Nilai Jurnalisme On Line

7:47:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Untuk mahasiswa/i  yang mengambil mata kuliah Jurnalisme On Line, rekapitulasi Nilai tugas dan Ujian Tengah Semester dapat diakses di : http://www.ziddu.com/download/7933339/NilaiJurnalismeOnLine-09-update.xls.html

3 Besar nilai tertinggi diraih oleh (1) Andika Ananda, (2) Kharisma Ayu Febriana, dan (3) Metta Widyaningrum. Tampilan web terbaik diraih oleh Kelompok Portal Kiri. Sedangkaan kelompok terkompak dan terproduktif diraih oleh Djogjalicious.  Selamat ya..! Kerja keras dan keseriusan mereka telah menginsprisasi dunia dan layak dicontoh siapa saja. 

Selamat juga untuk mahasiswa/i lain yang memperoleh nilai tinggi, dan jangan berkecil hati untuk yang nilainya belum sesuai harapan. Masih ada tugas in depth news dan ujian akhir yang belum dinilai. Nilai akhir mata kuliah ini terdiri dari semua komponen itu. Tugas in depth news harus sudah diupload di blog masing-masing kelompok, Selasa, 29 Desember 2009. Deadline pukul 24.00 Wib.

Silahkan daftar nilai dicermati, bila ada yang tidak sesuai dengan yang seharusnya, hubungi saya segera.

Hari ini adalah pertemuan terakhir untuk Mata Kuliah Jurnalisme on Line. Bagaimana penilaian anda terhadap pelaksanaan kuliah Jurnalisme On Line selama 1 semester ini ? Komentar, kritik, dan saran sangat saya harapkan. Bila ada yang masih sangat menyukai mata kuliah ini, InsyaAllah kita bisa berjumpa lagi tahun depan.


Jabat erat dan Terus Berkarya !

Subhan Afifi

Workshop Penulisan Feature Mitigasi Bencana

8:53:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi


Konsentrasi Media & Jurnalisme Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN "Veteran" Yogyakarta akan menyelenggarakan Workshop Penulisan Feature Mitigasi Bencana, dengan rincian sebagai berikut :


Trainer :
Dr. Eko Teguh Paripurno (Ahli Manajemen Bencana)
AS Laksana (Wartawan Senior)




Rincian Acara :
Pemaparan Materi, Minggu, 13 Desember 2009, jam 09.00-13.00 wib
Tempat : Ruang Lab PR Jurusan Ilmu Komunikasi UPNVY.
Materi :
1. Karakteristik Bencana Alam di Indonesia
2. Mitigasi Bencana Alam
3. Teknik Penulisan Feature
4. Penulisan Feature berdasar konsep mitigasi Bencana

Field Trip (Hunting materi Feature), Minggu 13 Desember 2009, jam 13.00-18.00 wib.
Pendampingan penulisan Feature : Senin-Rabu, 14-16 Desember 2009
Pengumpulan hasil penulisan feature : Kamis, 17 Desember 2009, jam 12.00 WIB.

Workshop ini terbuka bagi mahasiswa, aktivis pers kampus, aktivis lingkungan, calon wartawan, wartawan, penulis, dan masyarakat umum yang menaruh minat pada dunia penulisan dan mitigasi bencana.

Biaya : Umum : Rp. 100.000
Mahasiswa UPN : Rp.50.000

Fasilitas : Materi workshop
Sertifikat
Konsumsi
Tansportasi Field trip
Pendampingan penulisan.

Info dan Pendaftaran : Bp Nurgiyanto (0274-7428362)

7M untuk Anak

11:32:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Komunikasi esensinya adalah memuaskan semua pihak. Sayangnya, dalam komunikasi ada saja pihak yang merasa puas, sepuas-puasnya, tetapi yang lain tidak terpuaskan, atau bahkan tertekan. Komunikasi orang tua dan anak seringkali menunjukkan kecenderungan ini.
Orang tua dan anak jelas-jelas memiliki dunia sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, berkembang, kreatif, suka meniru, dan lebih jelas lagi, anak-anak bukan “orang dewasa mini”. Orang tua dunianya keras, ingin semua serba teratur, penuh kompetisi, ingin disiplin, ingin anak pintar dan penurut, dan seterusnya. Orang tua dan anak memiliki kerangka berfikir (frame of reference) dan medan pengalaman (field of experience) yang berbeda.

Disinilah persoalannya. Komunikasi tak akan jalan jika tak ada pemahaman. Dalam berkomunikasi, orang tua sering kali mengabaikan perasaan anak. Padahal jika anak merasa tidak nyaman, bisa merusak harga dan kepercayaan dirinya. Jika cara berkomunikasi orang tua masih banyak yang keliru, pesan tidak akan sampai. Anak-anak akan menyerap pesan apapun dengan mudah bila mereka dalam kondisi senang, dan tidak tertekan.

Bagaimana dengan gaya komunikasi keseharian kita dengan para permata hati yang luar biasa itu ? Para orang tua yang tidak bijaksana, semoga kita tidak termasuk di dalamnya, seringkali menerapkan rumus 7M untuk anak ketika berkomunikasi. Apa itu ?

MEMERINTAH. Betapa sering, kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir ayah bunda yang mulia melulu berjeniskan kalimat perintah. Hampir tanpa variasi. “Andi, mandi cepat !,” “Nabila, Bajunya pakai yang biru saja, jilbabnya juga yang ini !”, “Ayo..makannya dihabiskan !”, “ Sepatunya taruh di rak sepatu !, koq dibuat berantakan begini !” dan seterusnya. Kalimat-kalimat bernada perintah jika terlalu mendominasi pendengaran anak akan membuat jiwanya kerdil. Kelak jika dewasa, sulit mengharapkannya menjadi penyelesai masalah (problem solver), karena otaknya biasa bekerja di bawah perintah, tidak ada alternatif. Berikanlah kalimat-kalimat yang lebih rendah tekanannya, mengandung alternatif, dan melatih anak untuk mengambil keputusan sendiri. “Ayo..mau mandi jam berapa ?”, “Coba dipilih sendiri dech baju mana yang Nabila suka, pasti cantik..” “Kira-kira kalau makannya nggak dihabiskan, gimana coba...mubazir kan..” kalimat-kalimat seperti ini lebih membangkitkan jiwa daripada melulu perintah.

MENYALAHKAN. “Mama kan udah bilang, kalau main, jangan panjat-panjatan begitu..Jadi jatuh kan..!”, atau “Makanya, kalau pulang sekolah langsung pulang, nggak usah mampir dulu, jadi keserempet sepeda kan...!”. Anak sering kali diposisikan dalam posisi serba salah. Padahal belum tentu mereka yang salah. Kalaupun benar-benar salah tidak selayaknya mereka terus dipojokkan. “Ya sudah, nggak apa-apa, lain kali hati-hati ya...” kalimat ini lebih menentramkan hati anak.

MEMBERI CAP. “Kamu memang selalu mengganggu adikmu!”, “Koq lambat banget sih..Selalu begitu. kapan sih bisa cepat?” . Labelling atau pemberian aneka sebutan negatif pada anak berpengaruh pada jatidirinya kelak. Gantilah kata-kata negatif dengan kata-kata yang lebih positif seperti : “bodoh” dengan “harus banyak belajar”, “tidak bisa” dengan “pasti bisa”, “gak pede” dengan “pede aja lagi...” dan seterusnya.

MENGANCAM. Merasa memiliki otoritas penuh, orang tua seringkali main kuasa dan main ancam. “Awas ya..kalau nggak garap PR uang jajanmu nanti ayah potong,”, “Nanti nggak diajak Mama lho..kalau nonton teve terus...” Sebaiknya kalimat-kalimat bernada ancaman dihindari. Karena anak akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena “takut”. Tentu hal ini tidak mendidik. Bangkitkanlah kesadarannya dengan kalimat-kalimat yang inspiratif dan menggerakkan.

MEMBOHONGI. “Ibu sedang nggak punya uang...” kata seorang Ibu ketika anaknya ingin dibelikan buku, padahal baru saja sang ibu terlihat membeli baju baru. Berbohong, sekecil apapun, tak layak dilakukan orang tua pada anaknya.

MENYINDIR. “Katanya sekolahnya di SD Islam ...masa’ shalatnya ditunda-tunda...”,”Katanya
juara kelas, masa’ gitu aja nggak bisa..” Sindiran-sindiran seperti itu lebih bersifat memojokkan dan melemahkan dibanding membangkitkan semangat.

MEMBANDINGKAN. Sengaja atau tidak, orang tua sering mencari pembanding bagi anak, bisa kakak, adik, atau temannya yang dianggap lebih baik. Jika tidak bijak, membanding-bandingkan ini bisa menjatuhkan harga diri anak, dan akan berakibat fatal. “Coba tuh lihat, adikmu, selalu patuh, rajin juga!”. “Waduh, nilai raportmu koq jelek begini sih, banyak main game sih, coba liat si Ahmad itu, belajarnya rajin, pantas aja jadi bintang kelas...”

Jika diteruskan, maka akan muncullah rentetan “M” negatif yang lain, yang lebih banyak lagi. Gaya komunikasi 7M ini bisa berkembang lagi jadi 10 M, 12 M, 14 M dan seterusnya.Padahal sejatinya, anak hanya butuh 2M saja, sebagai wujud penghargaan dan kasih sayang : “Makasih..ya Mas !” atau “Makasih ya..Mbak”. Bukankah di balik sikap dan perilaku anak yang membuat ayah dan bunda mengelus dada, terdapat lebih banyak lagi perbuatan mereka yang menentramkan jiwa. Selayaknya kita berterimakasih pada mereka. Atau, si kecil itu juga memerlukan 2 M yang sederhana :” Maafkan ayah ya Mas..,” atau “Maafkan Ibu ya..Mbak..”. Bukan mereka yang selalu berbuat salah sehingga layak diberi 7M tadi. Tapi justeru, kita, ayah bunda-nya, punya potensi berbuat salah lebih banyak lagi dari mereka. Sungguh, mereka begitu hebat dan berharga....! (***)


Catatan : tulisan ini pernah dimuat di Majalah Fahma, Cerdas di rumah Cerdas di Sekolah, edisi September 2009

Saat Mahasiswa Kembali ke “Zaman Batu”

8:22:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Kuliah di siang itu belum genap setengah jam. Ketika suara “Prang...!” terdengar dan ribut-ribut mahasiswa bersahutan saling mengejar. Maka mulailah adegan di zaman batu itu dimulai. Botol dan batu beterbangan, saling dilemparkan oleh kerumunan mahasiswa yang cepat sekali terbentuk. Beberapa mahasiswa luka terkena lemparan. Genting dan kaca gedung kampus pecah berantakan. Kuliah pun terpaksa diliburkan.

Begitulah. Semua pihak pasti menyesalkan peristiwa itu. Bagaimana mungkin, mahasiswa yang katanya kelompok intelektual mudah tersulut emosinya dan bertindak di luar rasio untuk sesuatu yang tidak dimengerti asal muasal dan tujuannya. Dalam banyak tawuran massal yang melibatkan kalangan intelektual (pelajar dan mahasiswa), seperti dilaporkan Kompas (15/10/2009), dipicu oleh persoalan sepele yang kemudian membangkitkan semangat ”le esprit de corps” (solidaritas korps). Ketika seorang mahasiswa dengan emosi melemparkan batu ke arah fakultas lain yang dianggap musuhnya, ditanya kenapa dia melakukan itu dan masalahnya apa, dengan enteng dia menjawab : ”Tidak tahu Pak..!”

Sulit diterima akal sehat, mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tidak ada masalah, bahkan berkegiatan bersama, tiba-tiba dihadapkan pada posisi ”kami”-”mereka”, dengan aneka label pengelompokan. Padahal mereka masih berada dalam lingkup tembok kampus yang sama. Kebersamaan sebelumnya luruh oleh semangat kelompok yang irasional, agresif dan impulsif. Konflik semacam ini pada skala yang lebih luas, juga terjadi pada aneka kelompok yang berbeda latar belakang, walaupun mereka diikat oleh ikatan yang sesungguhnya lebih punya nilai substansi.

Budaya kekerasan yang mengesampingkan rasionalitas di kalangan intelektual tentu menyedihkan kita semua. Pengaruh media yang menjadikan menu kekerasan sebagai sajian utama, pergaulan yang salah hingga iklim akademik yang tidak terbangun dengan baik, bisa saja memberi andil pada fenomena itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada belum berhasilnya subyek pendidikan –dalam hal ini para mahasiswa— menyeimbangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Tentu saja, dalam hal ini, pihak kampus, mulai dari manajemen, staf pengajar termasuk penulis, hingga civitas academika lainnya memberi andil pada munculnya ketidak seimbangan itu.

Kecerdasan intelektual dengan mengandalkan otak kognitif saja ternyata tidak cukup bagi para pembelajar untuk menghadapi hidup. IQ tinggi yang diasah dan diukur mengandalkan bahasa dan logika/matematika, tidak cukup untuk menghasilkan manusia bermartabat. Karena itu kemudian kita mengenal istilah EQ yang dipopulerkan Daniel Goleman. EQ merujuk pada kecerdasan yang diukur dengan cara mendeteksi seberapa jauh orang dapat mengendalikan emosi, mengenali diri dan berhubungan dengan orang lain. Barbara K Given juga menunjukkan empat jenis otak yang seharusnya digarap dalam proses pembelajaran, mulai dari otak kognitif, otak emosional, sosial, fisik, dan reflektif. Tidak cukup dengan itu, kita mengenal juga istilah SQ (kecerdasan spritual) yang dikenalkan Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagai kecerdasan puncak.

Pelajar atau mahasiswa yang tawuran bisa saja memiliki kecerdasan intelektual yang memukau, karena untuk itulah mereka menghabiskan banyak waktu di kampus. Tetapi sulit untuk mengatakan seseorang yang berusaha untuk melampiaskan emosinya, dengan merusak atau menyakiti orang lain, memiliki kecerdasan emosional yang memadai. Apalagi cerdas secara spritual. Cerdas secara spritual setidaknya menunjukkan kemampuan untuk mentransendensikan sesuatu yang fisik dan material. Orang yang cerdas spritualnya mampu untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, mensakralkan pengalaman sehari-hari, menggunakan sumber-sumber spritual untuk menyelesaikan masalah, dan cenderung untuk berbuat baik. Bukan sebaliknya.
Inilah tantangan riil dunia pendidikan kita. Membuat para pembelajar itu tidak sekedar cerdas otaknya, tapi juga bangkit jiwanya. Pendidikan tentu tidak dimaksudkan hanya sekedar mencetak lulusan yang pintar tapi hanya bisa ”minteri”, cerdas tapi tak punya kepekaan emosi dan sosial, atau hebat tapi hanya jadi robot karena mengalami kegersangan spritual. Meningkatnya kekerasan, ketidakjujuran, meluruhnya rasa hormat, dan membudayanya kehidupan serba boleh, adalah produk pendidikan yang timpang.

Pendidikan sejati memberi porsi yang seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan jiwa (spiritual). Pendidikan seperti inilah yang akan membangkitkan jiwa pembelajarnya. Dari jiwa yang bangkit ini akan muncul kesiapan untuk menjalani kehidupan dengan nilai-nilai kebaikan. Fokusnya pada aplikasi nilai-nilai itu dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, bukan sekedar mengajarkan benar dan salah, tetapi membentuk karakter dengan menanamkan kebiasaan yang baik. Para pembelajar itu tak sekedar faham akan nilai-nilai kebaikan tetapi juga mampu merasakan, dan mau melakukannya. Mereka adalah pembelajar yang terbangun jiwanya punya visi hidup yang jelas, rasa percaya diri yang kuat, motivasi yang tangguh, mau berusaha dan bertanggungjawab, punya inisiatif, menghargai orang lain, dan jenis-jenis karakter positif lainnya. Tentu, bukan mereka yang ingin kembali ke ”zaman batu” : menyelesaikan masalah dengan batu, keroyokan, mengandalkan anonimitas, dan merasa ”berjuang’ untuk sesuatu yang tidak jelas dan sia-sia.

Sebagai salah seorang orang tua dan sahabat mereka, para pelajar dan mahasiswa itu, saya tentu sedih dan prihatin menyaksikan apa yang mereka perbuat secara langsung dan membaca ulasan media. Mungkin saja ada yang menganggap ini biasa, dinamika anak muda, tapi tetap saja menampar muka, di saat orang lain berlomba memacu prestasi, atau keluarga kita di ujung sana, meratap karena bencana. Masih ada waktu untuk berbuat. Merancang dan mengelola kembali pembelajaran yang mengajarkan keseimbangan. Tentu tidak bisa sendiri, tapi harus bersama. Agar para pembelajar kita tak mau lagi kembali ke ”zaman batu” saat era digital begitu menggairahkan.(***Subhan Afifi)

Ujian Tengah Semester Jurnalisme On Line

10:25:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Untuk Ujian Tengah Semester, Peserta Mata Kuliah Jurnalisme On Line, diwajibkan mengerjakan tugas-tugas berikut ini :

A. Tugas Kelompok : Update blog berita kelompok anda, tambahkan fasilitas tambahan (gadget) seperti : shoutmix untuk meninggalkan pesan interaktif, video yang relevan dengan blog, penggemar (follower), statistik pengunjung, peta pengunjung, daftar tautan (link) ke website/blog lain yang penting, serta fasilitas-fasilitas lain yang relevan dan menarik.

B. Tugas Individu : Buatlah minimal 1 straight news, 1 feature dan 1 opini, yang sesuai dengan karakteristik dan rubrikasi yang ada pada blog berita kelompok anda. Straight News dan Feature harus benar-benar  baru (belum pernah ditulis sebelumnya) berdasarkan fakta yang didapat dari wawancara narasumber dan observasi ke lapangan. Opini berisi  pendapat dan analisis pribadi tentang topik-topik aktual yang sesuai dengan karakteristik blog kelompok anda. Jika memungkinkan serta foto-foto atau gambar yang mendukung. Upload lah tugas tersebut ke rubrikasi (kategori/label) yang sesuai pada  blog berita kelompok anda. Jangan lupa sertakan nama dan NIM pada setiap akhir tulisan. Hasil copy paste berita, feature dan opini dari situs lain SAMA SEKALI tidak dibenarkan, dan tidak akan DINILAI.

Tugas kelompok dan tugas Individu tersebut harus sudah selesai dan dapat diakses di masing-masing blog kelompok pada hari Senin, 9 November 2009, pukul 10.00 WIB.

Selamat bekerja !

Jurnalisme On Line

12:34:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Tugas Mata Kuliah Manajemen On Line

Pekerjaan jurnalistik menjadi semakin mudah di era digital. Media on line menjadi wadah yang paling cepat untuk memberikan informasi tentang apa saja.

Untuk berlatih, buatlah sebuah media on line secara berkelompok dengan memanfaatkan fasilitas blog gratis di internet. Media  tersebut akan berfungsi sebagai portal berita yang berisi informasi (news dan views) yang dibuat oleh anggota kelompok sendiri. Jika berbentuk berita, maka anggota kelompok tersebut akan melakukan hunting berita secara riil (melakukan wawancara, observasi atau lainnya). Jika berbentuk views atau opini, maka harus merupakan opini pribadi, bukan hasil copy paste.

Rancanglah media tersebut dengan rubrikasi yang sesuai dengan karakter media yang diinginkan dan segmen pembaca yang hendak dituju.

Buatlah media on line semenarik dan sekreatif  mungkin, sehingga akan banyak orang tertarik dan mengambil manfaat darinya.

Selamat berkarya !

Bisnis Media Cetak Terancam

10:01:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Media cetak mengalami masa-masa sulit di era digital. 15 media cetak terkenal di Amerika Serikat yang telah berusia di atas 100 tahun terpaksa tutup karena tak bisa mempertahakan eksistensi diri.

Apa sebenarnya yang sedang dihadapi media cetak. Anda mungkin memiliki 1 kasus ambruknya media cetak, dan analisis mengapa hal itu bisa terjadi. Perspektif sederhana tentang fungsi-fungsi manajemen dapat anda gunakan.

Pendidik dan Komunikasi Empatis

7:16:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Awalnya, tak adanya yang istimewa dengan Erin Gruwell. Seorang guru yang ingin mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Hingga suatu saat Ia merasa tertantang karena ditempatkan di sebuah kelas yang dianggap “bodoh” karena berisi siswa-siswa bermasalah. Murid-muridnya adalah kumpulan anak yang sangat nakal, bahkan cenderung kriminal. Erin Gruwell tak menyerah. Ia mulai menangani dengan cinta, bukan dengan prasangka.


Di kelas, Gruwell lebih menempatkan dirinya sebagai bagian dari murid-muridnya. Apa yang dialami siswa-siswinya adalah bagian dari masalahnya sendiri. Setelah berhasil meraih hati mereka, Ibu guru itu memberikan murid-muridnya bacaan-bacaan bergizi, seperti biografi para tokoh yang memberi inspirasi. Tak lupa setiap anak diminta membuat buku harian. Mereka diminta menulis kisah hidupnya, apa saja, secara bebas. Ajaib, setelah beberapa waktu, murid-murid nakal itupun ber-evolusi menjadi lebih baik. Kisah inspiratif itu kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul ”Freedom Writers”.

Apa yang dikedepankan Erin Gruwell mirip dengan penggalan hidup Ibu Muslimah dengan 10 murid miskin ”Laskar Pelangi”-nya. Ia berhasil menanamkan sikap hidup di benak murid-muridnya : Keterbatasan tak harus jadi alasan untuk takut punya cita-cita. Walaupun murid-murid yang dihadapi berbeda, --Erin dengan siswa-siswa nakal nan bermasalah, Muslimah dengan murid-murid miskin tapi punya mimpi besar—keduanya sama-sama mengedepankan empati dalam mendidik.

Empati sering diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati juga dimaknakan sebagai kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain adalah bentuk dari empati.

Sifat inilah yang seharusnya mendominasi pendidik dalam kiprahnya. Pendidik, tentu saja termasuk orang tua dan guru, yang berempati memiliki kemampuan menyelami perasaan anak dan siswanya. Orang tua dan Guru harus mampu mengenali dan merasakan kondisi siswa sehingga menjadi bagian dari persoalan, bukan menjadi pengamat berdiri di tempat yang jauh.

Selanjutnya, empati perlu dipadukan dengan keterampilan seorang pendidik yang tidak kalah pentingnya : komunikasi. Sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang guru di sekolah, bahkan dalam hidupnya secara keseluruhan adalah untuk berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi secara efektif mutlak diperlukan pendidik. Bukankah esensi pendidikan adalah mengkomunikasikan pengetahuan dan nilai-nilai ? Komunikasi efektif diantaranya dibangun oleh penghargaan (respect), kejelasan (clarity) dan sikap rendah hati (humble). Penghargaan akan membangkitkan antusiasme. Kejelasan berarti keterbukaan, tak ada kesalahan interpretasi. Sikap rendah hati yang akan memunculkan komitmen melayani dan tidak memandang rendah.

Dari kata empati dan komunikasi itulah kita mengenal istilah Komunikasi Empatis (emphatetic communication). Komunikasi jenis ini adalah komunikasi yang serius, penuh perhatian, bukan komunikasi yang mengabaikan. Komunikasi empatis dilakukan dengan terlebih dahulu menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Mampu untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati dengan sendirinya akan menghasilkan strategi komunikasi (cara menyampaikan pesan, dan memilih media yang digunakan) efektif. Termasuk memberikan respons yang tepat, memberi penghargaan, dan siap mendengar.

Seorang guru yang tak mencoba berempati terhadap persoalan yang dihadapi siswanya, sulit membangun komunikasi yang efektif, karena halangan psikologis atau penolakan akan lebih banyak muncul. Menempatkan diri sebagai satu pihak di sisi sebelah sini, dan para siswa di sisi sebelah sana, jelas akan menyulitkan komunikasi.

Guru yang empatis akan menerima siswa apa adanya, mencoba untuk mencari potensi dan kelebihan, karena semua anak pada dasarnya cerdas dan berbakat. Kejelasan visi sang guru akan menjalar melalui komunikasi yang tepat pada siswa untuk memperjelas arah hidup. Dalam kesehariannya, guru seperti ini akan memberi dukungan, bukan sibuk mencari kelemahan. Kehangatan komunikasi sang guru dirasakan para siswa yang merasa terayomi. Suasana batinnyapun akan terpancar dari karisma, karena do’a cinta sang guru seolah langsung terasa. Inilah ciri guru yang akan menjadi inspirasi kehidupan, tidak hanya bagi siswanya, tapi juga untuk dunia. Wallahu’alam (***Subhan Afifi)

Menulis untuk Peradaban

10:07:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi


Tak ada banyak waktu untuk Bercanda. Sekarang, gerakkanlah penamu dan ubahlah dunia melalui kata. Ingatlah, negara Yahudi Raya yang kejam itu, berdiri hanya karena sebuah buku tipis dan satu novel menggugah. Ditulis oleh Theodore Herzl, dua buku itu mengharu biru manusia-manusia Yahudi sehingga mereka menyatukan langkah dalam meraih cita-cita yang sama : sebuah negara Yahudi yang kelak bernama Israel. Hari ini mimpi yang bermula dari buku tipis itu telah terwujud. Lalu apakah yang sudah kita lakukan untuk menggerakkan jiwa manusia kepada sebuah cita-cita besar ?

Menulis adalah sebuah aktivitas yang “biasa”, siapapun bisa. Tapi, sungguh, yang ” biasa-biasa” itu akan menjadi sesuatu yang “luar biasa” ketika digarap dengan serius. Buku tipis berjudul Der Judenstaat (The Jewish State) dan novel Altneuland (Old New Land) karya Benyamin Se’eb alias Theodore Herzl itu juga lahir dari proses yang “biasa-biasa” saja : muncul ide, mulai tulis dan sebarkan. Siapa sangka jika buku itu menjadi inspring words-nya kaum Yahudi, hingga hari ini dan sampai kapanpun.

Membangun sebuah peradaban tak cukup hanya dengan seminar dan diskusi. Perlu upaya kongkrit tanpa harus menunggu hari esok. Menulis adalah salah satu upaya “kecil” untuk cita-cita “besar”. Kenapa saya “mengecilkan” arti aktivitas menulis dan menganggapnya “biasa-biasa” saja, tak lain karena ingin ikut mencitrakan bahwa : menulis itu mudah. Saking mudahnya, sehingga ketika kita membaca sebuah karya tulis berupa artikel di media massa, atau buku baru karangan penulis muda, kita tanpa sadar akan berkomentar : “Oalah.. koq sederhana banget ya..! kalau Cuma begini, aku sih bisa”. Tapi persoalannya, belum satu pun karya kita mewujud dalam bentuk yang kasat mata.

Oke dech, kalau membangun peradaban terasa berat dan jauh, minimal peradaban itu dimulai dari terbangun kualitas diri. Nah menulis, menjadi salah satu pirantinya., Hernowo, dalam Quantum Writing-nya, pernah mengutip kalimat yang dirangkai Fatima Mernissi “usahakan menulis setiap hari, niscaya kulit anda akan menjadi segar kembali akibat kandungannya yang luar biasa”. Pennebaker dengan hasil penelitiannya yang dibukukan pada “Opening Up : The Healing Power of Expressing Emotions”, juga memberi tambahan semangat : menulislah jika anda ingin sehat! Agar sehat, Pennebaker juga merekomendasikan kegiatan menulis rutin dilaksanakan tiap hari, manfaatnya luar biasa : (1) menulis menjernihkan pikiran, (2) menulis mengatasi trauma, (3) menulis membantu mendapatkan dan mengingat informasi baru, (4) menulis membantu memecahkan masalah, (5) menulis-bebas membantu kita ketika kita terpaksa harus menulis. “Anda tidak usah terlalu memikirkan masalah tata bahasa, ejaan atau struktur kalimat..”, ‘Terserah kepada Anda untuk menulis apa saja yang Anda inginkan..’, “Anda harus membebaskan diri Anda.,” tulis Dr James W Pennebaker memberi tips agar menulis menjadi kegiatan menyenangkan sekaligus menyehatkan, seperti dikutip Hernowo.

Nah tunggu apa lagi.. Nulis Yuuuukk..!

(***Subhan Afifi)

Inspiring Words

2:57:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Betapa mudah kita mengeluarkan kata-kata. Tanpa berfikirpun puluhan, ratusan bahkan ribuan kata sanggup kita rangkai dan kita umbar begitu saja. Tetapi, tahukah kita makna kata-kata bagi pendengarnya. Bisa jadi satu atau beberapa kata yang keluar dari mulut kita, mampu membuat orang bersedih, menangis, terluka hatinya, merasa tak berguna, atau bahkan terhina. Juga sebaliknya, rangkaian kata bisa menggerakkan dan menginspirasi banyak orang.

Saya ingin kata-kata yang keluar dari mulut saya berkategori yang kedua. Bermanfaat dan memberi inspirasi untuk kebaikan.

Di bawah ini penuturan seorang sahabat saya, Jonru, yang menulis dalam blognya tentang kata-kata saya yang pernah tertangkap 2 daun telinganya. Subhanallah ! Saya sendiri lupa, kapan saya berkata-kata seperti itu. Ini yang membuat saya ingin semakin berhati-hati. Bahwa rangkaian kata sungguh berarti. (***Subhan Afifi)

Oleh : Jonru

Terus terang, keputusan saya untuk keluar dari status sebagai pekerja kantoran , antara lain dipengaruhi oleh beberapa orang, yang saya sebut sebagai inspirator. Merekalah - antara lain- yang membuat saya begitu menggebu-gebu untuk segera mewujudkan keinginan menjadi "manusia bebas".
Mereka adalah (maaf jika ada nama yang terlupa):
1. Onno W Purbo
Sejak beberapa tahun lalu, Pakar TI kita yang satu ini telah memutuskan untuk menjadi full time writer . Saya berpikir, "Jika Pak Onno bisa, kenapa saya tidak?"
2. Sony Set
Saya pertama kali mengenalnya ketika beberapa tahun lalu Komunitas Layar Kata mengadakan Kopi Darat di Jakarta, sekaligus diskusi film "Eliana Eliana". Di sana kami berbincang.
Dia menceritakan dirinya yang telah meninggalkan status sebagai manajer TI di sebuah perusahaan, demi mengejar karir sebagai penulis skenario profesional. Hm, MANAJER adalah posisi yang sangat strategis dan sangat mapan. Tapi Sony Set berani meninggalkan itu. Sedangkan saya? Di kantor saya hanya kuli, staf level terendah. Seharusnya saya lebih berani dari dia!
3. Valentino Dinsi lewat bukunya "Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian"
Terus terang, saya belum selesai membaca buku ini. Tapi membaca judulnya saja, saya sudah sangat terinspirasi.
4. Subhan Afifi
Dia adalah sahabat saya, kini menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Selain mengajar, dia juga berbisnis dan sukses berat. Dia pernah berkata seperti ini pada saya, "Coba dihitung-hitung berapa jumlah uang yang kita keluarkan untuk kuliah. Lalu kita bandingkan dengan gaji sebagai pekerja kantoran. Ternyata jumlahnya sangat tidak sebanding. Dari segi materi, jumlah penghasilan kita sebagai pekerja kantoran sangat tidak cukup untuk menutupi seluruh biaya kuliah kita dulu."
Hm... saya memang tidak pernah menghitung secara pasti. Tapi fakta berbicara bahwa tak ada karyawan atau pegawai negeri yang bisa jadi kaya raya, kecuali (menurut buku Valentino Dinsi) jika mereka:
1. mendapat warisan
2. menikah dengan orang kaya
3. menang undian
4. punya bisnis sampingan
5. korupsi

Tambahan dari saya:
6. meminta bantuan jin
Hm lagi... berapa gaji Anda saat ini? Katakanlah Rp 5 juta perbulan. Ini adalah jumlah yang cukup besar, sebab gaji saya di CBN dulu masih jauh di bawah itu.
Tahukah Anda berapa harga Anda dalam sejam? Untuk gaji Rp 5 juta perbulan, tenaga Anda dihargai Rp 30 ribu perjam! Ini masih menurut hitung-hitungan di buku Valentino Dinsi, lho....
Sekadar perbandingan, saya pernah menjadi pembicara dalam acara pelatihan pengelolaan website di tiga kota, dan honor saya perjam adalah Rp 400 ribu! Bahkan, saya pernah mendapat bayaran sebesar satu kali gaji saya dari sebuah pelatihan penulisan yang diadakan oleh Bank Indonesia(*).
Lagi-lagi hm... masihkah Anda bangga terhadap gaji Rp 5 juta bahkan 10 juta perbulan?
Terima kasih banyak Subhan, sahabatku. Ucapan kamu dulu itu memang benar banget!
Saya juga makin yakin dengan bunyi salah satu hadits:
"Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah dari berdagang."
5. Dudun Parwanto
Dia ini sahabat saya juga. Dulu dia menjadi wartawan, lalu memutuskan untuk membentuk perusahaan sendiri yang bergerak di bidang jasa penulisan. Dia banyak mengajari saya tentang strategi berwirausaha. Setiap kali ngobrol dengannya, keinginan saya untuk segera berwirausaha pun langsung menggebu-gebu lagi.
Dudun adalah salah seorang sahabat yang sering saya curhati mengenai kebosanan saya terhadap pekerjaan kantor. Dan dia selalu menyarankan, "Kamu memang harus keluar dari sana, tapi tidak sekarang. Coba kumpulkan dulu modal yang banyak, sebagai bekal berwirausaha."
6. Dani Sumarsono
Dia adalah direktur utama CBN, kantor saya dulu. Mungkin dia merasa menyesal ketika mengetahui bahwa salah satu ucapan dia yang bertujuan agar semua orang betah menjadi karyawan di perusahaannya, justru berakibat sebaliknya: Saya ingin segera keluar dari sana!
Pada sebuah pertemuan akbar dengan seluruh karyawan beberapa bulan lalu, Pak Dani yang orangnya sangat religius ini berkata, "Kemapanan adalah sesuatu yang sangat berbahaya." Dia mengasumsikan bahwa posisi kami di CBN saat ini adalah posisi yang sangat mapan. Karena itu, dia mengajak semua karyawan untuk tidak merasa keenakan. Kemapanan akan membuat kita manja dan lupa diri.
Berbekal konsep ini, Pak Dani mengajak kami untuk meningkatkan prestasi, bekerja sebaik mungkin, agar di masa mendatang kami dapat memiliki karir yang jauh lebih baik.
Hm, ternyata saya mempersepsikan ucapan dia ini dengan cara berbeda. Saya setuju dengan ucapannya itu, tapi di dalam hati saya berkata, "Saya selama ini sudah sangat mapan di CBN. Ini tentu sangat berbahaya. Karena itulah, saya harus segera menyelamatkan diri. Saya harus segera keluar dari tempat yang sangat mapan ini. Saya akan memilih sebuah kehidupan baru yang sangat tidak mapan. Sebab ketidakmapanan ternyata jauh lebih aman."
Thanks a lot, Pak Dani. You are a very great person!
7. Taufik Sasongko
Sejak dulu, saya seringkali mendapat tawaran kerjasama bisnis dari banyak orang. Tapi tak ada yang berhasil. Bahkan, banyak di antaranya yang omdo alias omongan doang. Tapi Pak Taufik ini beda banget. Tanpa banyak omong, dia sudah sering melibatkan saya dalam proyek-proyek bisnisnya. Yang paling menonjol adalah kerjasama kami dalam mengelola Majalah Optimis .
Sebenarnya Pak Taufik hanya pengusaha kecil. Ia mengelola usaha desain grafis dan percetakan yang sudah berjalan selama lebih kurang dua tahun. Ia dan keluarganya masih ngontrak di rumah petak yang sangat kecil. Tapi Pak Taufik adalah orang yang sangat kreatif, percaya diri, ulet dan profesional dalam berbisnis. Sejak bermitra dengannya, saya merasa makin mantap untuk segera berwirausaha.
8. Mas Alwin
Pertemuan dan keakraban kami boleh dibilang berlangsung sangat singkat. Tapi dalam waktu sesingkat itu, saya merasa sangat cocok bersahabat dan berbisnis dengannya. Usaha yang ia kelola, Zabit Mobile Book, bagi saya merupakan sebuah bisnis yang sangat prospektif. Dan saya bersyukur karena saya akhirnya diberi kesempatan untuk bergabung dengannya.
9. Rini Nurul Badariah
Dia adalah sahabat yang saya kenal via internet sejak tahun 2000 lalu. Kami sudah sangat akrab dan saling percaya, tapi anehnya belum pernah ketemu sekalipun. Keuletan dan keberhasilan Rini sebagai seorang penulis lepas membuat saya sangat terinspirasi dan ingin segera mengikuti jejaknya.
10. Mr. X
Maaf, saya tak bisa menyebutkan namanya karena alasan "perlindungan privasi". Yang jelas, Mr. X ini adalah seorang penulis yang cukup terkenal, dan beberapa bukunya sempat menjadi best seller. Bahkan, salah satu bukunya telah menjadi trend setter bagi buku-buku nonfiksi untuk remaja.
Beberapa waktu lalu, saya menelepon beliau dan kami berbincang cukup lama. Ada satu ucapan dia yang membuat saya tertegun, "Saya sekarang lagi tak punya pekerjaan, Mas. Untuk penghasilan, saat ini saya hanya mengandalkan royalti tulisan-tulisan saya."
Hm... di satu sisi saya merasa prihatin mendengar cerita ini. Tapi di sisi lain saya berkata di dalam hati, "Hm... berarti memang benar! Menjadi penulis itu bisa hidup! Kita bisa hidup hanya dengan mengandalkan royalti naskah! Jadi buat apa saya takut kekurangan rezeki? Saya adalah penulis, dan ini adalah lahan rezeki yang sangat subur."
* * *
Kini, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada sepuluh orang di atas. Mereka adalah orang-orang yang sangat hebat.

Cilangkap, 11 April 2007

Jonru



Cara Cepat Dapat Gelar

8:40:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang kawan di sebuah pulau yang makmur berkirim sms kepada saya. “Ini bisnis,” katanya. Intinya, ada beberapa pejabat di pulau itu ingin melanjutkan S2 dengan model by research, hanya mengerjakan tesis. Tapi beliau-beliau super sibuk, sehingga mencari orang yang mau dan mampu mengerjakannya dengan imbalan rupiah tentu saja. “Kalau Abang mau, nanti saya hubungkan,” tulis sang kawan. Tentu saja kawan itu salah alamat. Kontan saja saya balas sms-nya bertubi-tubi, mengingatkan bahwa itulah kejahatan intelektual sebenarnya. Orang koq ingin dapat gelar dengan cara pintas.


Beberapa waktu kemudian, saya menguji skripsi seorang calon sarjana. Tulisan dari hasil penelitian itu standar-standar saja, seperti kebanyakan skripsi mahasiswa yang pernah saya temui. Hati agak kurang nyaman ketika mahasiswa itu mempresentasikan karyanya di depan kami, saya sebagai penelaah, dan 2 orang dosen pembimbing. Ketika giliran saya menyampaikan pertanyaan, saya bertanya singkat saja : ”Apakah skripsi ini anda buat sendiri ?”. Aneh bin ajaib, si mahasiswa menjawab dengan sangat polos : ”Nggak Pak !”. Hehe. Maka, meluncurlah cerita yang sangat jujur, bahwa ia merasa sudah mentok, pernah patah hati kemudian cuti kuliah beberapa semester. Sementara orang tua tidak tahu, tapi terus mengultimatum, ”kapan kamu wisuda? Ini semester terakhir lho ! setelah ini nggak ada kiriman lagi !”. Maka, jasa pembuat skripsi yang iklannya ada di koran-koran dengan label konsultasi dan pengolahan data, menjadi pilihan terakhirnya. ”Saya bingung Pak, tapi saya ingin lulus, jadi sarjana, menyenangkan orang tua,” katanya. Dosen pembimbingnya pun kaget campur geram. Mahasiswa ini memang tergolong bermasalah sejak awal. Belasan semester sudah dia habiskan di kampus. Tapi, dosen pembimbingnya tidak menyangka kalau skripsinya dibuatkan orang, karena waktu konsultasi biasa-biasa saja. Singkat cerita, sang mahasiswa dinyatakan tidak lulus, harus mengulang penelitian dari awal, dengan catatan ”benar-benar bikin sendiri!”. ”Sejelek apapun, tapi karya sendiri, itu lebih berharga, daripada menipu diri sendiri dan orang lain,” begitu nasihat dosen pembimbing. Melihat kepala mahasiswa tertunduk lunglai, saya pun mencoba memberi semangat bahwa dia bisa, dia hebat, asal jangan mengerdilkan jiwa. Dalam hati, lagi-lagi saya heran, ada orang ingin dapat gelar dengan cara pintas.

Lantas, apa sebenarnya makna gelar? Bukan hanya gelar akademis, gelar apa saja ! Sekedar hiasan, status sosial, alat pemasaran, punya konsekuensi ekonomis, atau semacam sistem tanda yang menjamin bahwa si pemilik bukan orang main-main. Repotnya bila orang mati-matian mengejar gelar, bagaimanapun caranya, atau malah menggelari diri sendiri, padahal ketika disandingkan dengan nama, gelar itu gak matching gitu loh...Ini yang berat. Pelajaran paling indah telah tertoreh pada sejarah nabi kita yang Agung, Muhammad SAW. Di zaman itu orang juga biasa memberi gelar. Tapi gelar itu diberi karena pembuktian di masyarakat, bukan mengarang sendiri, apalagi membeli. Rasululloh SAW diberi gelar Al-Amin, karena beliau memang sangat bisa dipercaya. Abu Bakar digelari Ash Shiddiq karena selalu benar, membenarkan dan dibenarkan. Umar bin Khattab bergelar Al Faruq karena sosoknya yang tegar, tegas, keras, tak kenal takut. Demikian juga dengan ’Utsman bin Affan dihadiahi gelar Dzun Nurain, si pemalu yang berakhlaq mulia, Khalid bin Walid punya gelar Saifullah, Pedang Allah, dan seterusnya. Semua punya gelar, tapi mereka memperolehnya dengan pembuktian yang mendalam, bukan sekedar simbol tampa makna.

Ngomong-ngomong tentang gelar, saya jadi malu sendiri. Ketika diundang untuk sharing dalam sebuah workshop komunikasi dan pendidikan di Ngawi bulan Juli lalu, saya kaget dan geli ketika di backdrop acara, selain nama acara dan penyelenggara, terpampang besar-besar nama saya dengan embel-embel gelar yang bikin seram. Dr,H,M.Si. Waduh. Saya merasa nggak nyaman dan langsung protes sama ketua panitia. ”Sampeyan kan tahu, saya masih sekolah, belum Dr, gimana nih..?” Lagipula, kalau nggak pake gelar-gelaran seperti itu gimana sih..Apa omongan kita nggak dipercaya orang, kalau nggak pake gelar yang berderet-deret. Jadi beban malah, gelar macam-macam, ilmu nggak ada. ”Tenang aja Pak, itu do’a dari kami, jadi jangan diralat,” katanya santai. Nah..! (**Subhan Afifi)

Arti Perawan

1:22:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Suatu hari Azzam, anak sulung saya, ketika berusia 7 tahun bertanya pada ibunya, "Ummi, perawan itu apa sih..?". Sang bunda bingung mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Ehm..perawan itu artinya belum pernah menikah...ehm,,,". "Bukan itu maksudnya..." tukas Azzam sambil memperlihatkan sebuah berita dari tabloid olahraga kegemarannya : "Mampukah Penjaga Gawang itu Menjaga Gawangnya tetap Perawan..?

Calon Dekan FISIP Mendengar

1:00:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta sedang punya gawe. Memilih ”Bapak” baru, menggantikan Drs Susanta, M.Si yang sudah 2 periode berturut-turut menjadi dekan. 5 orang kandidat sukses melewati tahapan pra pemilihan. Mereka adalah : Dr Meilan Sugiarto, M.Si (Jurusan Administrasi Bisnis), Agung Prabowo,M.Si (Jurusan Ilmu Komunikasi), Hikmatul Akbar,M.Si (Jurusan Ilmu Hubungan Internasional), Edwi Arief Sosiawan,M.Si (Jurusan Ilmu Komunikasi) dan Asep Saipudin,M.Si (Jurusan Ilmu Hubungan Internasional).


Kalau dilihat dari jumlah calon, ini kandidat terbanyak sepanjang sejarah FISIP. Mereka berlima juga berasal dari ke-3 jurusan yang ada, sehingga diperkirakan kompetisi diantara mereka akan berlangsung ketat. Apalagi mulai periode ini, para tenaga administrasi memiliki hak suara yang penuh untuk memilih, one man one vote. Mahasiswa melalui HMJ dan BEM juga diberikan suara untuk menentukan.

Kamis kemarin (16/7), saya mengikuti pemaparan visi misi para calon dekan itu. Saya mencatat kelimanya punya visi misi dan program yang sama-sama bagus. Namanya juga visi misi dan program, pasti ideal semua. Semuanya ingin menjadikan FISIP lebih baik dan semakin punya daya saing, diantaranya melalui pembenahan manajamen internal dan pelayanan, peningkatan kesejahteraan, pengembangan kualitas akademik, penguatan kerjasama, dan sebagainya. Beberapa yang spesifik dan terbilang ”baru”, setidaknya menurut catatan saya, ada beberapa : Pak Meilan ingin bikin career center, Pak Agung menekankan sinergi dan kebersamaan untuk menjadikan FISIP semakin punya reputasi di tingkat nasional dan internasional, Pak Hikmatul ingin kembali membenahi dari hal-hal yang kecil dan riil, Pak Edwi punya niat mewujudkan cyber faculty, dan Pak Asep ingin menjadikan lulusan punya soft skill dan keunggulan. Tentu semuanya sangat prospektif dan menjanjikan.

Sebagai warga FISIP, saya sangat menghargai gagasan brilian para kandidat untuk mewujudkan fakultas ini jadi lebih unggul. Bukan apa-apa, saat ini, dan InsyaAllah seterusnya, ibadah dan hidup saya, salah satunya ada di sini. Jadi, sangat wajar kalau saya ingin segalanya lebih baik. Dan itu semuanya, sangat ditentukan oleh pemimpin. Dalam bayangan saya, selain masalah kompetensi alias profesionalisme, dan hal-hal idial lainnya yang sudah banyak disebut, dan juga terlontar dalam penyampaian visi misi kemarin, pemimpin harus punya ”pendengaran” yang baik. Dia harus punya tabiat, lebih banyak mendengarkan, daripada minta didengarkan. Efeknya tentu bisa kemana-mana, dia akan lebih banyak ngewongke daripada minta diwongke, melayani daripada minta dilayani, serta membersamai daripada meninggalkan.. Orang yang banyak mendengar, biasanya lebih sabar dan selalu ingin bekerja dengan rekan-rekannya dalam super team, dan tidak ingin jadi superman.

Seorang kawan dosen, setelah pemaparan visi misi kemarin, secara terus terang menyatakan akan memilih Pak X. ’Kenapa?” tanya kawan di sebelah saya. ”Selama ini, selain kerjanya bagus, dia nggak gampang marah,” katanya. Ooooo.. Bagaimana menurut anda ?

Pulang Kampung

8:57:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Walau kalah, saya menaruh hormat dan apresiasi mendalam untuk Jusuf Kalla. “Namanya aja Yusuf Kalla(h), seharusnya ganti Yusuf Menang dong,” kata Zulfa Athifah, 7 tahun, puteri kedua saya. Meski Zulfa meledek, beliau tetap jadi profil salah seorang pemimpin yang saya. hormati Sederhana, lugas, apa adanya, dan tentu saja, “lebih cepat lebih baik”. Walau karena performance seperti itu, Jusuf Kalla justeru dipersepsi kurang punya karisma, grusa-grusu dan tak pandai menebar pesona. Ketika debat capres putaran terakhir, saya terkesan dengan jawabannya ketika ditanya moderator, apa yang akan dilakukan kalau kalah dalam pilpres. “Kalau bukan saya yang terbaik, saya akan pulang kampung, mengurus masjid, mengurusi pendidikan dan perdamaian,” katanya mantap.


“Pulang kampung”, lagi-lagi saya angkat topi untuk pilihan kata ini. Bagi siapapun, pulang kampung bermakna mendalam. Setelah terbang bebas, melanglang buana, suatu saat, seseorang ingin kembali pulang. Betapa bahagianya, kembali ke lingkungan yang pernah memberi kenangan tak bertepi. Persis dengan rasa suka cita saya dan kawan-kawan SMA yang berjumpa kembali, setelah 17 tahun tak berjumpa. Setelah bertebaran di mana-mana, dari Doha hingga Tarakan, dari kota-kota besar di jantung Eropa dan Asia, hingga kota-kota bersahaja di berbagai pelosok negeri, semuanya merasa ingin “pulang”. “Pulang kampung” tak sekedar bermakna kembali ke masa lalu nan penuh nostalgia, tetapi lebih pada menuju “masa depan” karena ingin memberi kontribusi agar jadi lebih baik.

Rasa-rasanya, saya pun ingin memberikan sesuatu yang berarti untuk kampung halaman. Walau bingung juga mana sebenarnya kampung saya. Ada beberapa kota yang dekat dan berhubungan dengan saya. Ibu saya yang asli Muntilan Magelang telah puluhan tahun diboyong Ayah saya yang kelahiran Taliwang Sumbawa ke Bumi Gora, NTB sana. Saya sendiri kelahiran Sumbawa Besar, meski cuma numpang lahir. Masa kecil hingga SMP terlewati di Mataram. SMA di Jogja, kuliah di Semarang dan Jakarta, hingga kembali ke Jogja dan beranak pinak di sini. Setelah Ayah dan Bunda saya wafat, saya mencoba terus berbakti kepada keduanya dengan bersilaturrahmi dengan sanak kerabat di kota-kota itu, terutama Muntilan, Mataram dan Taliwang.

Ketika saya pulang ke kampung ayah di Taliwang beberapa waktu lalu, saya punya mimpi untuk melakukan sesuatu di sana. Inginnya sih seperti Jusuf Kalla, “Mengurus Masjid, Mengurusi Pendidikan”. Pulang kampung tak selalu berarti pulang secara fisik. Tapi komitmen dan kepedulian yang wajib di pulangkan. Siapa tahu, itu semua yang bisa diandalkan, ketika suatu saat nanti kita benar-benar pulang kampung dalam arti sesungguhnya : pulang ke negeri akhirat. Wallahu’alam.

Launching Jurnal IJCS Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta

2:35:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Rabu, 20 Mei 2009, jam 08.00-12.00 WIB, jurusan Ilmu Komunikasi UPN ”Veteran” Yogyakarta mengadakan seminar dengan tema ”Trends and Challenges in Communication Research”. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Seminar FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta, Gedung Agus Salim, Jalan Babarsari No.2 Yogyakarta. Seminar ini diikuti sekitar 200 peserta dari kalangan akademisi, peneliti dan mahasiswa.

Seminar ini diadakan dalam rangka peluncuran Jurnal Internasional ”The Indonesian Journal of Communication Studies”, (IJCS) yang diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UPN ”Veteran” Yogyakarta. Jurnal berbahasa Inggris bidang komunikasi pertama di Indonesia ini melibatkan penyunting ahli (mitra bestari) dari beberapa negara, yaitu : Australia, Malaysia, Thailand dan Indonesia sendiri. Jurnal IJCS Diterbitkan 2 kali setahun, berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan kajian teoritis bidang ilmu komunikasi, seperti : media dan jurnalisme, periklanan, public relations, komunikasi interpersonal, komunikasi internasional, komunikasi lintas budaya, cultural studies, dan sebagainya. Pembaca jurnal ini adalah para akademisi, peneliti, praktisi dan mahasiswa ilmu komunikasi, baik tingkat sarjana maupun pascasarjana. Jurnal ini didistribusikan di Indonesia, dan beberapa negara lain seperti : Malasyia, Singapura, Thailand, Australia, dan sebagainya. Penulis jurnal juga berasal dari berbagai universitas dan instansi dari berbagai negara.

3 orang pembicara, hadir dalam seminar itu. Mereka adalah : Dr Abu Hassan Hasbullah (University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia), Dr Hermin Indah Wahyuni (Universitas Gadjah Mada) dan Basuki Agus Suparno, M.Si. Dr Abu Hassan memberikan pemaparan tentang “Future Studies Perspective in Communication Research”. Menurutnya, Studi masa depan (future studies) dapat digunakan sebagai salah satu perspektif dalam penelitian komunikasi. Perspektif ini digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan fenomena dan data dalam dunia komunikasi. Prediksi dan strategi apa yang akan diambil untuk menghadapi masa depan dapat dibuat dengan menggunakan perspektif future studies. Dr Hermin mempresentasikan makalah yang berjudul “Global Trends in Communication Research. Menurutnya, kecenderungan dan tantangan penelitian komunikasi ditentukan oleh isu-isu komunikasi yang berkembang, aspek teori dan metodologi yang bersifat dinamis. Peneliti komunikasi harus terus mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia global, agar tidak tertinggal. Sementara itu, Basuki Agus, M.Si, sebagai wakil dari komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta memperesentasikan “The Implications of Communication Axioms In Research Methodology. Basuki menjelaskan bahwa aksioma dalam ilmu komunikasi memberikan implikasi pada perspektif dan metodologi penelitian komunikasi. Misalnya apakah komunikasi dipahami sebagai proses transmisi dan penerimaan informasi, ataukah sebagai pencipta makna. ”Peneliti komunikasi harus memahami aksioma yang melandasi penelitiannya, sehingga tepat dalam menggunakan perspektif teori dan metodologi,” jelasnya dalam bahasa Inggris yang fasih.

Sebagai ketua penyunting (editor in Chief) IJCS, saya menyampaikan rasa syukur mendalam karena acara ini berlangsung sukses. Tentu juga berkat kerjasama teman-teman pengelola IJCS, panitia dan pihak sponsor. Semoga menjadi salah satu kontribusi kami untuk menyebarluaskan ilmu yang bermanfaat, dan pada akhirnya nanti menjadi pemberat amal kebajikan yang tak putus balasannya. Amin… (***Subhan Afifi)

Workshop Penulisan di Purwodadi

2:34:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Dinamika pendidikan di negeri ini kadang menggelikan. Kesenjangan kualitas dan aktivitas pencerahan bagi masyarakat antara satu daerah dengan daerah lain terasa jelas. Di sebuah daerah di Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, misalnya, menurut penuturan seorang rekan trainer, sama sekali belum pernah diadakan seminar publik, bahkan sejak sejarah berdirinya republik. Ketika rekan tersebut diundang atas prakarsa Fahma Training Centre dan penggiat pendidikan Hidayatullah di sana, maka seminar itu menjadi yang pertama dan satu-satunya.

Bulan Mei lalu, rekan-rekan dari Sekolah Integral Lukman Al Hakim Hidayatullah Purwodadi menggagas sebuah event pameran buku. Acara ini menurut, Basori, SPd, kepala sekolah, sekaligus ketua panita, merupakan acara yang pertama di adakan di Purwodadi. Menggandeng Giant, Event Organizer asal Jogja, sekolah tersebut sukses menghadirkan penerbit-penerbit buku besar yang sebelumnya ragu, apakah masyarakat Purwodadi antusias dengan pameran buku. Rupanya, keraguan itu tertepiskan dengan besarnya animo masyarakat untuk mengunjungi pameran itu. Bupati beserta jajarannya juga mendukung penuh kegiatan itu. Masyarakat di daerah-daerah rupa-rupanya haus dengan kegiatan yang mencerahkan, tinggal menunggu penggerak dan pionirnya saja. Rekan-rekan di SDIT Hidayatullah Purwodadi rupanya mengambil peran itu. Ini harus diapresiasi.

Sebagai rangkaian acara book fair, panitia menggelar beberapa seminar dan workshop, seperti Training for Exellent Life untuk guru, Training kepemimpinan dan Training Penulisan untuk pemuda/pelajar. Saya kebagian diundang untuk berbagi dalam training penulisan. Selama 1 hari penuh, tanggal 22 Mei 2009, Alhamdulillah, saya berkesempatan membersamai para pemuda/pelajar Purwodadi untuk berlatih menulis. Anak-anak gaul Purwodadi itu luar biasa, sangat antusias untuk mengembangkan kemampuan menulis. Beberapa diantara mereka juga sudah terbiasa menulis dengan media blog. Mereka adalah para calon penulis handal. Saya senang bisa berbagi dengan mereka, anak muda yang sangat pede dengan masa depannya. Terimakasih Purwodadi ! (***Subhan Afifi)

Bak Harta Karun yang Tak Terlihat

5:20:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Koran Seputar Indonesia, Minggu, 29 Juni 2008

BERAWAL dari diskusi di sebuah milis,Komunitas PenulisLepas berusaha memfasilitasi para anggotanya agar mampu mengembangkan keahlian menulis.

Komunitas bermoto ”Situsnya Penulis!” itu lalu membuat website yang bisa mengakomodasi kepentingan anggota, mulai proses kirim karya, diskusi, hingga pengembangan jaringan penulis. Sejarah awal milis PenulisLepas berdiri tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin tiga sahabat,yakni Jonru,Rini Nurul Badariah, dan Subhan Afifi.

Three musketeers ini memosisikan milis PenulisLepas sebagai media komunikasi sejumlah orang yang berprofesi sebagai penulis lepas. Itu sebabnya, milis yang berdiri 15 Februari 2001 itu diberi nama PenulisLepas.Komunitas tersebut semula bersifat tertutup dan hanya orang tertentu yang diundang. Lambat laun komunitas ini berkembang dan anggotanya membludak hingga 5.200 orang.


Susah untuk mengatur orang sebanyak itu dari seluruh Indonesia. Milis ini sempat vakum karena kekurangan pengelola.Beruntung,masih ada sekitar 10% dari jumlah tersebut yang bersemangat untuk tetap melanjutkan diskusi online maupun melakukan kopi darat,sambil membuat sebuah acara. Tahun 2005 komunitas semakin solid dan memutuskan membuat sebuah kepengurusan.

Namun,dalam perkembangannya, para anggota sepakat tidak membentuk kepengurusan, melainkan jadi komunitas saja. Jonru, sebagai penggagas milis ini, bertanggung jawab melanjutkan keberadaan komunitas PenulisLepas. Setelah itu,komunitas ini semakin serius menggarap kemampuan atau keahlian masing-masing anggota, sekaligus memperluas jaringan dengan enam orang sebagai moderator.

Diskusi online tentang kegiatan tulis-menulis pun semakin terarah. ”Selain milis, kami juga membangun situs www.penulislepas.com . Awalnya, situs ini berisi info seputar penawaran jasa di bidang penulisan dan murni bertujuan bisnis,” ungkap Jonru. Namun, setelah berjalan beberapa lama, bisnis itu belum juga menampakkan profit. Jonru yang bekerja sebagai content editor di CBN, perusahaan penyedia layanan internet, tidak bisa berdiam diri.

Dia lalu mengubah www.penulislepas.com menjadi situs komunitas, dengan harapan suatu saat situs ini bisa menjadi basis bisnis baru bagi para penulis. Saat itu Jonru dibantu sahabatnya, Bambang Trim, yang mengelola penerbitan MQS Publishing dan wakil ketua IKAPI Jawa Barat.Komunikasi intensif mereka membuahkan hasil,yakni perubahan format situs menjadi komunitas penulis di dunia maya.

Sejak saat itu, komunitas ini terus menggeliat dan sering mengadakan pertemuan. Pertemuan perdana terjadi pada 16 Oktober 2005, yang ditandai dengan antusiasme anggota untuk berkiprah di milis dan situs penulis lepas. ”Saya tidak mengira PenulisLepas bisa menjadi komunitas yang sangat berharga dan potensial.

Ini adalah aset yang tak terlihat dan merupakan harta karun,”ujar Jonru, yang menggelar pertemuan kedua lewat seminar bertajuk Kiat Sukses Menerbitkan Bukupada 2 Juli 2006. Kegiatan para anggota komunitas terus berlanjut hingga 13 Agustus 2006 meski hanya berupa diskusi internal yang dihadiri tujuh peserta. Lantas, pada 24 November 2006 diadakan pula diskusi online via konferensi di Yahoo! Messenger,dihadiri sekitar 50 peserta.

Alhasil, milis dan situs penulis lepas kini menjadi milis dan situs penulisan terbesar di Indonesia.Namanya pun semakin diperhitungkan dan banyak orang penting di bidang penulisan yang bergabung di sini.Ada Bambang Trim,Yanusa Nugroho, Damhuri Muhammad, Kinoysan, Akmal Nasery Basral,Femmy Syahrani, Beni Jusuf, Arul Khan,dan masih banyak lagi.

Maret 2007, Jonru memutuskan keluar dari perusahaan dan memfokuskan diri pada bisnis penulisan,termasuk mengurus milis dan situs penulis lepas.Jonru menangkap peluang, komunitas ini bisa menjadi sebuah ladang wirausaha di bidang tulis-menulis.

Beragam paradigma lama, seperti menulis sebagai sampingan dan hanya mengandalkan honor tulisan yang dimuat di media atau royalti penjualan buku, langsung diubah oleh founder PenulisLepas tersebut. Masih menurut Jonru, kegiatan menulis pun dapat menjadi sumber penghasilan dan kita bisa kaya karenanya. Contoh nyata bisa dilihat dari penulis buku best seller Ayat Ayat Cinta atau Laskar Pelangi.

Meski untuk meraih keberhasilan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berwirausaha lewat produk tulisan jangan hanya dilihat dari royalti sebagai sumber kekayaan. Buku, misalnya, sebagai sebuah produk, bisa memperlihatkan kredibilitas seseorang,dan sumber kekayaan biasanya muncul di luar produk itu sendiri. Seperti diundang berbicara di depan forum, menerima proyek tulisan dari seseorang, dan sebagainya.

Dengan langkah mantap, Jonru lantas mengibarkan Sekolah Menulis Online ( www.sekolahmenulisonline.com ) pada Juli 2007, sebuah sekolah menulis di dunia maya.Tentu saja sekolah ini memiliki modul, bedah karya, hingga pertemuan online rutin dua kali seminggu. Layanan konsultasi via online pun dilakukan untuk mempermudah komunikasi jarak jauh apabila ada siswa yang kesulitan selama proses pembelajaran. Sekolah yang diadakan tiga bulan sekali dan sudah memasuki angkatan ketiga itu bisa meluluskan minimal 30 orang per angkatan.

Bagi Jonru,menulis bukan sekadar mencari materi, tapi lebih pada pengungkapan segala pemikiran dan idealisme kita. Salurkan segala ide liar positif itu dan tetap konsisten. Uang hanya efek samping.

Jonru semakin mengibarkan bisnis penulisan dengan menerbitkan buku secara self publishing (dalam bentuk ebook) berjudul Menerbitkan Buku Itu Gampang! melalui situs www.naskahoke.com , mendirikan lembaga pelatihan penulisan, seperti yang sedang dirintis lewat situs www.belajarmenulis.com , dan masih banyak cita-cita tentang kepenulisan yang akan ditanganinya lagi.

Salah seorang yang sukses berwirausaha di bidang ini adalah Ariyanto MB. Sejak 2007, Ariyanto telah mampu menulis 24 buku nonfiksi populer. Bahkan,dia berani memantapkan langkah untuk menjadikan menulis sebagai sumber kekayaan. Penemu danpengembangmetode”menulis tanpa harus berpikir”itu juga merupakan owner sekaligus founder MR Pen Indonesia (pabrik tulisan pertama di Indonesia), sekretaris jenderal pengurus pusat Aliansi Penulis Indonesia (API), dan penulis entrepreneur.

”Modal utama yang Anda butuhkan sebenarnya hanyalah keberanian untuk percaya dan yakin bahwa Anda bisa. Di dunia ini banyak sekali orang yang sebenarnya bisa, tapi mereka merasa tidak bisa.Mereka telah membatasi diri sendiri, padahal Tuhan telah memberi mereka potensi yang amat luar biasa,” tuturnya. (didik purwanto)

Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Terbitkan Jurnal Internasional

9:09:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi


Untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan keilmuan dan mengembangkan jejaring kerjasama (networking) internasional, jurusan Ilmu Komunikasi UPN ‘Veteran” Yogyakarta menerbitkan Jurnal Internasional ”The Indonesian Journal of Communication Studies” (IJCS), ISSN : 1978-323X.

“Jurnal berbahasa Inggris ini melibatkan penyunting ahli (mitra bestari) dari beberapa negara, yaitu : Australia, Malaysia, Thailand dan Indonesia sendiri”, ujar Ketua Penyunting, Subhan Afifi,M.Si. Jurnal yang diterbitkan 2 kali setahun, berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan kajian teoritis bidang ilmu komunikasi, seperti : media dan jurnalisme, periklanan, public relations, komunikasi interpersonal, komunikasi internasional, komunikasi lintas budaya, cultural studies, dan sebagainya. Pembaca jurnal ini adalah para akademisi, peneliti, praktisi dan mahasiswa ilmu komunikasi, baik tingkat sarjana maupun pascasarjana. Jurnal ini didistribusikan di Indonesia, dan beberapa negara lain seperti : Malasyia, Singapura, Thailand, Australia, dan sebagainya. Penulis jurnal juga berasal dari berbagai universitas dan instansi dari berbagai negara “Keberadaan IJCS juga untuk melengkapi “Jurnal Ilmu Komunikasi” yang telah diterbitkan sebelumnya,” tambah Basuki, M.Si Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UPN. Menurutnya, jurnal IJCS diterbitkan agar Komunikasi UPN semakin dikenal di dunia internasional.

Dalam rangka peluncuran (launching) jurnal internasional tersebut, akan digelar Seminar dengan tema “Trends and challenges in Communication Research”, pada Rabu, 20 Mei 2009, jam 08.00-12.00 WIB. Seminar ini akan bertempat di Ruang Seminar FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta, Gedung Agus Salim, Jalan Babarsari No.2 Yogyakarta. Pembicara yang akan hadir dan materi yang akan dipresentasikan adalah : Dr Abu Hassan Hasbullah (University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia) “Future Studies Perspective in Communication Research”, Dr Hermin (Universitas Gadjah Mada) “Global Trends in Communication Research dan Basuki Agus Suparno, M.Si (UPN “Veteran” Yogyakarta) “The Implications of Communication Axioms In Research Methodology. (***)

Sumber : harian Radar Jogja, Jum'at, 15 Mei 2009


FISIP UPN Terbitkan Jurnal Internasional

Selasa, 19 Mei 2009 12:07:17

JOGJA: Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogja meluncurkan jurnal Internasional The Indonesian Journal Of Communication Studies, Rabu(20/5) mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB di ruang seminar FISIP UPN Babarsari.

Pihak pengelola jurnal menyatakan, jurnal itu akan diperkuat dengan tim editor yang berasal dari empat negara. Mereka adalah Brian Morris (RMIT University Australia), Jessica Raschke (University Of Melbourne, Australia), Mike Hayes (Mahidol University, Thailand)Abu Hasan Hasbullah(University Of Malaya, Malaysia).

Sedangkan dari Indonesia Ibnu Ahmad(Univeritas Indonesia), Prof Dedi Mulyana (Padjajaran), dan Ana Nadya Abrar (Universitas Gadjah Mada).

Ketua Penyunting Jurnal Subhan Afifi mengatakan jurnal ini merupakan jurnal berbahasa Inggris di bidang komunikasi yang baru pertama kali terbit di Indonesia. Materi jurnal yang hendak disampaikan adalah seputar tren global di dunia komunikasi saat ini dan di masa mendatang.

Dia mengatakan, dalam launching para pembicaraberbagi wawasan mengenai data-data dan hasil penelitian terbaru di bidang komunikasi. "Selama ini jurnal komunikasi berbahasa Inggris belum ada, maka networking global diharapkan terwujud dengan peluncuran jurnal ini,"katanya. (Rossa Fergie)

Sumber : Harian Jogja

Bertanya pada “Kyai” Google

6:55:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Minggu pagi (17/5) saya beruntung berjumpa dengan para alumni haji KBIH Bina Ummat Yogyakarta tahun 2006. Kali ini mereka menggelar pengajian 2 bulanan di aula Stikes Aisyiah Yogyakarta. Sepulang haji mereka rutin berjumpa, menggelar kajian bersama, atau sekedar melepas kangen. Sambil cerita-cerita mengenang pengalaman di tanah suci yang selalu menarik, seoalah tak ada habisnya walau telah sering diulang-ulang. Dari kumpul-kumpul itu tak lupa kotak infak beredar. Rupiah yang terkumpul sangat bermanfaat untuk berbagai program keummatan. Dari membantu pengembangan pesantren hingga membantu mereka yang kesusahan. Sebuah usaha mulia memelihara kemabruran haji.

Saya berkesempatan berjumpa mereka, atas peran sang ketua “alumni’, Pak Sukamta, MT. Pria energik yang sering menjadi patner saya dalam memberikan beberapa training pengembangan mutu pendidikan itu, meminta saya untuk hadir. “Mengisi Pengajian haji Bina Ummat,” katanya kemarin ketika menelpon. Waduh, grogi juga saya. Kalau ngisi seminar atau training mungkin nggak begitu masalah, tapi pengajian, rasa-rasanya lebih berat tanggungannya. Apalagi audiens-nya adalah para bapak dan ibu haji yang tentu punya keilmuan dan pengalaman kerohanian lebih dalam. Pak Kamto berusaha meyakinkan bahwa mereka hanya ingin sharing pengalaman. Apalagi, katanya, saya yang berangkat haji via Malaysia dan menjadi petugas haji punya pengalaman menarik, dan berbeda dengan yang dialami para jamaah haji reguler. Walau bertajuk sharing, tak lupa Pak Kamto secara tak langsung menyodorkan tema “Rindu Kembali Ke Tanah Suci dan Memelihara Kemabruran Haji”. Waduh..pripun niki !


Alhamdulillah, setelah bertanya sebentar dengan “Kyai Google” terkait tema yang diminta, berangkat juga saya ke Forum Pengajian itu. Apalagi Pak Kamto sendiri yang langsung menjemput. Di pengajian itu saya di sebut sebagai Ustadz. Waduh ! (lagi..) Belum pantas rasanya, disebut seperti itu. Ya sudah, berbekal sedikit pengalaman di tanah suci dan “wasiat Kyai Google”,hehe, selesai juga saya bicara sekitar 50 menit di depan pak haji dan bu haji itu. Apa yang saya bicarakan sebagian juga pernah saya tulis di blog ini.

Luar biasa dakwah di era internet saat ini. Sarana menuju kebaikan tersebar luas, seolah tak berbatas di dunia maya. Para da’i akan sangat dimudahkan tugasnya. Belajar Islam menjadi lebih mudah. Referensi keIslaman dari A hingga Z segera diperoleh dengan beberapa kali klik. Internet juga menjadi tantangan bagi para da’i untuk mengisinya. Sama dengan media lainnya, internet hanya media yang akan ditentukan warnanya oleh kualitas pesan. Nilai-nilai kebenaran bersaing ketat dengan beragam kemungkaran yang juga tersaji bebas. Jadi, mari menebar nilai-nilai kebaikan untuk semesta alam via internet. Ngeblog salah satu caranya. InsyaAllah, berpahala lho....!

Pendidik Harus Miliki Empati

6:52:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Temanggung, JTNR

Para guru atau tenaga pendidik harus memiliki empati terhadap siswa-siswanya dalam proses belajar mengajar. Selama ini, yang berkembang dalam proses belajar mengajar, empati tidak selalu hadir dari kebanyakan pendidik, sehingga hasil yang dicapai dalam proses tersebut tidak optimal.

Hal itu diungkapkan Rektor Universitas PGRI Yogyakarta, Prof Dr Buchori MS, dalam seminar dengan tema ''Menjadi Pendidik yang Berempati pada Mentalitas Anak'', yang digelar di GOR Bambu Runcing Temanggung, belum lama ini. Selain Buchori, pembicara lain ialah Subhan Afifi (konsultan komunikasi dan pendidikan) dan moderator Susilo ''Den Baguse Ngarso'' Nugroho (guru dan seniman).

Menurut Buchori, absennya empati dalam proses belajar mengajar merupakan salah satu masalah yang berkembang dewasa ini. Selain itu, proses pembelajaran juga belum selalu mengikuti tahap-tahap perkembangan, termasuk kecerdasan emosional siswa didik. ''Pembelajaran dewasa ini masih berpusat pada guru, siswa pasif dan tidak didorong untuk berpikir kritis, logis, kreatif, inovatif, kemudian juga bersifat hafalan dan hanya menekankan aspek kognitif,'' ujar dia.

Dia mengusulkan, paradigma pembelajaran diubah, dari siswa pasif ke aktif dan berpikir kritis mandiri, dari kelompok besar ke kecil, berorientasi team work dan pembelajaran (bukan pengajaran). Selain itu, dari berpusat pada guru menuju berpusat pada murid, pengetahun diakses dari berbagai sumber, menggunakan teknologi informasi dan pengembangan multi intelegensi.

Sedangkan Subhan Afifi mengungkapkan, kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi dan merasakan perasaan orang lain adalah bentuk dari empati. Karena pikiran, kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaan, maka seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan perasaan orang lain. ''Sifat inilah yang mestinya mendominasi pendidik dalam kiprahnya. Pendidik yang berempati memiliki kemampuan menyelami perasaan anak didiknya tanpa harus tenggelam,'' ujarnya.

Dia mengatakan, anak didik bukanlah kertas putih yang seragam. Sehingga, guru harus mampu mengenali dan merasakan kondisi siswa, dan bukan menjadi pengamat yang berdiri di tempat yang jauh. Guru yang berempati memiliki kemampuan merespon keinginan siswanya yang tak terucap. ''Selanjutnya, empati perlu dipadukan dengan ketrampilan seorang pendidik, dan yang tidak kalah pentingnya, yakni komunikasi,'' tutur Dosen Jurusan Komunikasi, Fisip UPN Veterran Yogyakarta itu.

Diungkapkan, komuniksi efektif mutlak diperlukan pendidik. Beberapa syarat agar komunikasi berjalan efektif adalah saling menghormati dan menghargai, dapat dimengerti dengan baik, jelas dan sikap rendah hati. (*Edy Laks_ed.BS)

Pembicara Ketiga

6:51:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Setelah Workshop Penyusunan Renstra untuk Sekolah di Sleman bulan lalu, 2 orang sahabat baru mendatangi saya di kantor. Mereka, Mas Setyawan dan temannya, dari L-Tera, sebuah event organizer, yang fokus pada penyelenggaran seminar dan workshop pendidikan. Intinya, saya diminta untuk menjadi salah satu pembicara pada seminar yang mereka adakan di Temanggung, 9 Mei 2009. Tentu saya senang, karena dapat kesempatan untuk belajar dan berbagi. Apalagi dengan para Guru.

Alhamdulillah, seminarnya berlangsung lancar. Ini pengalaman pertama saya, menghadapi audiens sekitar 600-an orang yang memenuhi GOR Bambu Runcing Temanggung. Biasanya paling banyak, saya bicara di depan peserta 200-an orang di ruang seminar. Seminar dengan tema "Pembelajaran yang Berempati dan Berorientasi pada Mentalitas Anak" itu dipandu sosok yang sangat dikenal publik Jateng-DIY, Den Baguse Ngarso, bintang acara "Mbangun Deso" yang sangat populer di TVRI Jogja dulu. Siang yang panas agak terdinginkan oleh aneka Gerr karena kepiawaian Den Baguse menarik perhatian audiens dengan guyonan-guyonan khasnya.

Pembicara pertama Prof Buchori (Rektor IKIP PGRI Jogja) lebih banyak bicara tentang profil guru profesional dan sertifikasi yang sedang heboh-hebohnya itu. Saya menyampaikan paparan tentang "Komunikasi Empatis dan Pendidikan yang Membangun Jiwa". Alhamdulillah, hingga paparan saya usai semua berjalan lancar.

Yang menarik buat saya saat itu adalah tampilnya seorang Kakek yang sangat bersemangat. Lengkap dengan peci bergaya pejuang kemerdekaan, Sang Kakek meminta izin untuk bertanya. Ketika Den Baguse memberikan kesempatan untuk berkomentar dalam 1 kalimat pendek tentang materi apa yang paling diingat atau paling menarik dari paparan saya, beliau menolak. "Saya ingin bertanya panjang, tidak cukup dengan satu kalimat, " katanya. Makanya Sang Kakek diberikan kesempatan pertama untuk bertanya pada sesi tanya jawab. Beliau bicara dengan sangat bersemangat. Lucunya, Kakek yang nampaknya pernah jadi tokoh di masa lalu itu, tidak bicara menghadap kami, para pembicara yang duduk di kursi depan, tapi menghadap peserta dan membelakangi kami. Rupanya, beliau ingin pidato, tidak ingin bertanya,hehe. Maka tergopoh-gopohlah seorang panitia lokal mendatangi moderator dan berbisik : "Wah Pak, maaf, kalau yang ini memang begitu, sulit berhentinya nanti..". Lantas Bicaralah sang Kakek itu panjang lebar, tidak begitu jelas apa intinya. Den Baguse Ngarso, yang biasanya piawai menggunakan kekuasaannya sebagai moderator, tak mampu menghentikan pidato panjang lebar itu. MC terpaksa turun tangan dengan mempersilahkan Sang Kakek mengakhiri pidatonya, persis ketika beliau mengambil jeda sejenak untuk menarik nafas. "Merdeka !" teriaknya sebagai kalimat penutup, walau mungkin belum puas, karena belum semua isi hati tertumpah ruah. Jadilah beliau pebicara ketiga.

Saya terenyuh dengan semangatnya. Tapi ada juga rasa geli di hati. Sambil membayangkan beberapa kejadian di Forum Seturan, pertemuan rutin kami di Jogja setiap Rabu Malam. Saat itu, ada juga Simbah Kakung yang selalu meminta kesempatan untuk memperkenalkan diri (padahal udah pada kenal) dan selalu ingin bertanya. Dan biasanya panjaaaaaang sekali. hehe. Rasa-rasanya beliau-beliau ini memang mencari forum untuk didengarkan. Sahabat saya, Budi Yuwono, secara berkelakar, menyebutkan bahwa itu adalah fenomena yang akan terjadi pada para trainer atau pembicara di masa depan, ketika tidak ada orang lagi yang mau mendengarkan. Mencari forum untuk bicara, nggak peduli orang mau dengar atau tidak. Hehe. "Hati-hati lu..!", kata Mas Budi. (***Subhan Afifi)

Media ikut Andil Kekisruhan Pemilu

11:40:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seminar "Posisi Media dalam Pemilu 2009", yang berlangsung Sabtu, 2 Mei 2009, jam 08.00-12.00 WIB, di Ruang Seminar FISIP UPN, berlangsung seru. Bukan saja, karena ruang seminar yang penuh, hingga tak ada kursi yang tersisa, tapi juga pemaparan yang menarik dan diskusi yang berlangsung hangat. Pembicara yang hadir : Dr Henri Kusbianto (Staf Ahli Menkominfo), Dr Kuskrido Ambardi (Direktur Riset LSI), Sasongko Tedjo (PWI/Suara Merdeka), Muh.Najib (KPU DIY) dan saya, Subhan Afifi, hehe.




Saya mencoba menyoroti andil media dalam kekisruhan Pemilu kali ini. Idialnya, media massa mampu menjadi watchdog dalam perhelatan politik besar semacam Pemilu dan Pilpres. Nyatanya, media belum sepenuhnya menjalankan fungsi itu. Media misalnya terjebak pada memberi perhatian lebih pada fenomena kontestasi, siapa menang-siapa kalah, atau persoalan-perosalan yang lebih sexy, semisal bakal capres-cawapres, dibanding memberi perhatian lebih pendidikan pemilih dan sosialisasi Pemilu. Dinamika internal partai politik, lengkap dengan intrik dan konflik para elitnya, lebih menarik perhatian media daripada persoalan faktual seputar persiapan Pemilu. seperti : kesiapan penyelenggara Pemilu, peluang pelanggaran, dan urusan Daftar Pemilih Tetap yang dibelakang hari terbukti menjadi masalah besar. Kisruh tentang Daftar Pemilih Tetap, jika dirunut, juga melibatkan kesalahan media yang tidak memberi porsi memadai untuk mengantisipasi. Pemberitaan media tentang Pemilu 2009, juga ditandai dengan masih minimnya pemberitaan tentang rekam jejak calog legislatif dan partai politik yang menjadi kontestan. Pemberitaan faktual tentang track record ini sangat diperlukan publik untuk menentukan pilihannya. Fenomena masyarakat yang jenuh dengan serbuan visual profil para caleg di jalan-jalan yang lebih banyak menyajikan realitas semu atau polesan, seharusnya ditutupi oleh pemberitaan media massa yang komprehensif tentang kandidat. Masyarakat dengan informasi lengkap akan sangat cerdas menentukan pilihannya. Media massa juga belum banyak menyajikan isu publik (persoalan riil) yang dihadapi masyarakat untuk menjadi agenda publik itu sendiri. Kutipan narasumber elit politik yang selalu menampilkan wacana dari sudutnya pandangnya sendiri masih lebih banyak ditampilkan, dibanding persoalan-persoalan yang riil terjadi. Fenomena publikasi hasil survey Pemilu 2009, di media juga menarik untuk dicermati. Menurut ketentuan, seharusnya pemberitaan media tentang jajak pendapat tersebut menyertakan orang atau partai yang mendanai, metodologi, dan kemungkinan kesalahan (margin of error). Hasilnya memperlihatkan, media massa tidak pernah menyebutkan siapa yang mendanai survei itu. Selain itu, pemberitaan tentang survey masih dominan yang tidak menyebutkan tujuan survey, dan tidak menyertakan metodologi. Penyelenggara survey memang selalu disebutkan. Fenomena itu memberikan catatan tersendiri dan berpeluang memunculkan prasangka negatif tentang hasil survey di masyarakat. 


Khusus untuk televisi, saya memberikan apresiasi terhadap TV One dan Metro TV yang berani menyebut dirinya TV Pemilu dan Referensi Pemilu Indonesia. Program inovatif kedua televisi itu memberikan warna tersendiri bagi kemasan komunikasi politik di tanah air. Hanya saja, sesuai watak kapitalisme televisi yang harus berkompetisi demi rating dan ujung-ujungnya iklan, program-program menarik televisi tentang Pemilu harus dikritisi karena berpeluang mereduksi peran televisi sebagai pendidik masyarakat. Pogram-program yang mengemas dan mengelola citra partai dan kandidat lewat televisi yang terlalu menonjolkan aspek hiburan, sering melupakan esensi dari pendidikan politik. Beberapa program misalnya, menampilkan para caleg di televisi seolah peserta kuis yang harus tampil “heboh” dan kehilangan auranya sebagai politisi sejati dan negarawan. Sulit membandingkan presenter dengan narasumber, atau pelawak dengan politisi, karena semua didorong tampil memukau dan menghibur. Tentu saja agar tayangan itu berating tinggi dan meraup iklan sebanyak mungkin. Program-program Pemilu ditelevisi dikemas dengan orientasi yang sangat konsumtif dan vulgar, seringkali bahkan mengesampingkan etika. Substansi pendidikan politik rakyat terkaburkan oleh polesan hiburan yang tidak perlu. Persis dengan gaya iklan-iklan politik yang hampir pasti menampilkan nama, simbol dan senyuman sang tokoh, tanpa substansi yang mencerdaskan.


Setiap seminar tentunya diharapkan memberikan pencerahan kepada para pesertanya. Saya nggak tahu, gimana respon peserta yang memenuhi ruang seminar FISIP UPN itu. Yang jelas, saya-nya yang sangat tercerahkan, karena bisa belajar dari pembicara lain yang top-top itu. Alhamdulillah.(***Subhan Afifi)














Seminar Posisi Media dalam Pemilu 2009

6:22:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Bagaimana evaluasi kualitas pemberitaan pemilu legilslatif di media? Bagaimana kira-kira posisi media dalam Pilpres 2009? Apakah media akan menunjukkan netralitas atau justeru berpihak pada kontestan yang memiliki daya pikat modal dan kekuasaan ?

Konsentrasi Media dan Jurnalisme Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN "Veteran" Yogyakarta akan menggelar Seminar "Posisi Media dalam Pemilu 2009", Sabtu, 2 Mei 2009, jam 08.00-12.00 WIB, di Ruang Seminar FISIP UPN, Jl Babarsari No.2 Yogyakarta. Seminar akan menghadirkan pembicara : Dr Kuskrido Ambardi (Direktur Riset LSI), Subhan Afifi, M.Si (Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UPN), Ketua KPU Yogyakarta, dan Staf Ahli Menteri Kominfo. Pendaftaran peserta dapat menghubungi jurusan Ilmu Komunikasi, telp : (0274) 485268. (***)

Asyiknya Rafting di Kali Progo

9:19:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi



Mengajar, membimbing skripsi, melayani konsultasi mahasiswa, penelitian, bikin program pengabdian masyarakat, ini tugas-tugas yang harus dilakukan dosen. Lumayan menguras energi dan pikiran. Teman-teman yang jadi tenaga administrasi di perguruan tinggi, juga punya tugas yang nggak ringan dan terus menerus, bagai tak berakhir. Sebuah rutinitas yang terkadang menjemukan.


Beruntung, pengurus jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN ”Veteran” Yogyakarta menyadari itu. Di bawah komando Ketua Jurusan, Basuki, M.Si, dan Sekretaris Jurusan, Agung Prabowo, M.Si, jurusan mengadakan acara refreshing buat keluarga besar komunikasi UPN, 24-25 April 2009. Kali ini tujuannya ke Magelang, tepatnya di hotel Puri Asri Magelang. Menginap semalam, makan-makan, ngobrol-ngobrol santai, melupakan rutinas kampus. Esoknya diisi dengan outbond dengan permainan yang lucu-lucu plus flying fox-nya. Selain itu, tentu saja pengalaman yang benar-benar baru buat kami semua : rafting. Menjajal jeram kali progo yang mengasyikkan. Saya jadi ingat masa lalu ketika suka bermain di sungai dengan gedebok pisang. Hehe.

Lumayan asyik dan benar-benar sueegerrr...Apalagi ketika melompat dari perahu karet, byurrr.. membiarkan diri hanyut diseret arus kali progo yang bersahabat. Semua tertawa lepas. Masa kecil bener-bener kurang bahagia. Mau lagi dong...!




Akhir Kontestasi yang Melelahkan itu..

10:46:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Pemberitaan media tentang para caleg stres yang akan memenuhi RSJ di berbagai kota karena gagal meraih impian, tak urung menggusarkan saya. Media terlalu kejam ”menyudutkan” para caleg, dan gegabah melakukan generalisasi.


Seorang Abang saya ikut bertarung melalui partai kecil untuk menjadi anggota legislatif sebuah kabupaten. Awalnya, ia tak pernah tertarik dan buta sama sekali dengan dunia politik. Profesinya murni wiraswasta. Hanya saja, kiprahnya di tengah masyarakatnya sangat nyata. Ia dikenal sebagai warga biasa tapi ditokohkan oleh sekitarnya, kerena ringan membantu dan menjadi rujukan berbagai persoalan. Ketika seorang pengurus partai baru datang ke wilayah itu untuk membuka Dewan Pengurus Cabang, warga sepakat merekomendasikan namanya. Sebagai pebisnis tulen, si Abang melihatnya sebagai tantangan, mungkin juga peluang. Sekaligus wahana untuk memperjuangkan idialisme. Sesuatu yang nyaris menjadi klise. Setelah pikir-pikir dan rembugan, resmilah ia menjadi ketua DPC partai itu. Maka, mulailah pekerjaan yang melelahkan dan menghabiskan uang itu. Bergerilya mencari simpatisan, menggerakkan tim sukses, konsolidasi partai, kampanye, hingga mengawasi pengikut agar tak dicaplok partai dan caleg lain, jelas-jelas melelahkan. Tapi, ia menikmatinya. ”Tak usah khawatir,” katanya suatu saat. Sebagai tokoh di masyarakatnya, tak sulit ia mendapatkan simpatisan. Hitung-hitungan di atas kertas tim suksesnya, Si Abang berkumis tebal ini, akan lolos jadi anggota legislatif di kabupatennya.

Hingga akhirnya, pesta itu benar-benar usai. Saatnya ”tamu pulang” dan ”cuci piring”. Di 3 TPS sekitar tempat tinggalnya, Ia menang telak. Tapi di TPS-TPS lain di daerah pemilihan yang telah digarap sekitar 6 bulan, dan telah berkomitmen mendukung dirinya, contrengan untuknya tak terlihat. Hanya beberapa. Suara dari orang-orang yang menurutnya sangat dekat juga raib entah kemana. ”Pendukung kami dilibas politik uang,” katanya ringan. Ketokohannya di Dapil itu memang menjadi perhatian dan target untuk ”dibereskan” oleh para pesaingnya. Ia yang hanya mengandalkan kedekatannya dengan masyarakat, dan tak ingin ber-money politic, walaupun mengaku habis ratusan juta rupiah untuk berbagai kegiatan kampanye dan konsolidasi, tak ayal harus merasakan pahitnya hasil kontestasi yang tak adil. Caleg yang tidak berkeringat, tak punya modal sosial di masyarakat, tapi punya uang, dan gencar melancarkan serangan fajar, siang, sore atau malam, akhirnya muncul jadi pemenang.

Ketika saya mengunjunginya beberapa minggu setelah Pemilu, Ia terlihat enteng-enteng saja. Hanya matanya yang merah dan berair. Tentu tak ada kaitannya dengan hasil Pemilu. Ini murni sakit mata alias ”belekan”. Yang pasti, tak ada yang harus di bawa ke RSJ. (***Subhan Afifi)