Menuju Universitas Ramah Difabel
3:11:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Rupanya si mahasiswa tadi tidak sendiri. Saya cukup surprise melihat cukup banyak kaum difabel yang hilir mudik di kampus itu.
Fenomena di atas ternyata dapat ditemui di hampir semua universitas di
Fasilitas publik di luar kampus, seperti bus
Bagaimana dengan Universitas Kita ?
Tidak adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, merupakan ciri negara modern. Malaysia yang “baru-baru” saja membangun dunia pendidikannya, ternyata sudah lebih maju dalam memperlakukan kaum difabel. Membandingkan kondisi kaum difabel dengan di negara maju lainnya tentu kita akan lebih ketinggalan lagi.
Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakatIndonesia . Fasilitas publik yang tidak ramah terhadap mereka, dunia kerja yang hampir tertutup rapat, hingga dunia pendidikan yang belum sepenuhnya terbuka. Tak jarang sebagian kaum difabel dari kalangan bawah terpaksa “menjual” keterbatasan untuk sekedar mengharap belas kasihan di jalan-jalan.
Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi.Ada ketentuan tentang fasilitas umum harus dilengkapi sarana untuk difabel, dunia usaha berkewajiban mengalokasikan 1 % jumlah pekerjanya bagi mereka, dan sebagainya. Di tingkat daerah juga ada peraturan yang khusus, seperti di Jakarta dengan SK Gubernur No 66 tahun 1981 dan Jawa Barat yang memiliki Perda penyandang cacat.
Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.
Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.
Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.
Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.
Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.
Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)
Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakat
Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi.
Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.
Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.
Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.
Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.
Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.
Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)
Selasa, Juli 06, 2010 6:14:00 AM
Untuk informasi, UIn Sunan kalijaga Yogyakarta sampai saat ini pun berusaha menjadi kampus inklusif dengan menerima difabel menjadi mahasiswa di UIN. sampai tahun 2010 ini ada 24 mahasiswa difabel netra (tunanetra). Kampus UIN juga menyediakan pusta studi dan layanan difabel yang bertugas mensosialisakan layanan inklusif bagi mahasiswa difabel oleh seluruh unit yang ada di kampus