan” yang sesungguhnya, bukan sebutan semu yang mengundang cibiran masyarakat. Jika selama ini sebutan sekolah unggulan dialamatkan kepada sekolah yang inputnya bagus, proses bagus dan outputnya bagus maka hal itu adalah wajar adanya. Sekolah akan benar-benar disebut unggul bila input yang diproses adalah dari kalangan yang “kurang bagus” lantas menghasilkan output yang istimewa. (***Subhan Afif)

Catatan : Tulisan ini dibuat 6 Desember 2006 dan pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jateng-DIY, www.kompas.com/kompas-cetak/0612/16/jogja/1031803.htm