7M untuk Anak

11:32:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Komunikasi esensinya adalah memuaskan semua pihak. Sayangnya, dalam komunikasi ada saja pihak yang merasa puas, sepuas-puasnya, tetapi yang lain tidak terpuaskan, atau bahkan tertekan. Komunikasi orang tua dan anak seringkali menunjukkan kecenderungan ini.
Orang tua dan anak jelas-jelas memiliki dunia sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, berkembang, kreatif, suka meniru, dan lebih jelas lagi, anak-anak bukan “orang dewasa mini”. Orang tua dunianya keras, ingin semua serba teratur, penuh kompetisi, ingin disiplin, ingin anak pintar dan penurut, dan seterusnya. Orang tua dan anak memiliki kerangka berfikir (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) yang berbeda.

Disinilah persoalannya. Komunikasi tak akan jalan jika tak ada pemahaman. Dalam berkomunikasi, orang tua sering kali mengabaikan perasaan anak. Padahal jika anak merasa tidak nyaman, bisa merusak harga dan kepercayaan dirinya. Jika cara berkomunikasi orang tua masih banyak yang keliru, pesan tidak akan sampai. Anak-anak akan menyerap pesan apapun dengan mudah bila mereka dalam kondisi senang, dan tidak tertekan.

Bagaimana dengan gaya komunikasi keseharian kita dengan para permata hati yang luar biasa itu ? Para orang tua yang tidak bijaksana, semoga kita tidak termasuk di dalamnya, seringkali menerapkan rumus 7M untuk anak ketika berkomunikasi. Apa itu ?

MEMERINTAH. Betapa sering, kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir ayah bunda yang mulia melulu berjeniskan kalimat perintah. Hampir tanpa variasi. “Andi, mandi cepat !,” “Nabila, Bajunya pakai yang biru saja, jilbabnya juga yang ini !”, “Ayo..makannya dihabiskan !”, “ Sepatunya taruh di rak sepatu !, koq dibuat berantakan begini !” dan seterusnya. Kalimat-kalimat bernada perintah jika terlalu mendominasi pendengaran anak akan membuat jiwanya kerdil. Kelak jika dewasa, sulit mengharapkannya menjadi penyelesai masalah (problem solver), karena otaknya biasa bekerja di bawah perintah, tidak ada alternatif. Berikanlah kalimat-kalimat yang lebih rendah tekanannya, mengandung alternatif, dan melatih anak untuk mengambil keputusan sendiri. “Ayo..mau mandi jam berapa ?”, “Coba dipilih sendiri dech baju mana yang Nabila suka, pasti cantik..” “Kira-kira kalau makannya nggak dihabiskan, gimana coba...mubazir kan..” kalimat-kalimat seperti ini lebih membangkitkan jiwa daripada melulu perintah.

MENYALAHKAN. “Mama kan udah bilang, kalau main, jangan panjat-panjatan begitu..Jadi jatuh kan..!”, atau “Makanya, kalau pulang sekolah langsung pulang, nggak usah mampir dulu, jadi keserempet sepeda kan...!”. Anak sering kali diposisikan dalam posisi serba salah. Padahal belum tentu mereka yang salah. Kalaupun benar-benar salah tidak selayaknya mereka terus dipojokkan. “Ya sudah, nggak apa-apa, lain kali hati-hati ya...” kalimat ini lebih menentramkan hati anak.

MEMBERI CAP. “Kamu memang selalu mengganggu adikmu!”, “Koq lambat banget sih..Selalu begitu. kapan sih bisa cepat?” . Labelling atau pemberian aneka sebutan negatif pada anak berpengaruh pada jatidirinya kelak. Gantilah kata-kata negatif dengan kata-kata yang lebih positif seperti : “bodoh” dengan “harus banyak belajar”, “tidak bisa” dengan “pasti bisa”, “gak pede” dengan “pede aja lagi...” dan seterusnya.

MENGANCAM. Merasa memiliki otoritas penuh, orang tua seringkali main kuasa dan main ancam. “Awas ya..kalau nggak garap PR uang jajanmu nanti ayah potong,”, “Nanti nggak diajak Mama lho..kalau nonton teve terus...” Sebaiknya kalimat-kalimat bernada ancaman dihindari. Karena anak akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena “takut”. Tentu hal ini tidak mendidik. Bangkitkanlah kesadarannya dengan kalimat-kalimat yang inspiratif dan menggerakkan.

MEMBOHONGI. “Ibu sedang nggak punya uang...” kata seorang Ibu ketika anaknya ingin dibelikan buku, padahal baru saja sang ibu terlihat membeli baju baru. Berbohong, sekecil apapun, tak layak dilakukan orang tua pada anaknya.

MENYINDIR. “Katanya sekolahnya di SD Islam ...masa’ shalatnya ditunda-tunda...”,”Katanya
juara kelas, masa’ gitu aja nggak bisa..” Sindiran-sindiran seperti itu lebih bersifat memojokkan dan melemahkan dibanding membangkitkan semangat.

MEMBANDINGKAN. Sengaja atau tidak, orang tua sering mencari pembanding bagi anak, bisa kakak, adik, atau temannya yang dianggap lebih baik. Jika tidak bijak, membanding-bandingkan ini bisa menjatuhkan harga diri anak, dan akan berakibat fatal. “Coba tuh lihat, adikmu, selalu patuh, rajin juga!”. “Waduh, nilai raportmu koq jelek begini sih, banyak main game sih, coba liat si Ahmad itu, belajarnya rajin, pantas aja jadi bintang kelas...”

Jika diteruskan, maka akan muncullah rentetan “M” negatif yang lain, yang lebih banyak lagi. Gaya komunikasi 7M ini bisa berkembang lagi jadi 10 M, 12 M, 14 M dan seterusnya.Padahal sejatinya, anak hanya butuh 2M saja, sebagai wujud penghargaan dan kasih sayang : “Makasih..ya Mas !” atau “Makasih ya..Mbak”. Bukankah di balik sikap dan perilaku anak yang membuat ayah dan bunda mengelus dada, terdapat lebih banyak lagi perbuatan mereka yang menentramkan jiwa. Selayaknya kita berterimakasih pada mereka. Atau, si kecil itu juga memerlukan 2 M yang sederhana :” Maafkan ayah ya Mas..,” atau “Maafkan Ibu ya..Mbak..”. Bukan mereka yang selalu berbuat salah sehingga layak diberi 7M tadi. Tapi justeru, kita, ayah bunda-nya, punya potensi berbuat salah lebih banyak lagi dari mereka. Sungguh, mereka begitu hebat dan berharga....! (***)


Catatan : tulisan ini pernah dimuat di Majalah Fahma, Cerdas di rumah Cerdas di Sekolah, edisi September 2009

Saat Mahasiswa Kembali ke “Zaman Batu”

8:22:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Kuliah di siang itu belum genap setengah jam. Ketika suara “Prang...!” terdengar dan ribut-ribut mahasiswa bersahutan saling mengejar. Maka mulailah adegan di zaman batu itu dimulai. Botol dan batu beterbangan, saling dilemparkan oleh kerumunan mahasiswa yang cepat sekali terbentuk. Beberapa mahasiswa luka terkena lemparan. Genting dan kaca gedung kampus pecah berantakan. Kuliah pun terpaksa diliburkan.

Begitulah. Semua pihak pasti menyesalkan peristiwa itu. Bagaimana mungkin, mahasiswa yang katanya kelompok intelektual mudah tersulut emosinya dan bertindak di luar rasio untuk sesuatu yang tidak dimengerti asal muasal dan tujuannya. Dalam banyak tawuran massal yang melibatkan kalangan intelektual (pelajar dan mahasiswa), seperti dilaporkan Kompas (15/10/2009), dipicu oleh persoalan sepele yang kemudian membangkitkan semangat ”le esprit de corps” (solidaritas korps). Ketika seorang mahasiswa dengan emosi melemparkan batu ke arah fakultas lain yang dianggap musuhnya, ditanya kenapa dia melakukan itu dan masalahnya apa, dengan enteng dia menjawab : ”Tidak tahu Pak..!”

Sulit diterima akal sehat, mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tidak ada masalah, bahkan berkegiatan bersama, tiba-tiba dihadapkan pada posisi ”kami”-”mereka”, dengan aneka label pengelompokan. Padahal mereka masih berada dalam lingkup tembok kampus yang sama. Kebersamaan sebelumnya luruh oleh semangat kelompok yang irasional, agresif dan impulsif. Konflik semacam ini pada skala yang lebih luas, juga terjadi pada aneka kelompok yang berbeda latar belakang, walaupun mereka diikat oleh ikatan yang sesungguhnya lebih punya nilai substansi.

Budaya kekerasan yang mengesampingkan rasionalitas di kalangan intelektual tentu menyedihkan kita semua. Pengaruh media yang menjadikan menu kekerasan sebagai sajian utama, pergaulan yang salah hingga iklim akademik yang tidak terbangun dengan baik, bisa saja memberi andil pada fenomena itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada belum berhasilnya subyek pendidikan –dalam hal ini para mahasiswa— menyeimbangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Tentu saja, dalam hal ini, pihak kampus, mulai dari manajemen, staf pengajar termasuk penulis, hingga civitas academika lainnya memberi andil pada munculnya ketidak seimbangan itu.

Kecerdasan intelektual dengan mengandalkan otak kognitif saja ternyata tidak cukup bagi para pembelajar untuk menghadapi hidup. IQ tinggi yang diasah dan diukur mengandalkan bahasa dan logika/matematika, tidak cukup untuk menghasilkan manusia bermartabat. Karena itu kemudian kita mengenal istilah EQ yang dipopulerkan Daniel Goleman. EQ merujuk pada kecerdasan yang diukur dengan cara mendeteksi seberapa jauh orang dapat mengendalikan emosi, mengenali diri dan berhubungan dengan orang lain. Barbara K Given juga menunjukkan empat jenis otak yang seharusnya digarap dalam proses pembelajaran, mulai dari otak kognitif, otak emosional, sosial, fisik, dan reflektif. Tidak cukup dengan itu, kita mengenal juga istilah SQ (kecerdasan spritual) yang dikenalkan Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagai kecerdasan puncak.

Pelajar atau mahasiswa yang tawuran bisa saja memiliki kecerdasan intelektual yang memukau, karena untuk itulah mereka menghabiskan banyak waktu di kampus. Tetapi sulit untuk mengatakan seseorang yang berusaha untuk melampiaskan emosinya, dengan merusak atau menyakiti orang lain, memiliki kecerdasan emosional yang memadai. Apalagi cerdas secara spritual. Cerdas secara spritual setidaknya menunjukkan kemampuan untuk mentransendensikan sesuatu yang fisik dan material. Orang yang cerdas spritualnya mampu untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, mensakralkan pengalaman sehari-hari, menggunakan sumber-sumber spritual untuk menyelesaikan masalah, dan cenderung untuk berbuat baik. Bukan sebaliknya.
Inilah tantangan riil dunia pendidikan kita. Membuat para pembelajar itu tidak sekedar cerdas otaknya, tapi juga bangkit jiwanya. Pendidikan tentu tidak dimaksudkan hanya sekedar mencetak lulusan yang pintar tapi hanya bisa ”minteri”, cerdas tapi tak punya kepekaan emosi dan sosial, atau hebat tapi hanya jadi robot karena mengalami kegersangan spritual. Meningkatnya kekerasan, ketidakjujuran, meluruhnya rasa hormat, dan membudayanya kehidupan serba boleh, adalah produk pendidikan yang timpang.

Pendidikan sejati memberi porsi yang seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan jiwa (spiritual). Pendidikan seperti inilah yang akan membangkitkan jiwa pembelajarnya. Dari jiwa yang bangkit ini akan muncul kesiapan untuk menjalani kehidupan dengan nilai-nilai kebaikan. Fokusnya pada aplikasi nilai-nilai itu dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, bukan sekedar mengajarkan benar dan salah, tetapi membentuk karakter dengan menanamkan kebiasaan yang baik. Para pembelajar itu tak sekedar faham akan nilai-nilai kebaikan tetapi juga mampu merasakan, dan mau melakukannya. Mereka adalah pembelajar yang terbangun jiwanya punya visi hidup yang jelas, rasa percaya diri yang kuat, motivasi yang tangguh, mau berusaha dan bertanggungjawab, punya inisiatif, menghargai orang lain, dan jenis-jenis karakter positif lainnya. Tentu, bukan mereka yang ingin kembali ke ”zaman batu” : menyelesaikan masalah dengan batu, keroyokan, mengandalkan anonimitas, dan merasa ”berjuang’ untuk sesuatu yang tidak jelas dan sia-sia.

Sebagai salah seorang orang tua dan sahabat mereka, para pelajar dan mahasiswa itu, saya tentu sedih dan prihatin menyaksikan apa yang mereka perbuat secara langsung dan membaca ulasan media. Mungkin saja ada yang menganggap ini biasa, dinamika anak muda, tapi tetap saja menampar muka, di saat orang lain berlomba memacu prestasi, atau keluarga kita di ujung sana, meratap karena bencana. Masih ada waktu untuk berbuat. Merancang dan mengelola kembali pembelajaran yang mengajarkan keseimbangan. Tentu tidak bisa sendiri, tapi harus bersama. Agar para pembelajar kita tak mau lagi kembali ke ”zaman batu” saat era digital begitu menggairahkan.(***Subhan Afifi)

Ujian Tengah Semester Jurnalisme On Line

10:25:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Untuk Ujian Tengah Semester, Peserta Mata Kuliah Jurnalisme On Line, diwajibkan mengerjakan tugas-tugas berikut ini :

A. Tugas Kelompok : Update blog berita kelompok anda, tambahkan fasilitas tambahan (gadget) seperti : shoutmix untuk meninggalkan pesan interaktif, video yang relevan dengan blog, penggemar (follower), statistik pengunjung, peta pengunjung, daftar tautan (link) ke website/blog lain yang penting, serta fasilitas-fasilitas lain yang relevan dan menarik.

B. Tugas Individu : Buatlah minimal 1 straight news, 1 feature dan 1 opini, yang sesuai dengan karakteristik dan rubrikasi yang ada pada blog berita kelompok anda. Straight News dan Feature harus benar-benar  baru (belum pernah ditulis sebelumnya) berdasarkan fakta yang didapat dari wawancara narasumber dan observasi ke lapangan. Opini berisi  pendapat dan analisis pribadi tentang topik-topik aktual yang sesuai dengan karakteristik blog kelompok anda. Jika memungkinkan serta foto-foto atau gambar yang mendukung. Upload lah tugas tersebut ke rubrikasi (kategori/label) yang sesuai pada  blog berita kelompok anda. Jangan lupa sertakan nama dan NIM pada setiap akhir tulisan. Hasil copy paste berita, feature dan opini dari situs lain SAMA SEKALI tidak dibenarkan, dan tidak akan DINILAI.

Tugas kelompok dan tugas Individu tersebut harus sudah selesai dan dapat diakses di masing-masing blog kelompok pada hari Senin, 9 November 2009, pukul 10.00 WIB.

Selamat bekerja !