Menuju Universitas Ramah Difabel

3:11:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang mahasiswa tuna netra tampak penuh percaya diri memasuki perpustakaan megah University of Malaya, Kuala Lumpur. Tampaknya ia sangat familiar dengan seluk beluk bangunan itu, masuk dengan tenang, memasuki lift, menuju lantai 3, hingga bekerja dengan bantuan komputer khusus di sebuah laboratourim yang memang spesial untuk “Orang Kurang Upaya/OKU”, begitu kaum difabel (penyandang cacat) disebut di sana.


Rupanya si mahasiswa tadi tidak sendiri. Saya cukup surprise melihat cukup banyak kaum difabel yang hilir mudik di kampus itu. Ada yang tuna netra, menggunakan kursi roda, hingga menggunakan kruk dan penyangga leher. Mereka tampak bersemangat dan seperti tak berbeda dengan mahasiswa lain. Ketika saya menawarkan bantuan untuk membukakan pintu bagi seorang mahasiswi berkursi roda, ia menolak dengan halus karena mampu mengerjakan sendiri. Mereka seolah tak ingin dikasihani dan terlihat sangat mandiri. Di sisi lain, semangat untuk membantu mahasiswa difabel juga terlihat jelas. Tawaran untuk menjadi relawan pada program “Pinjamkan Mata Anda” selalu disambut antusias. Program ini memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menjadi “kawan belajar” berupa membacakan buku, berdiskusi dan lain-lain, bagi para mahasiswa tunanetra.

Fenomena di atas ternyata dapat ditemui di hampir semua universitas di Malaysia. Artinya, perguruan tinggi di Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik terhadap kaum difabel. Fasilitas universitas dirancang ramah untuk mereka. Mulai dari tersedianya ramp, jalan khusus khusus berpemukaan rata yang diperuntukkan bagi pengguna kursi roda, toilet khusus penyandang cacat dengan pegangan di kanan-kiri yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk berpindah, laboratourium komputer khusus, lift, hingga tempat parkir khusus bagi mereka. Symbol of access (gambar kursi roda, penanda fasilitas bagi kaum difabel) mudah ditemui di lingkungan kampus. Ketergantungan terhadap bantuan orang lain dapat direduksi karena kampus menyediakan aksesibilitas memadai bagi penyandang cacat.

Fasilitas publik di luar kampus, seperti bus kota, LRT (Light Rail Train), monorail, dan sebagainya juga sudah ramah difabel. Selalu tersedia fasilitas khusus yang mudah diakses bagi “Golongan Kurang Upaya” itu. Setelah para mahasiswa difabel itu lulus dari perguruan tinggi pun, dunia kerja relatif ramah terhadap mereka. Tersedia lowongan kerja untuk penyandang cacat baik sebagai pegawai negeri, maupun karyawan swasta, sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemerintah Malaysia memang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang diperkirakan berjumlah 2 juta orang saat ini.


Bagaimana dengan Universitas Kita ?
Tidak adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, merupakan ciri negara modern. Malaysia yang “baru-baru” saja membangun dunia pendidikannya, ternyata sudah lebih maju dalam memperlakukan kaum difabel. Membandingkan kondisi kaum difabel dengan di negara maju lainnya tentu kita akan lebih ketinggalan lagi.

Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Fasilitas publik yang tidak ramah terhadap mereka, dunia kerja yang hampir tertutup rapat, hingga dunia pendidikan yang belum sepenuhnya terbuka. Tak jarang sebagian kaum difabel dari kalangan bawah terpaksa “menjual” keterbatasan untuk sekedar mengharap belas kasihan di jalan-jalan.

Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi. Ada ketentuan tentang fasilitas umum harus dilengkapi sarana untuk difabel, dunia usaha berkewajiban mengalokasikan 1 % jumlah pekerjanya bagi mereka, dan sebagainya. Di tingkat daerah juga ada peraturan yang khusus, seperti di Jakarta dengan SK Gubernur No 66 tahun 1981 dan Jawa Barat yang memiliki Perda penyandang cacat.

Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.

Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.

Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.

Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.

Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.

Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)

1 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Untuk informasi, UIn Sunan kalijaga Yogyakarta sampai saat ini pun berusaha menjadi kampus inklusif dengan menerima difabel menjadi mahasiswa di UIN. sampai tahun 2010 ini ada 24 mahasiswa difabel netra (tunanetra). Kampus UIN juga menyediakan pusta studi dan layanan difabel yang bertugas mensosialisakan layanan inklusif bagi mahasiswa difabel oleh seluruh unit yang ada di kampus