Insomnia Jum'atan

1:46:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Jum’at ini adalah kali kesekian ritual mingguan ini saya jalankan. Betapa agung sebenarnya hari itu. Hari yang mulia. Forum pengingat takwa setelah 1 minggu bergelimang lupa. Hanya saja, esensi besar hari raya kecil itu, seringkali, berlalu tanpa makna. Persoalannya berakar pada khutbah-khutbah Jum’at yang berubah fungsi jadi pengantar tidur. Konon orang yang punya penyakit insomnia pun, akan terobati jika mendengar khutbah-khutbah Jum’at saat ini. Apa pasal? Khutbah yang terlalu panjang, cara penyampaian yang tidak menarik, hingga materi yang tidak jelas dan berputar-putar seringkali dituding pakar komunikasi sebagai penyebab tidak efektifnya khutbah Jum’at sebagai pengingat takwa.



Banyak khotib yang lupa kalau sedang berkhutbah pada jamaah yang masih harus “bertebaran di muka bumi” usai Jum’atan. Hingga asyik dengan dirinya sendiri. Padahal Rasululloh, teladan sejati, termasuk dalam urusan Khutbah, telah mengingatkan : “Termasuk tanda seseorang yang pemahamannya mendalam adalah khutbahnya singkat, shalatnya panjang,” (HR Muslim). Dalam banyak keterangan, Rasululloh sering membaca surat Al’A’la dan Al Ghasiyah pada shalat Jum’at. Tidak begitu panjang. Berarti khutbah beliau lebih pendek dari itu. Jelas sekali pelajarannya, pesan yang ringkas, padat, dan berisi lebih dibutuhkan jamaah dibanding rangkaian kalimat yang panjang dan tidak jelas.


Bagaimana dengan cara penyampaian? Rasululloh lagi-lagi mencontohkan. “Adalah nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam apabila berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya sunggu-sungguh. Beliau bagaikan komandan pasukan perang yang sedang berkata, “musuh menyerang kalian pada pagi hari!” dan “Musuh datang sore-sore” (HR Muslim). Artinya, Rasululloh mampu menyedot perhatian audiens, dengan daya tariknya yang memukau. Para khatib seyogyanya menyadari bahwa ia sedang berkomunikasi dengan khalayak, bukan berlatih berdeklamasi di depan cermin.
Tentang materi, sungguh saya sering mengelus dada. Saya bukan orang yang ahli dalam bidang ini, sedikitpun tidak. Tapi sebagai orang awam, saya sering mendengar materi khutbah Jum’at yang tidak jelas ujung pangkalnya. Ada yang membahas berita yang dibacanya di koran pagi tadi. Ada yang melarang ghibah,tetapi khutbahnya menjadi ajang ghibah politik. Ada yang mengejar aktualitas, misalnya ketika menjelang hari raya Qurban membahas kisah Ibrahim-Ismail dengan bumbu-bumbu versinya sendiri, sehingga menjadi ke sana kemari. Ada juga yang ingin menumpahkan sebanyak mungkin informasi keagamaan yang dikuasainya. Sebanyak mungkin dalil, kutipan, bahasan dan analisis. Sebanyak mungkin! Padahal rukun khutbah sederhana saja : membahas takwa. Fokus dan sistematis, tidak kemana-mana. Andai saja setiap khutbah disampaikan dengan ringkas, jelas dan menarik tentu tentu “insomnia” justeru akan muncul saat Jum’atan. Jamaah benar-benar sulit tertidur. Bukan sebaliknya.


Ketika untuk pertama kalinya saya Jum’atan di Malaysia, 3 tahun lalu, saya merasakan ada yang berbeda. Masjid-masjid besar di sana, dilengkapi dengan layar lebar lengkap dengan LCD-nya untuk menampilkan power point, ringkasan khutbah sang khatib. Setiap pokok pikiran khotbah akan tampil di layer dengan disain menarik. Kutipan ayat atau hadist juga akan dimudah dibaca jamaah di layar itu. Buat saya ini luar biasa. Pengemasan pesan dengan dukungan media yang menarik tentu mengefektifkan komunikasi. Saya jadi tidak mengantuk, karena sibuk memperhatikan fenomena komunikasi Jum’atan itu. Tapi, belakangan saya ketahui, materi-materi khutbah di sana seragam, dibuat oleh semacam departemen agama mereka. Jadi khotib hanya membaca. Tak boleh sebebasnya membuat materi khutbah, apalagi jika mengkritik penguasa. Terlarang keras. Biasanya materi khotbah seputar keberhasilan pembangunan yang dijalankan pemerintah, dan momentum-momentum penting yang dikaitkan dengan nasihat keagamaan.

Beberapa minggu lalu, saya masih sempat Jum’atan di Masjid Arrahman Kuala Lumpur, dekat kampus Universiti Malaya. Seperti biasa, penyakit ngantukan saya tidak begitu kambuh saat itu. Khatib menyampaikan materi dengan lantang. Saya sibuk memperhatikan tayangan power point. Tapi, ya Allah, di samping saya persis, seorang mahasiswa Malaysia tidur dengan nyenyaknya. Saya perhatikan sekeliling, ternyata, bukan hanya dia seorang. Walau tak semua jamaah, masih banyak yang terlihat ”khusuk” dan ”takzim” mendengar khutbah. Materi Jum’at itu tentang hari jadi Persekutuan Malaysia. Lengkap dengan seruan agar rakyat memelihara harmoni antar kaum. Mungkin karena berdekatan dengan hari raya China. Nah... (***Subhan Afifi)

Dia Hidup untuk Zamannya

1:46:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

26 Februari 2000, Azzam Abdussalam, anak pertama saya lahir. Kebahagian yang diiringi harap-harap cemas menyertai detik-detik menentukan itu. Ketika menjelang Ashar suara “oek-oek-oek” terdengar dari kamar bersalin, setelah isteri tercinta menahan sakit sejak sebelum Shubuh, status saya berubah untuk kedua kalinya. Dari lajang menjadi suami ketika ijab qabul, dan bermetamorfosa menjadi ayah, ketika si kecil itu memekikkan tangis protesnya untuk pertama kali. Saat itulah peran keayahan yang riil mulai saya jalani. Sebelumnya, tentu saja, saya telah menyicil peran itu. Ketika memilihkan ibu yang terbaik untuknya, dan mulai mengenalkan religiusitas, sejak ia masih di kandungan. Tentu bersama Sang Bunda.

Mengenalkannya pada kalimah thoyyibah, memenuhi hak-haknya di awal kelahiran, seperti aqiqah, memotong rambut dan menyedekahkan emas seberat rambut itu, hingga melekatkan do’a pada namanya, adalah pembuktian komitmen keayahan berikutnya. Begitu seterusnya. Menuntunnya berjalan, melatihnya merangkai kata, mengoptimalkan masa keemasan pelejitan potensi kecerdasan di masa balita, hingga mengenalkannya dengan dunia sekolah, peran keayahan itu berjalan apa adanya.

Kini, setelah Dia genap 9 tahun, saya merasa perlu untuk terus mengevaluasi total peran keayahan yang telah saya jalankan untuknya, dan juga 2 orang adiknya itu. Bukan apa-apa saya tak ingin gagal jadi orang tua. Gagal yang lain, kita bisa mencoba lagi. Tapi, jadi ayah dan orang tua, tak ada ceritanya coba-coba. Peran keayahan adalah amanah berat yang perlu ilmu. Ini yang masih terus ingin saya usahakan. Sejauh ini, tak ada masalah dengan Azzam. Bahkan apa yang ia capai dan tunjukkan selama ini untuk kami, Abi dan Ummi-nya sungguh menyejukkan hati. Azzam sudah bisa membaca Al-Qur’an sejak TK, sehabis magrib dan shubuh ia rutin tadarus atau hafalan Al-Qur’an. Beberapa kali ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Hafalannya kini sudah hampir 2 juz, jauh mengalahkan Abi dan Umminya. Shalatnya pun telah tertib, berjamaah di masjid. Di sekolah Ia jadi Presiden Kelas (begitu kawan-kawannya mengganti istilah “ketua kelas 3”), sangat gandrung bermain sepak bola, prestasi akademiknya juga sangat cemerlang. Minat bacanya tergolong tinggi, mungkin karena kami tak mengenalkan budaya menonton sejak ia masih bayi. Di rumah kami, hingga kini tak ada pesawat televisi, Untuk sekedar tahu ada “kotak ajaib” bernama televisi, saya memasang TV tuner di komputer, itupun sangat jarang digunakan. Kini Azzam mulai senang menulis. Blog sederhana mulai diaktifkannya.

Saya sadar, perjalanan yang ia tempuh masih jauh. Tantangan yang akan dihadapi sungguh tak sama. Ia akan hidup untuk zamannya. Tak bisa disamakan dengan siapa-siapa, apalagi zaman orang tuanya yang sudah dan akan segera jadi jadul. Saya dan Umminya hanya bisa mendokan plus mengusahakan agar ia bisa terus sholeh dan bermakna buat semua. Tapi tak bisa menjamin. Bahkan tak bisa menguasai hatinya. Bukankan seorang Nabi, Nuh Alaihissalam, tak mampu menggenggam hati anaknya, Kan’an, untuk ikut mengabdi kepada Sang Khalik. Kan’an lebih memilih tersapu bah daripada ikut perahu hidayah. Padahal, kurang apa Nabi Nuh berusaha dan berdoa untuk anaknya. Jika diusahakan dengan pendidikan terbaik dan didoakan siang malam saja, anak-anak kita belum ada jaminan menjadi baik, apalagi tidak. Saya dan para orang tua yang lain tentu tak ingin gagal, masih ada ada kesempatan untuk berbuat dan berharap. Karena, mereka begitu berharga. (***Subhan Afifi)

Kontras

1:44:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Ada yang selalu terlihat kontras ketika ikut penerbangan Airasia Yogyakarta-Kuala Lumpur, dan sebaliknya, Kuala Lumpur-Yogyakarta. Penerbangan pertama selalu saja dibersamai oleh rombongan wanita muda dan setengah baya, mengenakan seragam bertuliskan nama perusahaan tertentu di punggungnya. Wajah mereka terlihat sedikit cemas dan kosong. Maklum, banyak diantara mereka yang baru pertama kali pergi jauh. Mereka terlihat selalu bergerombol, seolah tak ingin terpisah sedetikpun dari kelompoknya. Ketika ada form-form imigrasi yang harus diisi, mereka celingak-celinguk, tidak percaya diri. Yah, mereka adalah rombongan calon tenaga kerja wanita yang terus saja mengalir ke negeri impian. Walau berita tentang fantasia yang berubah jadi petaka tak henti-hentinya terdengar. Apa boleh buat, pilihan tak banyak, hidup harus terus berjalan. 


Penerbangan kedua, biasanya lebih ceria. Penumpang yang memenuhi kabin lebih harum dan necis. Selain beberapa wisatawan Malaysia yang mulai banyak mengunjungi Yogyakarta,penerbangan kedua juga dipenuhi wanita-wanita muda dengan dandanan menyolok, menenteng hp keluaran terbaru, lengkap dengan tas dan kardus berisi oleh-oleh aneka rupa. Mereka adalah para TKW yang telah bekerja cukup lama di negeri jiran dan tergolong berhasil. Hasil kerja seolah terlihat dari apa yang kasat mata itu. Sebagian dari mereka bekerja sebagai ammah, sebutan orang Malaysia untuk PRT. ”Kalau yang sebelah sana, kerjanya di kilang (pabrik), Mas”, kata Hariyadi, seorang TKI asal Klaten yang duduk di sebelah saya, dalam penerbangan sore itu, menunjuk pada deretan gadis-gadis berpenampilan trendy. ”Mereka kena PHK, jadi harus pulang kampung,” tambahnya. Perusahaan-perusahaan Malaysia memang sedang terkena imbas krisis global, dan terpaksa harus merumahkan banyak pekerjanya. Apapun kondisinya, sukses tidak sukses, pulang kampung, apalagi dari negeri tempat yang jauh, harus kelihatan lebih baik dari saat pergi.

Dalam penerbangan pertama dan kedua, rombongan TKI (pekerja Indonesia laki-laki) bisanya tak terlalu terlihat mencolok. Mereka biasanya datang dan pergi tidak berombongan. Hanya berteman 1-2 orang, bahkan lebih sering sendiri. Saya tak tahu persis, apakah ini berarti PJTKI kita lebih banyak mengekspor TKW,daripada TKI. Atau TKI lebih banyak memilih jalur laut, via Sumatera.

Hariyadi, yang rambutnya dicat kuning emas, adalah salah satu TKI yang memutuskan pulang, dan bertekad tak akan kembali. ”Kapok,Mas,” katanya. Ia berangkat setahun lalu, dan dijanjikan PJTKI-nya bekerja di pabrik baja. Rupanya, ia harus bekerja sebagai kuli bangunan dalam berbagai proyek pembangunan gedung-gedung bertingkat. Perawakannya yang kecil tak sebanding dengan pekerjaan keras yang harus dijalaninya. Orang di kampung tahunya Hariyadi yang lulusan SMEA, kerja mentereng di luar negeri. Mengaku tak tahan, ia memutuskan pulang. Tapi, itu tadi, walau belum beruntung di negeri orang, penampilan harus tetap terjaga. Maka pulanglah Hariyadi, dengan penuh pede, dengan celana jeans dan rambut bule-nya. ”Setelah ini, mungkin saya mau ke Korea,” katanya, sesaat sebelum Airasia mendarat di Adi Sucipto. (***Subhan Afifi)


Jenggot dan Singapura

1:41:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Masih ingat kisah mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, yang sempat ditahan di Imigrasi Bandara Changi, Singapura, 20 Maret 2008 lalu ? Kedua tokoh itu sempat sewot karena harus menjalani pemeriksaan imigrasi selama 2 jam. Jakarta seperti kebakaran jenggot saat itu. "Itu seperti menghina pada pemerintahan kita, jadi pemerintah harus segera menyampaikan nota protes keras," kata Ketua DPR yang juga politisi Golkar Agung Laksono. "Kalau perlu tokoh-tokoh Singapura yang ke Jakarta juga harus diperiksa," sambungnya lagi, seperti dikutip detik.com. Publik sempat geram, tapi segera maklum, ketika ada penjelasan bahwa pemeriksaan seperti itu adalah prosedur standar di Singapura, dan bisa menimpa siapa saja. Walaupun tidak ditampik, ketatnya pemeriksaan imigrasi waktu itu, terkait dengan kaburnya tahanan terorisme Mas Slamet Kastari. Kisah itu kemudian berlalu begitu saja, diganti oleh berita-berita lain yang lebih heboh. Maklum, media massa kan mesin pencipta lupa.




Karena Abdul Rahman Saleh dan Adnan Buyung adalah tokoh publik, wajar kasusnya mendapat liputan luas media. ”Eminence and promince” adalah standar nilai berita. ”Name makes news” sudah lama jadi rumus dasar jurnalistik. Padahal, kejadian warga Indonesia yang masuk Singapura, dan harus diinterograsi di ruang imigrasi, adalah hal yang biasa dan sering terjadi. Setidaknya dari cerita banyak sumber, dan... pengalaman pribadi..



Dua kali saya masuk Singapura melalui perjalanan darat dari Kuala lumpur, 2 kali juga saya harus berurusan dengan petugas imigrasi. Pertama, 13 Mei 2008, ketika saya dan 2 orang rekan mahasiswa PhD di Universiti Malaya, Nurul Haq (dosen UIN Yogyakarta), dan Muslih (dosen STAIN Pekalongan), bermaksud mengunjungi Central Library dan NUS, berburu bahan disertasi. Perjalanan malam bis cepat dari terminal Pudu Raya jurusan Kuala Lumpur-Singapura itu, harus berakhir di pintu gerbang Woodlands (Woodlands Checkpoint), pintu masuk Singapura yang berbatasan dengan Johor Baru. Antrian imigrasi di pagi yang gelap itu sangat panjang. Pemandangan biasa di Woodlands, arus panjang pekerja yang akan berangkat kerja dari Malaysia ke Singapura, dan sebaliknya yang pulang pada sore hari. Petugas berseragam di beberapa baris antrian, menyeleksi satu persatu manusia yang dianggap layak masuk negeri Singa. Mereka yang dianggap kurang layak, atau mencurigakan, akan dimasukkan dulu dalam ruang interogasi. Ketika giliran kami, petugas imigrasi Singapura yang berwajah dingin itu hanya berkata, ”Wait here!”.




Tak lama, datanglah petugas lain. Menjemput dan mengantar kami ke ruang khusus itu. Di sana ada beberapa orang dari warga negara lain. Nurul Haq, yang pertama dipanggil dan dimasukkan lagi ke ruang yang lebih dalam. Rupanya, ia diinterogasi, sudah berapa kali di Singapura, mau ngapain di Singapura, dan sebagainya. Saya dan Muslih menunggu. Paspor kami dikumpulkan. Tidak begitu lama, Nurul Haq keluar. Nurul cerita, dia menegaskan bahwa ia mahasiswa UM (di dalam paspor sudah ada student pass) dan sempat mengeluarkan kartu nama staf pengajar di NUS Singapura yang menjadi tujuan. Mungkin karena itu, ia tidak ditanya lama-lama. Saya dan Muslih tidak diinterogasi, penjelasan Nurul dianggap mewakili kami bertiga. Saat itu, saya yang memang pertama kali ke Singapura, tak begitu menganggap kejadian itu sebagai persoalan berarti. Kekaguman terhadap Singapura yang bersih, tertata, dan kenyamanan pelayanan di Central Library dan NUS mengalahkan perlakukan yang tidak begitu menyenangkan di Woodlands.




Kejadian itu rupanya berulang. Ketika tanggal 6 Februari 2009, saya datang ke Singapura untuk kedua kalinya. Kali ini bersama Suswanto Megah (mahasiswa master UM). Kami mengantar rombongan ibu-ibu dari sebuah yayasan di Jakarta yang sedang jalan-jalan di Kuala Lumpur dan ingin ke Singapura. Ibu-ibu yang kami antar semuanya lolos di imigrasi. Megah yang sudah lebih dari 15 kali datang tak menemui kesulitan. Ketika tiba giliran saya, petugas imigrasi perempuan itu sejenak membolak-balik paspor saya. Melihat student pass saya. Dan akhirnya meminta saya menunggu sebentar. Tahapannya persis dengan sebelumnya. Seorang petugas datang mengantar saya ke ruang khusus. Kali itu saya juga tidak diinterogasi. Paspor hanya diperiksa, dan tak lama kemudian dipersilahkan melenggang. Tidak sampai 10 menit saya berada di ruang itu. Di belakang saya, rupanya putera salah seorang ibu yang ikut rombongan kami, Muhammad Rayhan, Mahasiswa UIN Jakarta, termasuk yang harus diinterogasi. Cukup lama ia berada di ruang itu. Tasnya bahkan sempat digeladah.




Kali ini saya tak begitu nyaman dengan perlakuan petugas negeri Singa itu. Jalan-jalan di Mustafa Center, Orchad Road, Pulau Sentosa, dan lain-lain, tak lagi menyenangkan. Kebersihan, kedisiplinan dan segala macam kehebatan negeri pulau itu tak lagi mengagumkan buat saya. Saya hanya berfikir, kenapa nama-nama seperti Subhan Afifi, Nurul Haq, Muslih dan Muhammad Rayhan, yang harus dicurigai. Semua nama itu berbau Arab dan Islam. Kebetulan juga, saya dan Rayhan, walau tidak lebat dan hanya sejumput, memiliki jenggot. Saya tak tahu ada kaitannya atau tidak. Apakah kami memang bertampang seperti mereka yang dituduh teroris itu,hehe. Yang jelas saat saya pulang kembali ke Malaysia, melewati Woodlands, dan kebetulan menghadapi petugas imigrasi perempuan yang sama, saya sempat melirik ke komputer yang ada di depannya. Sketsa laki-laki berjenggot ada di sana. Mungkin Singapura memang alergi Jenggot. Wallahu’alam. (***Subhan Afifi)