Mediamorfosis Gaya Malaysia

1:30:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Hawa politik Malaysia masih gerah, walau Pemilu telah cukup lama berselang. Keberhasilan partai oposisi (Partai Keadilan Rakyat-PKR, Partai Islam Se-Malaysia-PAS, dan Partai Aksi Demokratik-DAP) “mencuri” 82 kursi parlemen dari tangan koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN), secara perlahan menghembuskan angin perubahan di negeri jiran itu. Kegagalan BN yang dimotori UMNO mempertahankan dominasinya di parlemen, menginspirasi banyak kalangan di Malaysia bahwa kekuasaan tak selamanya bertahan dan sakral. Keberhasilan oposisi menguasai 5 negara bagian (Perak, Penang, Kedah, Selangor, dan Kelantan), meruntuhkan mitos bahwa BN tak mungkin terkalahkan.

Efek “kemenangan” oposisi merambah ke berbagai sudut. Dunia kampus yang selama ini steril dari perbincangan politik, mulai dipanaskan oleh diskusi-diskusi dan kritik para mahasiswa dan pensyarah (dosen)nya. Masyarakat yang biasa apatis terhadap politik, semakin tertarik bicara politik. Yang menarik, media massa yang selama ini berada dalam pasungan kerajaan, mulai menunjukkan geliat perubahannya. Media Malaysia sedang bertransformasi dari alat komunikasi yang memberi legitimasi bagi kekuasaan, menjadi media yang berorientasi pada publik dan mendukung demokratisasi. Ada kecenderungan media massa Malaysia memanfaatkan perubahan politik untuk menuju sistem media yang lebih bebas, terbuka dan menjadi penopang demokrasi. Walaupun media cenderung menumpang arus perubahan, karena terlihat ketika pemerintah masih sangat kuat media tidak berbuat untuk perubahan itu, tetapi sejak Badawi kehilangan populeritasnya media memanfaatkan ketidakberuntungan itu.


Berdamai dengan Perubahan
Istilah mediamorfosis, dipopulerkan kembali oleh Roger Fidler (1997) untuk menggambarkan transformasi media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan dan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. Istilah mediamorfosis memang lebih banyak digunakan pada transformasi teknologi media. Media melakukan transformasi karena kekuatan sosial, politik, ekonomi dan kultural. Dalam konteks Malaysia, media telah bertransformasi dari sisi isi (content) pemberitaan, dengan mengambil momentum Pemilu Malaysia ke-12, Maret lalu.

Sebelum Pemilu ke-12, media massa Malaysia tak ubahnya media massa kita di era Orde Baru. Koran, majalah, tabloid, televisi dan radio yang beredar tak lebih dari corong penguasa dengan nada seragam. Saya pernah terjebak dalam demonstrasi besar-besaran yang digalang kaum oposisi di pusat kota Kuala Lumpur, November tahun lalu. Saat itu demonstrasi yang menyuarakan Pemilu Bersih sungguh menjadi pemandangan yang sangat baru di Malaysia. Sebelumnya, hampir tak pernah ditemui demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Demonstrasi a la Indonesia yang menjadi pemandangan biasa di tempat kita tak mungkin ditemui di Malaysia. Saat itu, di tengah guyuran hujan lebat ribuan orang berpakaian “kuning-kuning” meneriakkan takbir dengan sisipan slogan-slogan anti pemerintah. Walaupun disemprot water canon dan gas air mata mereka tetap bersemangat menumpahkan aspirasinya. Saya yang memang tak berniat ikut demonstrasi, segera berlalu dan memilih untuk menyaksikan tayangan “aneh tapi nyata” itu di televisi. Hasilnya sungguh mengecewakan. Televisi memang menyiarkan aksi yang digalang Anwar Ibarahim dan tokoh oposisi lainnya itu. Tetapi, yang muncul hanya suara dan foto pejabat kepolisian yang menyebutkan bahwa demonstrasi berjalan biasa-biasa saja, dan situasi aman terkendali. Khas pejabat. Tanpa secuilpun gambar yang memperlihatkan situasi yang sebenarnya. Sangat kontras apa yang saya lihat langsung dengan realitas yang tampak di media. Teknologi komunikasi sudah sangat maju di Malaysia, tapi tidak untuk tayangan anti pemerintah.

Pengalaman kecil itu menjadi contoh riil untuk mengambarkan kondisi media Malaysia selama ini. Media cetak dan elektronik benar-benar dikuasai Barisan Nasional. Stasiun Televisi RTM1 dan RTM2 yang seharusnya dikonsep sebagai televisi publik menjadi alat propaganda Barisan Nasional dalam arti yang sebenar-benarnya. Koran-koran utama hanya berisi good news versi penguasa. Tanpa sedikitpun celah untuk perbedaan pendapat. Berita-berita yang berpeluang menimbulkan “gejolak”, dan merugikan kepentingan nasional tak mungkin ditemui. Ketika media kita mem blow up berbagai persoalan yang menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia, mulai dari dari kasus Ambalat, Penganiayaan TKW, penganiayaan wasit karate, klaim lagu Rasa Sayange, hingga isu Askar Wathoniyah, media Malaysia adem ayem saja. Alhasil, rakyat Malaysia bahkan merasa tak tahu menahu dengan persoalan-persoalan itu. Masyarakat kelas menengah dan terpelajar Malaysia lebih memilih internet sebagai sumber informasi, daripada media massa tradisional. Sensor berlebihan terhadap media, telah berdampak negatif terhadap pencitraan Barisan Nasional. Walaupun secara tekstual berita-berita media memuji-muji penguasa, tetapi masyarakat Malaysia sudah semakin cerdas untuk menyadari konteks atau “berita di balik berita”.

Hingga menjelang Pemilu, media Malaysia masih menunjukkan wataknya yang telah menahun. Di masa kampanye, media-media utama hanya milik barisan nasional. Partai oposisi tak memiliki akses sama sekali untuk diakses media. Mereka hanya berkampanye melalui media internal, selain ceramah umum dan internet.
Setelah hasil Pemilu di umumkan, dan hasilnya cukup mengagetkan masyarakat Malaysia, media massa mulai berdamai dengan perubahan itu. Stasiun-stasiun televisi mulai memberikan ruang bagi kritik dari tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Barisan Nasional. Media cetak dan elektronik yang sebelumnya cenderung memuji-muji pemerintah, berbalik mengecam dengan menghadirkan analisis yang menunjukkan kebobrokan penguasa. Mahathir yang mengkritik keras dan menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Badawi mendapatkan tempat yang luas di media massa. Kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Setelah Pemilu ke-12, kesan perubahan orientasi pemberitaan segera terasa bila kita membaca koran-koran utama Malaysia seperti Utusan, Berita Harian, The Star, dan New Straits Time. Koran-koran itu yang sebelumnya berposisi sebagai mitra loyal pemerintah, mulai berani menurunkan berita atau opini yang berbalik menyerang pemerintah. Televisi juga semakin berani menampilkan wacana yang beragam. Talkshow-talkshow kritis sudah mulai menghiasi televisi. Pengamat-pengamat politik juga semakin berani mengkritisi pemerintah.
Mediamorfosis, walaupun masih malu-malu, sedang terjadi di negeri jiran itu. Media memang belum mengalami perubahan yang radikal, tetapi transformasi yang perlahan itu dianggap telah memberi kontribusi berarti bagi transisi demokrasi di Malaysia. (Subhan Afifi***)

6 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Memang sebenarnya Pilihan raya ke 12 Malaysia sudah berlalu beberapa Barisan Alternatif yang terdiri dari DAP, PKR dan PAS memenangi 5 negeri di semenajung Malaysia. Arus reformasi di Malaysia didengingkan oleh partai Oposisi seperti Anwar Ibrahim dan kawan-kawannya dan didukung oleh kaum muda Malaysia,. Kaum muda Malaysia ingin reformasi di segala bidang, baik perekonomian, pendidikan , dan kebebasan berbicara. pengamatan yang pernah saya lakukan di dikampus Universiti Malaya bahwa ada kecendrungan pihak kampus menekan pergerakan mahasiswa untuk tidak mencampuri kebijakan-kebijakan Universiti. Dimana kebijakan kebijakan tersebut belum tentu menguntungan mahasiswa yang duduk dibangku kampus
    Kalau kita tinjau kembali perjalan pergerakan politik Malaysia sangat menarik sekali bahawa kepentingan rakyat diayomi oleh pemerintahan tetapi hanya kaum tertentu saja. Di Malaysia tertidiri berbagai kaum seperti, Kaum Cina, kaum India dan Kaum Melayu. dengan penguasa parlemen di menangi oleh partai yang berkuasa di Pemerintahan dibawah bendera BN yang terdiri dari ( UMNO, dan sekutunya) telah memenangkan pemilu sebelumnya sebanyak 80 persen lebih , Nah kenyataan pada pilihan raya ke 12 ini partai-partai BN di pecundangi oleh partai oposisi. Ini merupakan suatu atmosfer reformis di Malaysia, dimana kalau kita lihat alam reformasi tidak menelan korban jiwa tetapi menelan kekalahan telak oleh pihak BN dan merupakan tamparan paling dahsyat di Masa pemerintaha Abdullah Ahmad Bidawi. Kekuatan reformasi di Tangan Rakyat bukan di Tangan Pejabat

    Salam

    Jabat erat silaturrahmi



    Mukhlis Ilmi

  2. errick mengatakan...

    tulisannya bagus om. udah sesuai dg kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar sesuai EYD :D

  3. Subhan Afifi mengatakan...

    Wah..wah Bang Mukhlis memang bakat jadi analis and komentator nih.. komentarnya aja bisa jadi 1 artikel. terimakasih ya.. Sukses selalu

  4. Subhan Afifi mengatakan...

    Makasih Ery yang sekarang berperan jadi guru bahasa Indonesia yang baik dan benar,hehe. Kapan nikah? Om Han siap jadi panitia lagi nih...

  5. mxpx mengatakan...

    pak ini blog saya
    atas nama : candra
    http://candra-mxpx.blogspot.com/

  6. Anonim mengatakan...

    pak ini blog saya
    atas nama : Teddy malaka
    Nim :153050339
    alamat blog :http://malakatedy.blogspot.com