Berlibur Ke Perpustakaan

1:42:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang ibu keluar menggandeng anak balitanya dengan wajah ceria dari sebuah gedung yang menjulang ke langit. Di dalam gedung itu, ada sebuah ruangan besar yang asri nan nyaman. Anak-anak bisa “jungkir balik” di situ, atau melahap aneka buku bergizi senikmat mereka mengunyah pizza. Para orang tua pun tampak serius dengan buku-buku dan sumber bacaan digital. Ruang bacaan dan koleksi buku-buku di lantai dasar itu memang khusus untuk anak-anak dan parenting. Ya, saya sedang berada di National Library. Milik sebuah negeri yang mungil : Singapore. Sebuah perpustakaan terpadu yang terdiri dari Central Lending Library, the Lee Kong Chian Reference Library, dan juga Drama Centre.

Saya terkesan, betapa mereka sangat menghargai buku dan para pencinta buku. Tengoklah bagaimana para petugasnya melayani para pengunjung dengan ramah dan sigap. Ketika saya menjelajahi “The Lee Kong Chian Reference Library” dari lantai 7-13, petugas jaga selalu siap menjawab pertanyaan bahkan mengantar saya menemukan buku di raknya, setelah mengecek di komputer katalog. Di lantai 11, saya mencari sebuah buku berjudul “Future Television”. Petugasnya meminta saya menunggu 10 menit. “Buku ini, ada di bagian yang lain, akan saya ambilkan,” katanya. Tepat 10 menit, Ia datang dengan buku berwarna cerah. “Apakah buku ini yang anda cari ?” katanya dalam bahasa Inggris berlogat China. Olala, rupanya buku itu adalah fiksi ilmiah anak-anak.

Singapore memang memberikan perhatian besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang disimbolkan melalui buku. Sayangnya, wisatawan Indonesia yang menjadi juara 1 pengunjung terbanyak di Singapore (tahun 2007 berjumlah 1.956.000 orang) tidak begitu berhasrat menjadikan National Library atau perpustakaan-perpustakaan lain sebagai objek kunjungan mereka. Mereka lebih tertarik membajiri Orchard Road dan tempat-tempat sejenis. Mereka adalah para penggila belanja alias shopoholics yang terkenal paling royal. Tak ada sama sekali kesan Indonesia adalah negara miskin, bila melihat orang-orang yang gila belanja itu di Singapore. Saya jadi teringat 3 orang permata hati saya yang sedang “gila” membaca : Azzam, Zulfa dan Nuha. Andai saja mereka berkesempatan mengunjungi negeri-negeri yang lain, termasuk Singapore, maka perpustakaan yang mencerdaskan, selayaknya menjadi objek kunjungan utama mereka. (InsyaAllah ya Nak.. suatu saat!).

Saya tak begitu tega membandingkan kondisi National Library Singapore itu dengan suasana perpustakaan nasional atau perpustakaan daerah kita yang berdebu. Hanya saja, saya bertanya dalam hati, sebegitu miskinkah kita? Apakah pemerintah atau tokoh-tokoh kita tak punya cukup uang untuk membangun perpustakaan yang layak dan nyaman, sehingga menjadi tujuan utama para orang tua dan anak untuk “menghabiskan waktu”? Sepertinya tidak. Buktinya,mereka mampu menggelontorkan banyak duit untuk klub sepak bola yang kalah melulu. Nyatanya, para pemimpin lebih suka menghabiskan uang milyaran rupiah untuk mengiklankan diri di televisi, atau memasang potret diri mereka, lengkap dengan slogan-slogan tanpa bukti di sepanjang jalan seantero negeri. Atau, tengok saja, seorang isteri gubernur di suatu daerah menghabiskan dana jutaan rupiah untuk memasang iklan di harian lokal, “hanya” untuk mengumumkan kepada publik kalau kucing kesayangannya hilang.

Masalahnya ada pada visi. Visi untuk jadi bangsa yang maju dan cerdas lewat buku yang belum kita punya. Budaya baca yang rendah sudah lama disadari, tapi tak pernah sungguh dicarikan solusi.Banyak sebenarnya yang bisa dilakukan semua pihak untuk mengejar ketertinggalan kita di dunia pustaka. Perpustakaan nasional, daerah atau yang dimiliki perguruan tinggi sudah saatnya direformasi menjadi pusat ilmu senyaman pusat-pusat perbelanjaan. Bukan sekedar asal ada. Uang-uang berlebih dari para orang kaya, pejabat, kandidat kepala daerah, tokoh parpol, atau siapapun, akan lebih bermakna bila diinfakkan ke perpustakaan, daripada “hangus” di jalan-jalan.

Dalam skala yang lebih kecil, kita bisa berbuat lebih banyak dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah kita. Tak masalah rasanya, jika gedung sekolah terlihat sederhana, tetapi koleksi buku-buku perpustakaan bertambah setiap bulan. Ruangan dan fasilitasnya dibuat paling lengkap dan nyaman. Perpustakaan sudah selayaknya mendapat prioritas nomor satu. Para petugas perpustakaan juga bukan ala kadarnya tetapi pustakawan profesional yang benar-benar cinta buku.

Beruntung, sekolah anak saya, Azzam dan Zulfa, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, telah menunjukkan itikad baiknya untuk menempatkan perpustakaan dalam posisi terhormat. Hampir setiap hari, Azzam dan Zulfa membawa buku baru dari perpustakaan sekolahnya. Kadang mereka harus diingatkan berkali-kali untuk ganti baju sekolah atau mandi, karena keasyikan membaca buku pinjaman begitu tiba di rumah. Menurut cerita mereka, perpustakaan sekolah selalu penuh pada jam-jam istirahat. Para siswa lebih memilih beristirahat dengan membaca, atau menonton koleksi audiovisual yang lumayan lengkap di perpustakaan yang sejuk.

Ketika saya pulang ke Jogja, saya menemukan sebuah perpustakaan umum yang nyaman di Jogja Utara : Taman Bacaan Natsuko Shioya. Saat kami sekeluarga mengunjunginya, kami semua langsung merasa betah. Koleksi bacaannya cukup lengkap. Gedung dan ruang bacaannya yang didisain nyaman dengan suasana alam yang menyegarkan, membuat anak-anak sulit diajak pulang. Rasanya waktu berlalu begitu cepat di situ. Perpustakaan itu bukan milik pemerintah, atau dibangun oleh tokoh nasional yang banyak uang. Tapi didedikasikan oleh Glen Goulds, asal Australia dan perusahaan tempatnya bekerja CV Satria Grafika untuk mengenang seorang turis Jepang yang dulunya sering berkunjung ke Yogyakarta, Natsuko Shioya. Nyamannya suasana perpustakaan itu membuat saya dan isteri tak lagi bingung merencanakan liburan anak-anak. Kami sudah menggagendakan Taman Bacaan Natsuko Shioya (dan mungkin perpustakaan-perpustakaan lain di kota kami) menjadi tujuan utama untuk mengisi liburan mendatang. Ya, InsyaAllah, kami akan berlibur ke perpustakaan. (***Subhan Afifi)