Berharap Visi Pendidikan dari Televisi

2:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Setiap memperingati hari pendidikan nasional, rasa prihatin masih lebih dominan terasa dibanding haru biru kebanggaan karena prestasi. Betul, beberapa siswa kita meraih penghargaan internasional di ajang olimpiade fisika dan sejenisnya. Tetapi hanya, beberapa siswa yang berhasil menunjukkan mutu pendidikan dari sisi prestasi puncak itu. Selebihnya, bila kita bicara tentang mutu rata-rata anak didik kita, masih jauh dari harapan. Fakta-fakta yang menyesakkan dada tentang dunia pendidikan kita belum juga bisa teratasi. Mulai dari persoalan akses pendidikan yang belum berkeadilan, mutu pendidikan yang belum beranjak, hingga tata kelola pendidikan yang buruk dan menghasilkan citra publik yang tidak sedap tentang pendidikan nasional. Sayangnya seluruh komponen bangsa belum satu kata untuk membangkitkan pendidikan kita. Kebijakan tentang Standar Nasional Pendidikan yang diimplementasikan melalui Ujian Nasional di tingkat SMP dan SMA misalnya, justeru melahirkan budaya kecurangan yang konspiratif. Karena takut tidak lulus ujian nasional, yang berarti hancur sudah segala usaha dan upaya selama 3 tahun bagi siswa, dan hancurnya reputasi bagi guru, sekolah bahkan pemerintah daerah, maka praktek-praktek kecurangan yang dilakukan secara “berjamaah” mulai terungkap.

Di sisi lain, media massa, terutama televisi, sebagai pihak yang seharusnya mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan, belum mengedepankan visi pendidikan dalam program-programnya. Tak heran, bila Sidang Tanwir Muhammadiyah 2007 di Yogyakarta minggu lalu merekomendasikan satu persoalan penting di luar masalah sosial politik dan kelembagaan Muhammadiyah. Salah satu dari 13 rekomendasi Tanwir Muhammadiyah itu adalah : “Menyerukan kepada pengelola pertelevisian untuk tidak menayangkan acara-acara yang dapat merusak moral anak bangsa”.

Rekomendasi tersebut penting dan mendapat momentum yang tepat dengan peringatan hari pendidikan nasional. Selain pemerintah yang terus bekerja keras memperbaiki sisitem pendidikan, sekolah dan para guru yang terus bersimbah peluh dan air mata di garda paling depan, televisi juga harus mengambil peran dalam pencapaian tujuan pendidikan, terutama dalam pembentukan moralitas anak didik. Televisi adalah “pendidik” yang bukan tidak mungkin lebih di dengar siswa karena lebih atraktif, dibanding wejangan yang dianggap klasik nan kuno dari para orang tua dan guru.

Tugas televisi, seperti halnya media massa lainnya, dalam proses demokratisasi adalah memberi informasi, mendidik, menghibur dan kontrol sosial. Tugas-tugas yang lain, relatif telah terpenuhi. Apalagi tugas untuk menghibur, ini yang paling dominan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bandung TV Wacth terhadap televisi swasta, ditemukan bahwa porsi siaran yang bersifat pendidikan sangat kecil, hanya 6 %, selebihnya untuk informasi (27 %) dan hiburan (67 %) (Republika, 1 Mei 2007).

Tugas “mendidik” inilah yang perlu untuk terus dikritisi, mengingat menu-menu televisi yang dikonsumsi anak didik kita, justeru menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur pendidikan. Menu televisi yang mereka konsumsi tidak jauh tak jauh dari kekerasan, cabul yang berbalut kisah percintaan, perselingkuhan, dendam, amarah, dan seterusnya. Belum lagi acara yang berbau klenik, dan hantu, yang mengesampingkan akal sehat. Acara yang berbau relegiuspun lebih dekat dengan mistik dan khurafat. Kini malah sedang digencarkan program cerita cinta dengan lakon anak-anak. Mereka yang masih bau kencur itu sudah dilatih untuk terlibat cinta segitiga yang penuh konflik a la selebritis di acara infotainment. Belum lagi gambaran tentang sinetron-sinetron remaja yang sering menjadikan setting sekolah sebagai bumbu cerita. Celakanya, sekolah digambarkan tidak lagi menjadi institusi pendidikan yang mulia. Sekolah hanya jadi ajang rebutan cinta, pamer kekayaan, jauh dari realitas sekolah idial. Sekolah juga digambarkan berisi guru-guru galak, tidak berwibawa, sering dikerjain murid-muridnya, murid-murid tidak hormat lagi, pakaian tidak rapi dengan asesoris yang tidak umum, dan seterusnya. Tentu saja, tidak semua program televisi bernuansa seperti itu. Beberapa program ada yang relatif mencerdaskan bagi siswa, dan layak dikonsumsi. Tetapi secara umum, jumlahnya masih sangat minim.

Dalam konteks masyarakat Barat, anak-anak dan remaja memang dianggap mampu untuk mengorganisasikan apa yang mereka tonton dengan keseluruhan pengalaman domestik mereka, (Palmer dalam Burton 2000). Perilaku siswa dalam menonton televisi dan dampaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, gender, dan kematangan fisik dan sosial. Tetapi di sisi lain, di sana para orang tua memiliki tingkat melek media (media literacy) yang tinggi dan melakukan pendampingan terhadap anak-anak ketika menonton televisi secara aktif. Aturan tentang televisi di negara-negara maju juga sangat ketat. Komisi Independen bidang penyiaran diberikan wewenang sangat kuat untuk mengawasi isi siaran, terutama bila terkait dengan anak-anak. Akademisi mereka juga terus mengumandangkan “bahaya” televisi bagi anak-anak, terutama berkaitan dengan dampak televisi terhadap intelektualitas mereka. Jane M Healy misalnya, seperti dikutip Adhim (2004) mengingatkan : Higher levels of television viewing correlate with lowered academic performance, especially reading scores. (Kuatnya anak memelototi TV berhubungan erat dengan merosotnya prestasi akademik anak, khususnya nilai membaca). Anak yang terbiasa menonton TV, otaknya cenderung istirahat. Maria Conroy (1993) menyerukan agar orangtua melarang atau sekurang-kurangnya membatasi anak menonton TV dan vidiogame karena keduanya membuat anak menjadi pasif. Jane M Healy merekomendasikan agar anak-anak usia SD dan yang lebih tua dari itu menonton TV seminggu sekali. Kalau tidak bisa Healy menunjukkan batas waktu maksimum menonton TV berdasarkan usia anak. Menurut Healy, satu jam setiap hari bagi anak-anak usia pra sekolah merupakan waktu yang berlebihan untuk menonton TV, sedangkan satu atau dua jam bagi atas usia di atasnya merupakan batas maksimum.

Tidak demikian dengan anak-anak dan remaja di negara berkembang seperti di Indonesia. Anak didik kita masih tergolong dalam “penonton pasif” yang siap menelan mentah-mentah materi tontonan dan melakukan duplikasi tanpa bersikap kritis sedikitpun. Kasus Smack Down yang memakan korban banyak anak beberapa waktu lalu adalah bukti empiris. Ketidakmatangan sosial dan daya kritis ini anak diperburuk oleh sikap orang tua yang sebagian besar belum “melek media”.Kemampuan memilih dan memilah program yang ramah untuk keluarga masih terbatas. Anak-anak dibiarkan “diasuh” oleh televisi hingga berjam-jam dalam sehari karena dianggap meringankan beban orang tua. Jam tayang yang seharusnya masuk dalam kategori dewasapun luput dari pengawan orang tua, dan anak-anak bebas menikmatinya. Di sisi lain, kita memang telah memiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berdasarkan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 tentang penyiaran diberikan wewenang untuk mengawasi. Tetapi, persoalan yang menghadapi KPI masih cukup rumit, mulai dari wewenang yang terus dikebiri melalui peraturan pemerintah, hingga persoalan kelembagaan menyebabkan KPI belum dapat langsung bertindak.

Harapan yang masih tersisa adalah memohon dengan kerendahan hati kepada para pengelola televisi untuk lebih mengedepankan “nurani”, tanggung jawab sosial dan visi pendidikan mereka. Mereka sendirilah yang seharusnya menerapkan sensor mandiri (self cencorship) bagi program-program acara. Sangat bisa dipercaya, pengelola televisi adalah orang-orang profesional yang sebenarnya sangat mengerti mana program-program yang mencerdaskan, mana acara-acara yang sampah. Kepentingan kapital atau keuntungan tak akan hancur seluruhnya bila televisi mengedepankan tanggungjawab sosial dengan menyajikan acara-acara yang bermutu dengan visi membangun pendidikan anak bangsa. Bukan tidak mungkin justeru akan menjadi lebih optimal, karena dukungan publik. Saatnya ambiguitas televisi dihentikan. Disatu sisi menyajikan acara-acara relegius, bahkan untuk anak-anak ada kontes da’i cilik, tetapi disisi lain program-program sarat kekerasan,mistis, dan seks, jalan terus. Visi pendidikan televisi sangat berkontribusi bagi perbaikan pendidikan nasional kita. (**Subhan Afifi)

Catatan : Tulisan ini dibuat 1 Mei 2007, pernah di muat di harian Merapi, 2 Mei 2007

0 komentar: