Berhaji dengan “Enteng”

10:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Jika sedang di Jogja, saya selalu menyempatkan diri menghadiri pertemuan di rumah Prof Dr Indarto, mantan Dekan Fakultas Teknik UGM, setiap Rabu malam. Kami menyebut pertemuan itu dengan “Forum Seturan”. Awalnya memang karena pertemuannya diselenggarakan di rumah Pak Indarto ketika masih di Seturan. Hingga tuan rumah pindah ke Wedomartani pun, forumnya tetap disebut Forum Seturan, yang belakangan diplesetkan menjadi Forum Studi Relawan Pendidikan. Forum itu menjadi semacam think thank pengembangan pendidikan Islam. Hasil obrolan sana-sini biasanya menjadi bahan pengembangan SDIT Hidayatullah Yogyakarta dan beberapa sekolah Islam lainnya di Yogyakarta.


Pertemuan Forum Seturan yang dimulai dengan shalat Magrib berjamaah itu biasanya diisi terlebih dahulu dengan pengajian bersama Ustadz Bagus Priyo Sembodo. Ustadz Sembodo biasanya membahas secara runtut hingga tuntas sebuah kitab. Kami pernah diajak mengkhatamkan kitab hadist “Arbain”, dan kini kitab tafsir Al-Qur’an, Karimirrahman yang disusun Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, menjadi menu rutin pengajian.

Rabu malam tiga minggu lalu, seperti biasa Ustadz Sembodo secara menarik dan menyentuh hati, membahas Tafsir Surat Adh-Dhuha. Usai membahas ayat terakhir “Wa amma bini’mati Rabbika fa haddist, Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”, Ustadz Sembodo, tiba-tiba menyentak perhatian hadirin. “Saya ingin menyebut-nyebut nikmat besar Allah yang diberikan kepada saya, InsyaAllah besok pagi saya berangkat haji,”. Spontan saja yang hadir mengucapkan Alhamdulillah, dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Betapa tidak, sang Ustadz, sama sekali tak pernah ada kabar akan berhaji. Tahu-tahu pamit mau berangkat besuk pagi. Tak ada ramai-ramai, syukuran, pamitan dan sejenisnya. Bahkan banyak diantara kami yang sering jumpa dan bergaul dengan beliau tak tahu sama sekali rencana itu.

“Bikin rumah, beli mobil, atau apapun, itu tidak wajib,” kata sang Ustadz suatu saat. “Tapi..haji itu wajib.” Haji lah yang seharusnya didahulukan dari beragam keinginan dan kebutuhan di dunia. “Nanti lah suatu saat akan saya ceritakan bagaimana saya bisa berhaji,” katanya malam itu. Mungkin membaca rasa ingin tahu para muridnya, “koq Ustadz bisa naik haji sih”, kalau melihat kehidupan beliau dengan 1 isteri dan 6 anaknya (yang juga diakuinya sendiri) sangat sederhana.

Saya membayangkan betapa “enteng”nya haji ketika penyikapannya a la Ustadz Sembodo. Enteng karena tak perlu syarat macam-macam yang super berat ketika orang ingin berhaji,dan sering kita temui. Berat karena masih menunggu hidup berkecukupan dengan rumah megah dan mobil mewah, baru naik haji. Atau menunggu anak-anak yang jadi tanggungan besar dan sukses. Atau malah menunggu “kesiapan, panggilan dan hidayah”, karena merasa masih bergelimang dosa. Atau menjadi berat karena prosesi haji diikuti dengan beragam “ritual” yang biayanya bisa lebih mahal dari ongkos naik haji.

Ketika berangkat, kesan “berat” juga sulit dihilangkan. “Berat” arti fisik benar-benar terlihat dari barang bawaan para jamaah haji. Banyak para jamaah yang merasa tak nyaman jika tak membawa beragam bawaan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan dilarang. Para petugas ketika pemberangkatan harus bersusah payah menggeledah tas besar jamaah. Para jamaah masih sulit diajak untuk membawa barang bawaan sekedarnya. Bawaan barang yang berlebihan hanya akan menyulitkan. Ketika pulang, bawaan itu dipastikan akan “beranak-pinak” karena bawaan dari Arab Saudi lebih banyak lagi. Di bandara King Abdul Aziz Jeddah, ketika pemulangan barang bawaan yang tidak boleh dibawa karena melebihi kapasitas yang diizinkan menggunung dan menjadi mubazir. Di tanah suci, aktivitas berbelanja oleh jamaah haji merupakan pemandangan sehari-hari, dan jamaah Indonesia dikenal royal plus gemar berbelanja. Berbelanja oleh-oleh untuk sanak keluarga tentu tidak dilarang, tetapi ketika aktivitas itu memberatkan diri sendiri dan orang lain, menjadi layak dipertanyakan.

Secara non fisik kondisi “berat” jamaah juga terlihat dari kondisi kesehatan. Banyak jamaah yang dalam kondisi sakit, sudah sangat sepuh, bahkan stress berhaji, sehingga “memberatkan” dirinya, dan orang lain. Kondisi ini merupakan efek dari merasa “berat” untuk berhaji di usia muda dengan beragam alasan. Dari aspek ibadah manasik haji yang dijalankan sebagian jamaah tergolong berat. Banyaknya do’a yang harus dibaca menjadi beban tersendiri bagi jamaah. Padahal do’a-do’a yang dituntunkan tidak lah sebanyak dan seberat itu. Ketika pulang pun “berat”nya haji tergambar pada harapan masyarakat maupun diri sendiri dengan status Pak Haji dan Bu Haji. Status yang seringkali menjadi ujian keikhlasan. Di beberapa daerah status ini malah memiliki posisi tawar tersendiri secara sosial, ekonomi, bahkan politik.

Sudah saatnya berhaji disikapi dengan “enteng”. Tentu bukan menggampangkan. Kalau haji itu mudah, kenapa dibikin susah. Niat kuat, mengumpulkan bekal secukupnya, berangkat dengan ringan, dan akhirnya pulang, InsyaAllah, menjadi haji yang “entengan”. Enteng beribadah, enteng berbuat untuk sesama. Bukan sebaliknya. (***Subhan Afifi)

Azzam Berhaji

10:06:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Tahun 2005, tiga tahun lalu, saya sangat ingin berhaji. Terutama setelah 2 orang kakak perempuan saya pergi ke tanah suci. Entah mengapa saya sangat ingin. Keinginan itu terus mengkristal menjadi tekad yang kuat. Dalam bahasa Arab, tekad yang kuat ini disebut Azzam. “Fa idza Azzam fatawakkal ‘Alallah..Jika kamu telah memiliki tekad yang kuat, maka bertawakallah kepada Allah” begitu Firman Allah. Saya sangat terinspirasi

dengan ayat itu. Sampai-sampai anak pertama saya beri nama Azzam.

Begitulah, Azzam untuk berhaji itu saya pelihara terus. Saya menjadi gemar ngobrol tentang haji, membaca buku atau mencari informasi apapun tentang haji. Entah mengapa ada kedamaian dalam semua kegiatan itu. Bahkan, saat jogging atau jalan pagi, saya membayangkan sedang sa’i atau tawaf. Tak terasa sambil jogging pun lantunan talbiyah terucap “labbaik Allhomma labbaik... Aku Datang (InsyaAllah) memenuhi panggilanMu Ya Allah...

Tekad yang kuat harus diiringi usaha yang keras, plus do’a, baru setelah itu boleh bertawakkal. Rumus standar yang nyaris klise dan sering dilupakan. “Ya Allah saya sangat ingin bersimpuh di Rumah..Mu”. Sebagai wujud usaha, segera saya buka tabungan Mabrur,Haji dan Umrah di Bank Syariah Mandiri, 19 September 2005. Setoran awalnya Rp. 500.000. Sambil terus membisikkan do’a dalam hati.. “Ya Allah saya nggak punya apa-apa, saya hanya punya Engkau yang berkuasa atas segalanya. Izinkan lah ya Allah..” begitu seterusnya. Tak terasa tabungan itu terus bertambah. Tak banyak memang,hanya bertambah Rp 100.000 atau Rp. 200.000. Tidak juga rutin setiap bulan. Tapi saya merasa ada getaran ketika saya menyetorkan uang ke kasir bank dengan jumlah yang tak seberapa itu. Begitu seterusnya. Selama 2 tahun lebih saya memelihara “tekad yang kuat” itu dan “berusaha” keras walau seadanya.

Percaya tidak percaya, tahun 2007 lalu saya diizinkan Allah memenuhi panggilanNya. Ya..saya berhaji. Bukan karena tabungan saya mencapai jumlah ONH dalam 2 tahun. Saldo tabungan saya (hingga kini bahkan) berjumlah Rp. 1.645.827,50. Ini bukan cerita sinetron religi televisi swasta kita. Allah berkehendak dengan kekuasaanNya. Saya bisa naik gaji gratis, digaji lagi. Hehe.

Sekitar Agustus 2007, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia dan KBRI Kuala Lumpur mengumumkan kesempatan untuk menjadi Tenaga Musim Haji (Temus) yang akan membantu pelaksanaan haji untuk jamaah Indonesia. Setiap tahun Panitia Pelaksana Haji di Arab Saudi merekrut para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Luar Negeri untuk menjadi Petugas Haji Indonesia. Mahasiswa Indonesia di Malaysia juga dapat jatah, selain di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan negara Asia lainnya. Singkat cerita, saya lolos dalam seleksi Temus PPI Malaysia. Dari sekitar 59 pendaftar, saya terpilih bersama 8 orang rekan. Sebuah keajaiban : Saya yang berlatar belakang ilmu umum, bisa lolos. Rekan-rekan lain yang terpilih, bahkan sebagian besar para pendaftar, adalah mahasiswa S2 dan S3 jurusan Agama Islam (sebagian besar malah S1-nya diselesaikan Timur Tengah, seperti Universitas Al-Azhar Mesir, Universitas Islam Madinah,dan lainnya). Tentu mereka sangat berkompeten untuk menjadi petugas haji. Bahkan ada yang sudah bolak-balik naik haji. Saya ? Subhanallah, belajar manasik haji saja baru kemarin sore. Tapi Allah berkehendak lain.

Ini benar-benar anugrah terindah buat Saya. Hingga saya berangkat dari kost-kostan di Kuala Lumpur menuju bandara KLIA, rasanya saya masih nggak percaya kalau saya akan naik haji. Berbekal tas ransel butut yang saya biasa bawa ke kampus Universiti Malaya, dan koper kecil, saya berangkat. Seorang kawan yang mengantar berkomentar, “koq naik haji seperti mau ke perpustakaan sih.” Benar-benar begitu enteng dan mudah. Alhamdulillah.

Begitulah, penerbangan KL-Dubai-Jeddah, dilanjutkan perjalanan darat Jeddah-Mekah, saat itu, menjadi perjalanan yang paling membahagiakan sepanjang hidup. Hingga akhirnya, saya benar-benar diizinkan bersimpuh di depan Ka’bah, kiblat muslim sedunia itu. Terimakasih Ya Allah. Saya jadi tambah yakin dengan : fa idza azzamta fa tawakkal alallah. Tiada yang tak mungkin, dengan izin Allah. Maka, berniat kuatlah untuk berhaji, atau untuk cita-cita besar apa saja. Apapun kondisinya. Allah akan menunjukkan jalan yang sangat mudah dan indah. Sungguh...! (***Subhan Afifi).


Do'a Untuk 2 Bunda di Multazam

10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Langit Mekkah cerah dalam malam Jum’at yang InsyaAllah barokah. Baru saja thawaf yang membangkitkan jiwa itu usai saya tunaikan. Shalat sunnah 2 rakat dekat maqom Ibrahim dan beberapa teguk air zam-zam menjadi penyegar raga tiada tara. Saya mencoba merengsek maju ke arah Multazam. Secuil tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah itu, tak pernah sepi dari lautan hamba yang ingin do’anya diijabahi. Alhamdulillah, setelah bersabar beberapa saat, saya benar-benar berada di salah satu tempat berdoa yang mustajab itu. Saya yang biasanya susah menangis merasakan mata sering bergerimis selama berada di dua tanah suci. Apalagi ini, saat berada di tempat yang sebelumnya hanya terdengar namanya, kini begitu dekat, tak berjarak. Saya tak pernah mencoba merancang permintaan apa yang ingin saya panjatkan. Hanya saja, malam itu, yang teringat adalah orang-orang yang saya cintai, terutama ayah yang telah almarhum dan 2 orang bunda : Bunda saya sendiri yang telah berusia senja, dan bunda anak-anak saya yang telah berbuat begitu banyak. Saya berharap ayah saya diberi pengampunan atas dosa-dosanya, diterima segala amalnya, hingga dimasukkan ke JannahNya.

Khusus untuk Bunda saya, Ya Allah, saya merasa belum berbuat apa-apa untuknya sebagai tanda bakti. Hingga saat ini, saya tak tahu, bahkan mungkin tak punya, apa “amalan andalan” saya terkait dengan pelayanan saya kepada beliau. Saya merasa belum cukup mampu untuk mencukupi semua kebutuhannya. Saya masih sangat egois dengan diri dan keluarga kecil saya. Ah..hingga sebesar ini, saya tetap saja merepotkan beliau, alih-alih sekedar menawarkan solusi dari segala kesusahannya. Saya teramat khawatir, bagaimana jika Bunda saya dipanggil olehNya, sedang saya dalam posisi belum benar-benar jadi anak berbakti. Malam itu, dengan segala kerendahan hati saya minta ampun atas semua itu. Saya berbisik agar Allah memberikan kesehatan, kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan Bunda saya. Kalaupun Allah berkenan memanggilnya suatu saat, maka saya memohon agar beliau diringankan dalam Sakratul Mautnya. Diberi akhir yang baik. Bukankah tak ada keindahan dalam akhir kehidupan selain Khusnul Khatimah?

Untuk Bunda anak-anak saya, saya membisikkan harap agar ia diberi kekuatan dan jalan yang terang. Sungguh, peran yang ia sandang jauh lebih berat. Menjadi madrasah bagi permata hati kami, mendapingi jejak hidup saya, sekaligus berbuat yang terbaik untuk ummat melalui keahlian profesionalnya. Maka terbayanglah segala kenaifan saya menghadapi anugerah terindah itu. Sebagai suami, saya sering berperilaku bak presiden negeri super power tanpa cela yang harus diikuti segala maunya. Atas nama cinta dan ketaatan, saya menempatkan diri pada posisi yang selalu harus dilayani, tanpa menyisakan ruang untuk melayani. Astaghfirullah !

Begitulah, dua bunda ini, menyita perhatian saya di Multazam. Sejatinya, membayangkan 2 bunda adalah membayangkan peran ke-ayah-an. Kesuksesan peran ayah, diantaranya, ditentukan oleh mereka berdua. Kelak, bagaimana anak-anak memperlakukan ayahnya ditentukan oleh model perlakuan sang ayah yang diberikan kepada 2 bunda itu (termasuk ayah kandung & ayah-bunda mertua, tentunya). Inilah hukum alam yang sangat rasional. Siapa memberi, dia akan mendapat lebih banyak. Siapa yang melayani dengan ikhlas, ia akan dilayani sepenuh hati. Saat ini, para anak sedang mengintip dengan mata hatinya, bagaimana sang ayah melayani nenek (dan tentu juga kakek) mereka. Apakah ia cukup sabar, atau sering mengeluh, atau bahkan menghadapi mereka sebagai beban? Naudzubillah ! Apakah ”teori” tentang birrul walidain yang sering mereka dengar dari sang ayah, benar-benar ada contohnya? Kalau tidak, jangan kaget, mereka akan setengah berteriak di balik pintu : ”Huuuu ! Preettt !”

Terhadap bunda tercinta mereka, anak-anak sedang meneropong dengan tatapan sucinya, bagaimana sang ayah berbuat dalam keseharian. Apakah bunda mereka yang hebat, diperlakukan seperti ratu atau malah tak ubahnya pembantu? (Bukankah laki-laki terbaik adalah laki-laki yang paling baik memperlakukan isterinya ?). Apakah sang ayah cukup tanggap dengan segala kerepotan bunda mereka, atau tetap memposisikan diri sebagai mandor yang bisanya hanya tunjuk sana, suruh sini? Apakah sang ayah selalu berkata manis penuh penghargaan dan terimakasih atas segala kebaikan yang diberikan bunda mereka? Bukankah bunda mereka terkasih telah menumpahkan segala bentuk kebaikan di rumah, sejak matahari belum terbit, hingga mata sang ayah terbenam ?

****

Malam itu, di Multazam, saya benar-benar bersimpuh, terutama untuk 2 bunda. Terisak karena banyak kekeliruan dan pasang niat untuk lebih baik. Tak tahu mengapa, malamnya saya tertidur begitu tenang. Saya tak sempat lagi mengingat-mengingat apa yang saya panjatkan di Multazam. Pagi harinya, dalam perjalanan menuju bandara King Abdul Aziz Jeddah, saya mendapat sms dari tanah air. Mengabarkan Bunda saya tiba-tiba berada dalam kondisi kritis, padahal sebelumnya sehat wal afiat. Di pagi hari Jum’at itu, Bunda saya baru saja pulang takziyah ke rumah seorang tetangga muslim. Tak banyak yang diucapkan dan dikeluhkannya, ketika beliau masuk kamar, membersihkan diri, dan berbaring menghadapi sakratul maut-nya dengan begitu tenang. Beberapa saat sebelum shalat Jum’at ditunaikan, menurut penuturan orang-orang disekelilingya, Bunda saya menghadap Sang Khalik dengan wajah tersenyum. Innalillahi wa inna ilahi rojiun.
Kekhawatiran saya terjadi juga. Saya akhirnya belum sempat mempersembahkan bakti terbaik untuk bunda saya. Saya bersedih bukan karena kematiannya, karena kematian adalah kepastian. Tak ada yang bisa mengelak darinya. Saya bersedih karena saya belum optimal dalam melayani, persis ketika ayahanda saya wafat 10 tahun lalu, ketika saya, dengan berbagai alasan, belum juga betul-betul menunjukkan tanda-tanda sebagai anak yang berbakti.

Kini, masih ada Bunda anak-anak saya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan yang akan berlalu dengan cepat ini. Masih dari tanah suci, saya sempatkan mengirim sms untuknya, semacam pengakuan atas kesalahan dan peneguhan komitmen : ”Sayang, Mas cinta adik karena Allah. Sungguh, cinta yang terus tumbuh dan bersemi, hingga di surga nanti. InsyaAllah!” (**Subhan Afifi)

Haji dan Napak Tilas Sejarah

10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Bagi yang akan segera berhaji, saya menyarankan anda untuk mempelajari secara detail sejarah kenabian (sirah nabawiyah), selain tentu saja tata cara (manasik) haji. Kenapa sejarah ? Karena sejarah di masa lalu mengajarkan kita untuk arif menyikapi kehidupan masa kini dan masa datang. Lebih-lebih untuk masa depan yang sesungguhnya : Kehidupan sesudah mati. Perjalanan di 2 tanah suci, Mekkah dan Madinah, serta kota lain seperti Jeddah, akan terasa lebih bermakna ketika bayangan apa yang terjadi di zaman Rasululloh seolah hadir di depan kita. Mempelajari sejarah dan mendapati jejaknya di depan mata, membuat kita seperti ikut terlibat di dalamnya. Seakan menjadi aktornya.

Saya menyesal, saat berkesempatan haji, bacaan sejarah saya masih sangat lemah. Saya hanya tahu beberapa peristiwa umum di zaman Rasul. Rasul menerima wahyu pertama di gua Hira’, atau Rasul bersembunyi di gua Tsur bersama sahabatnya, Abu Bakar, ketika dikejar-kejar orang-orang kafir Quraisy saat berhijrah ke Madinah. Juga tentang beberapa peperangan di Kota Madinah, seperti perang Uhud yang fenomenal itu. Sayangnya pengetahuan itu sangat minim.

Sebagai petugas haji, saya dan kawan-kawan saat itu, datang ke Mekkah beberapa Minggu sebelum jamaah haji berdatangan. Pulangnya pun terakhir, ketika para jamaah telah kembali ke tanah air semua. Saya sempat merasakan bagaimana lengangnya Masjidil Haram, sebelum dan sesudah masa haji. Kesempatan langka yang mungkin tak akan terulang.

Ketika awal datang ke Mekkah, setelah umrah ditunaikan, dan waktu untuk bertugas belum datang, saya berkesempatan menyusuri beberapa penggal sejarah Rasululloh. Saat itu, saya dan kawan-kawan mahasiswa di Malaysia, ingin sekali menapaktilasi sejarah turunnya wahyu pertama di Gua Hira’. Tapi rupanya kami nyasar ke gunung Tsur. Supir Arab angkot omprengan itu tanpa bicara apa-apa membawa kami ke Gunung Tsur, padahal kami mintanya ke Jabal Nur, tempat Gua Hira’. Ya sudahlah. Dengan semangat menyala kami mendaki Gunung itu saat siang panas menyengat. Mungkin karena baru nyampe di Mekkah, dan energi masih berlebih, saya dan kawan-kawan tak menghiraukan medan yang berat. Sambil tentu saja membayangkan bagaimana Rasululloh dan Abu Bakar mendaki gunung itu, menghindari kejaran para musuhnya. Atau bagaimana Asma’ binti Abu Bakar yang bolak-balik mengantar makanan kepada mereka berdua saat bersembunyi di gua itu. Jangan membayangkan gunung di Arab seperti gunung Merapi atau Merabu yang sejuk dan hijau. Gunung Tsur terjal, berbatu, dan tanpa sebatang pohon hijau pun. Masih dilengkapi dengan panas menyengat. Di puncak gunung itulah, kami menemukan sebuah gua kecil yang tak terurus. Tempat Rasululloh dan Abu Bakar bersembunyi sedangkan di mulut gua para pengejarnya sudah tak berjarak. Maka muncullah perkataan Rasul yang diabadikan dalam Al-Qur’an : La Tahzan, Innalaha Ma’ana, Jangan khawatir, Sesungguhnya, Allah bersama kita. Menenangkan Abu Bakar, yang secara manusiawi, merasa resah dan takut.

Pemerintah Arab Saudi memang tidak memprogramkan pemeliharaan tempat-tempat bersejarah. Kalau di Indonesia mungkin sudah dibangun tugu peringatan atau malah jadi tempat wisata. Di jalan menuju gunung Tsur bahkan ditulis besar-besar anjuran untuk tidak mendatangi tempat itu, karena bukan termasuk perkara yang disyariatkan. Takut para jamaah haji datang berbondong-bondong, dan menyalahgunakannya untuk hal-hal yang berbau syirik. Seperti yang banyak terjadi di Jabal Rahmah, gunung di padang Arafah yang diyakini tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah diturunkan dari Syurga. Di situ banyak ditemukan para jamaah yang melakukan beragam perkara yang dilarang seperti menulis nama dan menempel foto agar diberi enteng jodoh, atau meminta berkah.

Tentu tak ada maksud lain, ketika kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah di zaman Rasululloh. Selain mencoba menghadirkan jejak masa lalu untuk menambah semangat dalam kehidupan sepulang haji. Ketika menyusuri jalan panjang Mekah-Jeddah-Madinah, juga kami merasakan betapa berat perjalanan hijrah Rasululloh dan para sahabatnya. Ketika mengunjungi masjid Nabawi, makam Rasululloh, Abu Bakar dan Umar, serta kompleks pemakaman para sahabat lain di Baqi’, seakan kita di bawa ke masa silam yang penuh hikmah. Atau ketika mengunjungi bukit Uhud, masjid Kiblatain, masjid Kuba, dan banyak lagi. Jika saja, sirah nabawiyah kita kuasai dengan detail, ruh perjuangan mereka akan terasa hadir lebih dekat. Perjalanan napak tilas sejarah itu, akan membangkitkan jiwa, untuk bersungguh-sungguh dalam hidup. Seperti yang pernah mereka, Rasululloh dan para sahabatnya, orang-orang yang Agung, contohkan. Agar hidup tak berlalu begitu saja ! (***Subhan Afifi)

Menjadi Ayah yang Dicintai

12:10:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang sahabat berkisah tentang pengalamannya di padang Arafah. Saat prosesi puncak haji yang menggetarkan jiwa itu, hampir seluruh jamaah haji sedunia menitikkan air mata. Larut dalam do’a dan istighfar. Terbayang akan dosa dan kepongahan. “Saya menangis, karena ingat anak saya…” tuturnya menyebut “jenis” dosanya yang paling diingat saat itu. Sahabat itu pernah sangat marah pada anaknya. “Nangis nggak diam-diam, saya seret dia ke kamar, saya kunci dari luar,” lanjutnya. Tentu saja tangis sang anak tambah melengking. Sampai akhirnya benar-benar diam karena kecapekan dan dicuekin ayahnya. “Saya sungguh menyesal,” katanya mengenang.

Para ayah yang lain, termasuk saya, tentu punya sederet daftar dosa dan kesalahan pada anak. Biasanya daftar itu akan terbayang-bayang di pelupuk mata ketika sang anak sedang jauh di mata. Penyesalan sudah tentu datang terlambat. Marah, membentak, atau merasa “pasti benar” sering menjadi “kebiasaan” para ayah. Sebagian yang lain, bahkan mungkin tega-teganya “bermain tangan” alias menghukum dengan kekerasan, dengan berbagai dalih.

Kesibukan di luar rumah dan kepenatan di dunia yang keras dan penuh persaingan, menjadikan para ayah gampang “tersulut”. “Ayah bisanya cuma marah-marah dan terima beres,” begitu mungkin citra yang dilekatkan anak pada ayahnya yang suka marah-marah dan tak peduli. Padahal, ayah adalah model kehidupan. Sikapnya di rumah, perhatiannya terhadap keluarga dan orang lain akan disimpan dengan rapi di ingatan anak. Rekaman itu akan segera dihadirkan sebagai kebiasaan dan juga perilaku di kemudian hari. Dari ayah anak belajar beragam keterampilan hidup. Cara berlogika, bersaing, bekerjasama, menghitung resiko, mencari solusi, atau bahkan mengungkapkan kemarahan, “dicatat” baik-baik oleh anak dari sang guru kehidupannya itu.

Dibanding ibu, apa yang diberikan dan dilakukan ayah untuk anak tidaklah seberapa. Wajar jika Rasululloh SAW menyebut ibu beberapa kali, baru kemudian ayah, ketika ditanya seorang sahabat tentang kepada siapa dia harus berbakti. Pengalaman keseharian menunjukkan betapa anak lebih ingat (dan tentu lebih cinta) pada ibunya, karena apa yang diberikan ibu jauh lebih banyak. Coba saja, ketika anak sakit atau bangun tidur, siapa yang dipanggilnya pertama : ”Ibu......!”. Bukan ayah. Bagi sebagian anak, ayah malah sering menjadi momok yang “menakutkan”. “Awas lho.. jangan nakal, nanti dimarahi ayah, “Belajar sana, nanti gak dikasih uang jajan lho sama ayah..!, ”Cepet sembunyi, ayah datang..!”, ungkapan-ungkapan spontan itu mungkin pernah kita dengar dalam percakapan diantara anak.


Kasih sayang dan cinta ibu memang tak mungkin tersaingi. Tapi, dengan segala “keterbatasan"nya, sosok ayah masih sangat berpotensi meraih cinta yang tulus dari anak. Lagipula ayah mana sih yang tidak cinta sama anaknya. Ayah hanya perlu memoles sedikit cara berkomunikasinya pada anak. Ketegasan tak harus diekspresikan dengan kemarahan. Sosok ayah yang berwibawa tak perlu dicitrakan dengan cara “menjaga jarak”. Jaim alias “jaga image” kata anak sekarang. Justeru yang diperlukan adalah sosok sahabat. Sangat diperlukan bahkan, ayah menunjukkan perasaannya pada anak. Anak perlu tahu bahwa mereka dibutuhkan dan dicintai ayahnya. Pelukan dan ciuman ayah, adalah bahasa non verbal yang tak ternilai.
Disiplin tak harus diajarkan dengan kekerasan dan hukuman. Bahasa cinta dan keteladan jauh lebih efektif digunakan. Gaya komunikasi dengan memberikan instruksi satu arah sudah selayaknya ditinggalkan. Komunikasi yang lebih dialogis dan empatis lebih layak dikedepankan. Kesediaan ayah untuk sekedar bermain, ngobrol, mendengar celoteh, atau menanggapi ide “aneh” anak, akan lebih bermakna, dari sekedar suruh ini, suruh itu. Waktu yang disediakan ayah adalah bukti cinta.


Kebiasaan “minta didengarkan” harus diimbangi dengan keterampilan mendengar. Bukankah hal itu yang lebih diperlukan, ketika anak sedang penasaran, bersedih, atau bingung? Keinginan untuk selalu memberikan solusi pada setiap masalah yang dihadapi anak, bisa diwujudkan dalam bentuk memberi kesempatan mereka mencari jalan keluar sendiri. Nasehat dengan nada memaksa sudah selayaknya dikemas dengan bahasa yang mampu memberi inspirasi dan motivasi.
Saya sedang berusaha menjalankan itu semua. Tak mudah memang. Yang jelas, ketika anak saya, Azzam, diberi home learning oleh sekolahnya, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, untuk menuliskan siapa sosok yang ia sayangi dan mengapa. Saya menempati urutan kedua. Rangking 1 tetap Ummi-nya. Lumayanlah.. ! Saya hanya masih menunggu, suatu saat nanti anak-anak saya, Azzam, Zulfa dan Nuha, akan berbisik malu-malu : “Abi… I Love You !” (***Subhan Afifi)