Ayah Sesaat

3:01:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang ayah pulang kerja di suatu sore yang masih terasa gerah. Hari yang melelahkan. Ada asa untuk segera menyegarkan jiwa di rumah yang penuh cinta. Terbayang celoteh riang anak-anak dan senyum manis bundanya. Untuk menyenangkan mereka, sang ayah mampir membeli sate ayam istimewa. Rupanya, hari itu yang di rumah sedang tidak enak hati. Kerewelan anak-anak balitanya sedang memuncak. Ketika bungkus sate dibuka, puteri cilik yang biasanya seperti bidadari itu tampak tak berkenan. Ia rupanya kecewa, sate yang dibawa sang ayah berbeda dengan sate kesukaannya. Tanpa ba-bi-bu, dia meludahi sate itu..”Cuihhh !”.

Sontak saja, laki-laki yang baru belajar jadi ayah itu tersulut. Dan..tanpa ba-bi-bu juga, dengan cepat telapak tangan kerasnya mendarat di pipi mungil si kecil. “Plakk !” Tangis keras pun melengking. Masih terlihat dada sang ayah turun naik menahan amarah. Tetapi semburat sesal segera menyeruak. Bukankah ia biasanya tidak pernah “bermain tangan” di rumah? Bukankah makna “meludah” berarti penghinaan luar biasa yang dipahaminya sebagai manusia dewasa 30-an tahun berbeda dengan arti “meludah” bagi si kecil 3 tahunan itu? Tak seharusnya “ketidaktahuan” si kecil berbalas tamparan yang menyakitkan. Tak hanya pipi, tapi juga jiwanya. Segurat luka dalam hati telah tertoreh. Berbuah sesal yang terlambat. Sesaat saja.

Ayah lain, kebetulan seorang sahabat dekat, berkisah tentang pengalamannya berhaji. Saat wukuf di padang Arafah, sebagai puncak haji, biasanya para jamaah haji akan menangis mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan. Sambil tak henti-hentinya beristighfar dan memanjatkan do'a. “Saya menangis, karena ingat anak saya…” katanya. Inilah bentuk dosa yang paling dia ingat di Arafah. Suatu hari, dia pernah pernah sangat marah pada anaknya. “Nangis nggak diam-diam, saya seret dia ke kamar, saya kunci dari luar,” kisahnya Tentu saja si anak menambah volume tangis sekeras-kerasnya. Sampai akhirnya benar-benar diam karena kecapekan dan dicuekin ayahnya. “Saya sungguh menyesal,” katanya mengenang.

Ah.. 2 contoh itu bikin saya malu. Inilah gambaran dunia para ayah, termasuk saya, walau tidak semua tentu saja, yang mudah tersulut. Dunia para lelaki yang katanya lebih mendahulukan rasio daripada rasa. Untuk kasus ini rasio dan rasa, rupa-rupanya sama-sama tidak dikedepankan. “Orang tua semacam ini memiliki sumbu pendek, sehingga cepat terbakar tanpa sempat berfikir,” tulis Ustadz Fauzil Adhim, dalam bukunya “Saat Berharga untuk Anak Kita”, terbitan Pro-U Media Yogyakarta (2009). Menurutnya, “Orang Tua Sumbu Pendek” cepat tersulut emosinya karena ada hal-hal yang kurang menyenangkan dari anak. Mereka cepat melampiaskan kemarahan hanya karena kejadian-kejadian kecil, tanpa berusaha mengendapkan terlebih dulu untuk mencari jalan paling jernih. Tidak menunggu waktu lama untuk mencubit anak dengan keras, bahkan “menampar” seperti ayah pertama tadi, membelalakkan mata secara menakutkan, atau segera menghujani anak dengan kata-kata makian dan umpatan. “Begitu anak melakukan sedikit kesalahan, atau bahkan belum tentu merupakan kesalahan, seketika itu pula orang tua menyerangnya dengan kata-kata ancaman, cap yang buruk atau pertanyaan yang memojokkan.” tulis Ustadz yang dikaruniai 7 anak itu. “Orang tua sumbu pendek !” sebutan yang “menampar” para orang tua, termasuk saya, tapi bukan tamparan yang menorehkan luka di hati tentu saja.

Saya jadi ingat 3 permata hati saya yang hebat-hebat : Azzam Abdussalam (10 tahun), Zulfa Athifah (9 tahun) dan Nuha Qonitah (6 tahun). Sehari-harinya mereka sangat manis dan pintar. Sesekali saja, seperti lazimnya anak-anak lain, ada perilaku mereka yang bikin gerah. Berkelahi khas anak-anak, tidak bersegera mengerjakan apa yang diperintahkan, atau hal-hal sepele yang sepele lainnya, yang belum tentu merupakan kesalahan. Tapi inipun seringkali saya tanggapi secara berlebihan. “Abi sering marah !” kata Zulfa, puteri kecil saya yang sering bicara kritis dan blak-blakan, dalam sebuah perbincangan santai di ruang keluarga, saat saya minta mereka untuk “mengevaluasi” saya. “Masa' sih..” kata saya menggoda Zulfa, sambil tetap merasa sebagai ayah tersabar di dunia, hahaha. “Iya.. sedikit..sedikit marah, salah sedikit marah,” katanya tak kalah tangkas. Saat itu rasa-rasanya Zulfa sedang “menampar” saya. Benar adanya. Hanya karena “sumbu yang tak panjang”, saya mudah tersulut. Maka muncullah gejala-gejala yang dirasakan Zulfa dan kakak-adiknya mungkin, sebagai amarah. Mulai dari suara yang meninggi hingga mimik wajah yang menyeramkan.

Duh.. ada segenggam rasa malu di sana. Apalagi mengingat pesan Sang Nabi ketika seorang laki-laki berkata-kata : “Ya Rasul Allah, berpesanlah kepadaku.” Nabi Saw berpesan, “La taghdab ! Jangan Marah.” Laki-laki itu bertanya berulang-ulang, tetapi Nabi Saw, tetap berpesan berulang kali pula, “La taghdhab ! Jangan Marah.” Hadist riwayat Buchari itu dikutip juga oleh Ustadz Faudzil sambil menguraikan dengan bahasanya yang cair, mengalir dan akrab, tentang beda “marah” dan “memarahi”. “Memarahi” anak, sebagaimana senyuman yang damai, seringkali diperlukan. Itu pun harus dilakukan secara bijak. “Cara Bijak Memarahi Anak” adalah salah satu tips Ustadz Faudzil yang menginspirasi ya. Hehe..bisa juga ya, memarahi dengan bijak. Alih-alih menebar ancaman, sebaiknya para orang tua mengajarkan konsekuensi pada anak. Sangat sering kita memarahi anak disertai ancaman : “Awas ya..! Kalau ..bla..bla...”. Padahal ancaman hanya membuat mereka untuk berlajar berontak dan menentang. Apalagi jika kegiatan memarahi itu diikuti dengan ungkapan-ungkapan yang meruntuhkan konsep diri dan harga diri (self esteem) anak, seperti : “Ayah kan sudah bilang berkali-kali... kamu koq masih nakal terus !”. Memberikan penjelasan dan konsekuensi dalam suasana yang akrab untuk membenahi perilaku anak yang tidak menyenangkan jelas lebih positif. “Jangan cela dirinya, cukup perilakunya saja !” dan “Jangan katakan Jangan”, adalah nasihat-nasihat Ustadz Faudzil yang menyejukkan di buku itu.

Selain bicara hal teknis semisal bagaimana menghukum dengan kasih sayang, buku ini juga memberikan panduan berharga yang bersifat mendasar dalam dunia pendikan anak seperti memperbaiki niat, membangun jiwa anak, berusaha memahami anak dengan “menitip rindu untuknya”, hingga bagaimana mempersiapkan masa depan mereka dengan warisan yang sesungguhnya, berupa iman dan takwa, seperti yang dilakukan Lukman Al Hakim. Seorang tukang kayu yang karena kebijakannya mendapat kehormatan dari Allah untuk menjadi teladan bagi manusia dengan menyebut nama dan nasehat berharga untuk anak-anaknya dalam Al-Qur'an.

Selain seperti “menampar” saya sebagai orang tua yang terkadang masih memiliki kebiasaan mudah marah dan tersulut, buku ini memberikan energi untuk bangkit dan bergegas, memanfaatkan waktu yang tersisa. Sungguh, seperti yang ditulis Ustadz Faudzil, waktu kita sangat pendek. Anak-anak kita yang saat ini masih balita tak akan lama lagi tumbuh menjadi remaja, dan dewasa. Saat ini mereka butuh kita, ingin ditemani, diajak ke sana kemari. Tapi lihat lah beberapa saat lagi. Betapa banyak anak yang untuk berjalan bersanding dengan orang tuanya saja, merasa malu. Ustadz Faudzil Adzim menggambarkan fenomena ini dengan untaian kata-katanya yang indah dan bergizi :


“Hari ini mereka memerlukan kita. Hari ini mereka amat besar kerinduannya kepada kita. Di antara mereka mungkin ada yang belum kering airmatanya karena berharap bisa bercanda, tetapi bapaknya sudah bergegas pergi untuk merebut sebuah kata yang bernama sukses. Mereka berlelah-lelah atas nama anaknya, padahal anaknya sedang kelelahan karena menunggu kesempatan untuk bermain bersama bapaknya. Mereka ingin berbincang dan bercanda, meski hanya sebentar. Dua menit saja...
Ya..ya..ya selagi mereka belum dewasa, belum menginjak usia remaja, inilah saat berharga untuk kita. Inilah saatnya kita meluangkan waktu kita untuk menyapa mereka, sebentar saja. Inilah saatnya bagi kita untuk mengisi ruang jiwa anak-anak kita....”

Tiba-tiba saya juga  teringat dengan seorang keponakan saya yang manis. Riska Milsa Khalida namanya. Rasanya, baru kemarin-kemarin saja, saya mengajaknya bercanda karena tingkah polahnya yang lucu saat balita. Belum lama berselang, Riska diwisuda dari Teknik Perminyakan Insitut Teknologi Bandung. Waktu memang berjalan begitu cepat. Si kecil yang lucu dan imut-imut itu “tahu-tahu” berangkat dewasa dan jadi sarjana. Ketika ia saya minta untuk menuliskan apa yang paling berkesan dari Papa-nya, yang super sibuk dan seorang profesional bidang kimia dan perminyakan, Riska menulis via email :

Papa adalah sosok yang penyayang kepada anak-anaknya. Waktu kami kecil, walaupun pulang kerja papa udah capek banget, tapi kami anak-anaknya yang masih kecil selalu minta diajakin jalan-jalan sama Papa keliling kompleks dan didongengin biar bisa tidur. Dengan bersemangat Papa langsung ngajak kami jalan-jalan dengan mobilnya dan juga bercerita hingga kami tertidur. Jadi setiap Papa pulang kami selalu teriak “Papa pulaaaang..Papa pulaaaaang !”…Kalo lagi gak nafsu makan, seneng kalo minta suapin ke Papa..diguntingin kuku sama Papa..Kalo mau berangkat sekolah, ngeliat rambut gak rapi, adik-adik pasti disisirin Papa. Papa juga yang ngajarin kami (semua anak-anaknya) penjumlahan, perkalian, kimia dasar, semuanya deh..kecuali ilmu agama. Kalo ilmu agama diajarinnya sama mama..hehe.
....................
Terimakasih Papa, atas kasih sayang yang Papa berikan kepada Mama dan anak-anak Papa. Kasih sayang dan semua yang Papa berikan sangat kami teladani hingga hari ini dan nantinya jika kami berkeluarga. Mungkin Riska dan anak-anak Papa yang lain sering khilaf dan ngecewain Papa dan Mama. Tapi dari lubuk hati yang paling dalam, kami selalu ingin membahagiakan Papa dan Mama. Membuat papa dan mama tersenyum bahagia. Melakukan yang terbaik yang kami bisa. Papa adalah papa terbaik sepanjang masa !


I love you..so much Papa..

Subhanallah. Ternyata, yang diingat seorang anak pada ayahnya, adalah hal-hal yang kelihatannya “sepele”, tapi begitu dalam maknanya di kemudian hari. Sosok ayah yang super sibuk itu, masih menyempatkan diri untuk mengajak anak jalan-jalan sepulang kerja, walau penat terasa di sekujur tubuh. Masih sempat mendongengi anak sebelum tidur, walau rasa kantuk di mata tak bisa diajak kompromi. Atau sekedar menyuapi, memotong kuku, menyisir rambut,dan menemani belajar. Benar juga kata Ustadz Faudzil : “Saat Berharga untuk Anak Kita !”.

Lagi-lagi, saya diam-diam merasa malu. Rasa-rasanya saya belum banyak berbuat untuk anak-anak saya. Walau hanya sesaat. Seringkali saya tidak terlalu antusias menanggapi cerita-cerita si bungsu saya yang luar biasa, ketika sibuk sendiri dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Atau lebih cepat tertidur, ketika dongeng belum selesai saya kisahkan, ketika ketiganya masih bersemangat ingin mendengar. “Dilanjutkan besuk saja ya...” kata saya yang sudah tak kuat menahan kantuk dan langsung disambut kecewa mereka dengan kata : “Yahhhhh”. Apalagi, tadi, yang diingat oleh Zulfa misalnya, dari saya adalah : “sering marah”, dibanding pengalaman-pengalaman menyenangkan yang bisa membuat mereka bangga punya ayah seperti saya.
Semoga masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri. Saatnya menancapkan niat kuat dalam hati untuk sungguh-sungguh menjadi “Ayah Sesaat”. Ayah yang bisa memanfaatkan waktu, walau sesaat, untuk membangkitkan jiwa mereka dengan hal-hal berguna. Melewatkan masa, sesaat demi sesaat, untuk mereka. Menyiapkan mereka menjadi generasi penyejuk hati yang taat pada Rabb-Nya, dan berguna untuk sesama. Bukan “Ayah Sesat” tentu saja ! (***).

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Syekh Ibrahim Musa : Insipirator Kebangkitan

12:21:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Selalu ada pelajaran dan insprasi yang membangkitkan jiwa dari para tokoh besar yang pernah lahir di negeri ini. Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), pendiri Madrasah Sumatera Tawalib Parabek, Bukittinggi, Sumatera Barat, adalah salah satunya. Ulama yang dikenal sebagai ahli hukum Islam, pejuang, sekaligus rujukan bagi ulama lain dan panutan masyarakat Minangkabau ini memang telah wafat pada tahun 1963. Tapi, karya nyata dan pengaruh positifnya masih terasa hingga saat ini. Sumatera Thawalib Parabek mulai dirintis pada tahun 1910, sehingga pada tahun 2010 ini genap berusia 100 tahun. Sepanjang sejarahnya sekolah ini telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di zamannya, seperti Buya Hamka, H.Adam Malik, Buya Ghafar Ismail, H.M Daud Rasyidi Dt Palimo Kayo, Prof Dr Ibrahim Bukhari, KH Gafar Ismail, Prof Dr Hayati Nizar,MA, Prof Dr Amiur Nuruddin, MA dan masih banyak lagi.

Sangat beruntung saya berkesempatan “berkenalan” dengan sosok Inyiak Parabek. Mencoba melacak langsung jejak kehidupannya, menyelami nilai-nilai keshalihan yang masih terekam jelas dalam benak para murid-muridnya, hingga merasakan langsung kehidupan di Sumatera Thawalib Parabek, sebagai warisan beliau, sungguh mencerahkan. Hasilnya, saya coba untuk berbagi dalam buku biografi ini. Sekaligus menjadi buku pertama saya. Lega rasanya. "Telur yang keras" itu pecah juga akhirnya. Betapa telah sejak lama, saya ingin menulis sebuah buku, berkali-kali saya inginkan dan ungkapkan. Baru kali ini bisa terwujud. Alhamdulillah…Hanya Allah Ta’ala yang memberi kesempatan dan kemudahan.

Selama berinteraksi dengan para narasumber dan mengamati langsung berbagai hal yang terkait dengan Inyiak Parabek, saya menangkap semangat luar biasa dari para pengelola Yayasan Syekh Ibrahim Musa, para pimpinan sekolah dan dewan guru, hingga siswa dan masyarakat sekitar untuk tetap memelihara warisan, bahkan membangkitkan kembali nilai-nilai inspiratif yang pernah diajarkan Inyiak Parabek. Istilah mereka dalam pepatah Minang : Mambangkik batang tarandam. Sebuah upaya untuk menghidupkan nilai-nilai luhur dan keutamaan yang semakin lama semakin terkikis. Termasuk upaya untuk bangkit kembali karena sedikit terlena oleh nama besar dan kejayaan di masa lalu. Manusia bisa berganti, Zaman terus berubah. Tapi semangat dan inspirasi akan terus lestari. Saya sampai pada kesimpulan bahwa Inyiak Parabek adalah ulama yang membangkitkan para murid dan masyarakatnya dari kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya ilmu, dari ketergantungan menuju kemandirian.

Buku ini berisi jejak kehidupan Inyiak Parabek, inspirasi Inyiak Parabek dalam pendidikan, hingga gambaran komprehensif tentang Sumatera Thawalib Parabek. Sekolah berusia 1 abad yang telah menghadapi beragam dinamika, hingga saat ini. Saat ketika sekolah ini sedang mengobarkan semangat kebangkitan: Menjadi sekolah yang mencetak ulama intelektual. Semoga karya sederhana ini membawa manfaat..!

Media Online Cetak Sejarah Pulitzer

8:15:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Jakarta - The Washington Post dan New York Times boleh saja mendominasi penghargaan tahunan jurnalisme Pulitzer. Tetapi yang menarik di tahun ini adalah, untuk pertama kalinya ajang bergengsi tersebut memberikan penghargaan kepada media online.

Sang penerima award tersebut adalah ProPublica, organisasi online non-profit, yang memenangkan penghargaan Pulitzer atas laporan investigasinya mengenai Rumah Sakit New Orleans setelah bencana badai Katrina yang menerjang Amerika beberapa waktu lalu.

Sementara, penghargaan editorial kartun diraih oleh SFGate.com. Berikut adalah para pemenangnya, seperti dikutip detikINET dari BigNews Network, Selasa (13/4/2010):

1. Public Service : Herald Courier Publisher
2. Breaking News Reporting : The Seattle Times Staff
3. Investigative Reporting : Sheri Fink (ProPublica) & The New York Times Magazine, Barbara
Laker & Wendy Ruderman (Philadepia Daily News)
4. Explanatory Reporting : Micheal Moss and friends (The New York Times Staff)
5. Local Reporting : Raquel Rutledge (Milwaukee Journal Sentinel)
6. National Reporting : Matt Richtel and friends (The New York Times Staff)
7. International Reporting : Anthony Shadid (The Washington Post)
8. Feature Writing : Gene Weingarten (The Washington Post)
9. Commentary : Kathleen Parker (The Washington Post)
10. Criticism : Sarah Kaufman (The Washington Post)
11. Editorial Writing : Tod Ronnerson, Colleeb McCain Nelson, dan William McKenzie (The
Dallas Morning News)
12. Editorial Cartooning : Mark Fiore (SFGate.com)
13. Breaking News Photography : Mary Chind of The Des Moines (Iowa)
14. Feature Photography : Craig F. Walker (The Denver Post)
15. Fiction : 'Tinkers' (Paul Harding)
16. Drama : 'Next to Normal"
17. History : 'Lords of Finance: The Bankers Who Broke the World' (Liaquat Ahamed)
18. Biography : 'The First Tycoon: The Epic Life of Cornelius Vanderbilt' (TJ Stiles)
19. Poetry : 'Versed' (Rae Armantrout)
20. General Nonfiction : 'The dead Hand: The Untold Story of the Cold War Arms and Its
Dangerous Legacy' (David Hoffman)
21. Music : Violin Concerto (Jennifer Higdon)
22. Special Citation : Country Music Pioneer (Hank Williams)

Sumber : detik.com

Menulis Hard News & Soft News

4:52:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Berita langsung (hard news/straight news) dan berita ringan (soft news) paling banyak ditemukan di surat kabar maupun media massa lainnya. Seorang wartawan, tentu sangat piawai dalam menuliskannya. Mahasiswa komunikasi, juga harus memiliki kemampuan menulis berbagai ragam berita, termasuk 2 jenis berita itu.

Hard News dipahami sebagai berita yang dibuat untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa yang secepatnya harus diketahui khalayak. Karena itu penulisannya mengikuti struktur piramida terbalik, dengan bagian yang terpenting pada pembukaan berita. Sedangkan Soft News, adalah berita tentang kejadian yang bersifat manusiawi dalam sebuah peristiwa yang penting. Dengan begitu, peristiwa yang penting menjadi dasar bagi penulisan sebuah berita ringan. Prinsip penulisannya tidak terikat pada struktur piramida terbalik. Sebab yang akan ditonjolkan bukan unsur pentingnya, tetapi unsur yang bisa menarik perasaan khalayak. 

Cara paling ampuh belajar menulis berita, tentu dengan langsung berlatih menjalani prosesnya. Mencari fakta, menganalisis fakta, dan mencoba menuliskannya. Jika telah ditulis, proses mengedit, dan menerbitkan, akan lebih mudah dilakukan. 

Untuk peserta mata kuliah Penulisan Berita, mari berlatih (lagi) menulis Hard News & Soft News. Silahkan anda mengumpulkan fakta-fakta yang memiliki nilai berita (news value) dari mana saja. Tentu harus fakta yang sesungguhnya, bukan rekaan, atau copy paste dari berita yang sudah ada. Kemudian tulislah 1 hard news dan soft news, dan uploadlah di blog kelompok masing-masing. Deadline : Selasa,  13 April 2010, pukul 20.00 wib. Selamat berlatih ! (**Subhan Afifi)

Membongkar Mitos tentang Ayah

9:25:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

”Dunia tidak akan pernah mengerti,” begitu catatan yang ditinggalkan seorang ayah di California ketika menembak dirinya sendiri. Si ayah belum sempat menghadapi tuntutan pengadilan ketika mengakhiri hidupnya secara tragis. Semua orang memang tak akan pernah mengerti, bagaimana ia membenci anak perempuannya, Genie (nama samaran), teramat sangat. 

Gadis kecil 13 tahun itu, harus melupakan indahnya masa kecil, hidup dalam “penjara” yang diciptakan ayahnya sendiri. Sehari-hari Genie diikat dalam sebuah tempat duduk yang ketat, tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia dikurung dalam kurungan besi tanpa diberi makan. Jika menangis, si ayah akan memukulnya dengan kejam. Genie juga tidak boleh diajak berkomunikasi. Mendengar orang bercakap-cakap saja tidak boleh. Genie terbebas, ketika ibunya membawanya lari dari rumah, dan si ayah ditangkap polisi, sampai akhirnya bunuh diri. Kisah tentang Genie dan ayahnya ditulis kembali secara menarik sebagai pembuka dalam buku Psikologi Komunikasi. 

Ayah Genie tentu contoh yang ekstrim tentang akibat buruk dari mitos-mitos yang melingkupi diri seorang ayah. Mitos bahwa ayah punya kekuatan dan kekuasaan yang tak boleh diganggu-gugat. Kekuasaan yang boleh dipamerkan, bahkan dengan kekerasan. Contoh-contoh lain dengan skala yang lebih ringan bersliweran di tengah kita. Ayah yang merasa benar sendiri, menang sendiri, dan sibuk sendiri, sehingga hanya meluangkan sedikit waktu untuk anak-anak adalah citra yang terbangun oleh mitos-mitos itu. 

Jika dibuat daftar, maka mitos tentang ayah akan semakin panjang. Ayah digambarkan sebagai sosok yang kaku, hanya berkutat pada soal disiplin dan keteraturan, serta sulit dekat dengan anaknya. Kedekatan dengan anak seolah-olah menjadi monopoli ibu. Ayah tak ingin disibukkan dengan urusan anak-anak, bahkan untuk sekedar menggendong, mencium dan membelai si kecil. Ayah juga dianggap tak mampu merawat anak-anak. Coba saja, ayah dibiarkan pergi atau di tinggal berhari-hari bersama anak, tanpa sang bunda. Pasti akan kerepotan. Itu kata mitos. 

Bahkan pekerjaan yang “pantas’ atau “tidak pantas” dilakukan seorang ayah, juga dipengaruhi mitos-mitos. Dalam sebuah pengajian, seorang Ustadz menjelaskan hadist tentang terlaknatnya seorang laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki, baik dalam berperilaku maupun berpakaian. Setelah diberi kesempatan, seorang peserta ta’lim bertanya serius. Katanya, “Apakah pengertian hadist itu termasuk pada seorang suami yang juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan istri, seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci, atau bahkan pergi ke pasar?”. Tentu saja santri yang lain tertawa. Sang Ustadz, menjawab dengan balik bertanya bijak, “Sejak kapan pekerjaan-pekerjaan seperti itu diberi jenis kelamin “perempuan” ?. Bisa jadi, pertanyaan itu juga dipengaruhi oleh mitos, bahwa ayah tidak boleh direpotkan dengan urusan pekerjaan yang dianggap bukan “bidang”nya. 

Sebenarnya Rasululloh Sallallahu ‘Alaihi Wassalam, teladan sejati, telah membongkar mitos-mitos tentang ayah itu, ribuan tahun yang lalu. Tentu kisah bagaimana Rasululloh menunjukkan kelemahlembutan, kasih sayang pada anak-anak dan juga cucu-cucu beliau sering kita dengar. Bagaimana beliau bermain kuda-kudaan dengan Hasan dan Husein, dan selalu menciumi mereka penuh kasih, membuat para sahabat terheran-heran. Salah seorang dari mereka, Aqra’ bin Habis at-Tamimi bahkan berkomentar “Aku punya sepuluh anak, tetapi tidak satupun dari mereka yang pernah kucium.” Maka lahirlah sabda Rasul yang terkenal itu : “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi ” Man la yarham, la yurham…!

Saya jadi teringat pernah melakukan perjalanan dengan beberapa sahabat untuk berbagi cerita dalam sebuah workshop penulisan di luar kota. Salah seorang diantara mereka membawa serta 1 orang “prajurit” dan 1 “srikandi” kecil yang sedang lincah-lincahnya. Ketika itu, bunda mereka di rumah, dan baru saja mendapat anugerah adik bayi. (Kini, mereka sudah dapat 1 tambahan lagi permata hati…Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi keluarga bahagia ini…). Ah..betapa indahnya melihat kejadian-kejadian menggelikan sekaligus mengharukan antara ayah dan 2 anak balita itu. Bagaimana sang ayah yang sedang bertugas, harus menjadi penengah jika kakak dan adik itu bertengkar, mengejar-ngejar si kakak sambil menyuapi si kecil, hingga mereka bertiga tidur kelelahan, berpelukan di lantai beralas karpet biru itu. Begitu damai.. Tak pernah saya dengar sang ayah, membentak, menumpahkan amarah Bahkan terlihat kesal pun tidak. Hari itu mitos tentang ayah sedang dibongkar oleh sahabat saya itu. Ayah tak harus sok kuasa, sedikit-sedikit marah, atau gemar bermain kekerasan atas nama “kewibawaan” dan “ketegasan”. Ayah juga bisa lembut, penuh kasih sayang, dan sangat bisa dekat serta piawai merawat anak. Saya sangat ingin menjadi salah satu ayah macam itu. Tentu saja, bukan seperti ayah-nya Genie. Naudzubillah….! (***Subhan Afifi)

Dasar-Dasar Jurnalistik

7:28:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Bagi yang ingin memahami konsep penting dalam Dasar-Dasar Jurnalistik, materi ajar yang dibuat oleh Bapak Agung Prabowo, berikut ini dapat dijadikan sebagai acuan penting. Tentu dengan tambahan buku-buku jurnalistik yang banyak sekali beredar di pasaran.

http://www.ziddu.com/download/9076247/PengertianJurnalisme.ppt.html
http://www.ziddu.com/download/9076252/NilaiBerita.ppt.html

Penulisan Berita

6:58:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Berita adalah salah satu produk jurnalistik yang paling dominan. Keahlian menulis berita merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki calon wartawan. Bagi yang ingin menggeluti dunia profesional lain, seperti public relations officer, penulis, peneliti, analisis, pengamat, dan lainnya, memerlukan keahlian ini, untuk menunjang pekerjaannya.
Beberapa sumber bacaan berikut ini dapat digunakan sebagai referensi bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memahami konsep dan berlatih secara praktis penulisan berita :


Semoga bermanfaat..

Ekonomi Politik Media

2:16:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Ekonomi Politik Media adalah salah satu mata kuliah yang diajarkan di konsentrasi Media dan Jurnalisme, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta. Mata kuliah memberikan berbagai konsep tentang aspek-aspek ekonomi dan politik yang mempengaruhi industri media massa. Kebijakan media massa yang dapat dilihat dari berbagai level seperti mikro (teks/content media), meso (struktur industri dan praktek-praktek dalam produksi media) dan makro (lingkungan eksternal media) ,  dapat ditelaah melalui perspektif ekopol media ini. Persoalan-persoalan seperti komodifikasi, strukturasi, dan keterkaitannya dengan isu-isu kotemporer seperti kekuasaan, idiologi, ketimpangan sosial, dan sebagainya, akan didiskusikan secara mendalam dalam mata kuliah ini. Substansi teoritis dan historis ekopol media, konteks mikro (representasi idiologi), dan konteks makro ekopol media (seperti isu kapitalisme, liberalisme, neo liberalisme), serta konteks global, dan praktek ekopol media di Indonesia menjadi bahasan dalam mata kuliah ini. Harapannya mahasiswa akan dapat melakukan kajian komprehensif terhadap industri media massa dengan pendekatan ekonomi politik.


Beberapa buku yang bisa dijadikan acuan adalah :

Masco, Vincent, 1996, The Political economy of Communication, Sage Publications, London
Achmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Pustaka pelajar, Yogyakarta
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, LKiS, Yogyakarta
Mc Quail Dennis, 2005, Mass Communication Theory, Sage Publication, London

Mendidik dengan Keteladanan

2:26:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Januari lalu saya berkesempatan mengunjungi TKIT Ya Bunayya dan SDIT Al Madinah, Hidayatullah Kebumen untuk berdiskusi tentang Strategi Public Relations Sekolah. Selain terkesan dengan bersih dan asrinya lingkungan kampus yang membuat para siswa betah belajar dan bermain serasa di rumah, saya menaruh apresiasi mendalam dengan tagline sekolah itu “Mendidik dengan Keteladanan”.

Sebuah cita-cita dan komitmen, sekaligus janji yang harus ditepati. Para ahli pemasaran menyebutnya dengan istilah positioning. Bagaimana pengelola suatu lembaga ingin memposisikan produk, merek dan lembaganya dalam benak pelanggan yang menjadi target pasar. Positioning adalah “janji” yang akan ditagih, sekaligus merupakan “reason for being” bagi lembaga. Pilihan positioning itu sangat tepat. Di saat orang tua dan masyarakat resah dengan semakin susahnya mencari sosok teladan sejati, bukan sekedar formalitas, sekolah itu menyodorkan secercah harapan untuk “Mendidik dengan Keteladanan.” Satu keteladanan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Itu kata orang bijak Walau para pendidik berbuih-buih berkhotbah tentang kejujuran, tapi perilaku menipu berjamaah dalam ujian nasional misalnya, ditampakkan secara kasat mata, anak didik justeru akan menyerap lebih cepat pelajaran tentang korupsi. Pendidikan tak kan pernah mencapai kesejatiannya tanpa keteladanan.

Bicara tentang keteladanan, saya jadi ingat peran keayahan (fatherhood), yang saya dan para ayah lain jalankan. Menjadi teladan, adalah salah satu soal ujian tersulit yang dihadapi para ayah. Bicara dengan fasih tentang ini itu, adalah salah satu keterampilan utama para ayah yang sejak lama dikenal sebagai komunikator hebat. Tapi mewujudkannya dalam bentuk riil, mudah dilihat dan dijadikan sebagai model hidup, tanpa perlu teori panjang lebar, masih perlu banyak latihan. Para ayah yang perokok berat, tentu tak berharap anak-anaknya kelak menjadi “ahli hisab” (gemar menghisab asap, maksudnya). Nasehat “Jangan sekali-sekali merokok ya Nak, nggak baik untuk kesehatan, boros juga, kan boros teman syetan, ” yang diberikan kepada sang anak dengan lemah lembut tapi di bibir masih terselip lintingan tembakau 9 cm, tentu hanya akan dianggap lelucon. Petuah untuk rajin belajar, gemar membaca dan mengurangi menonton televisi akan terasa hambar, bila sang ayah justeru tak boleh terganggu sedetikpun dari tayangan kegemarannya, dan jarang terlihat membuka buku. Ajakan ayah untuk bersikap sabar dan menghindari marah, pada kakak dan adik yang sedang bertengkar, tapi disampaikan dengan mata melotot, suara keras, dan gerakan tangan untuk menjewer, tentu susah dipahami substansinya oleh sang anak.

Adil Fathi Abdullah dalam “Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)” menekankan bahwa faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayah lah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang,” tulis Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan.

Dorothy Law Nolte juga telah lama mengingatkan bahwa “Children Learn What They Live”. Anak belajar (terutama) dari kehidupan yang dijalaninya. Bukan sekedar dari untaian kata-kata dan nasehat. “If children live with criticism , they learn to condemn”, kata Dorothy. Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki. Atau, “if children live with hostility, they learn to fight,” jika anak dibesarkan dengan permusuhan, mereka belajar berkelahi. Bukankah sikap kita yang sering menyalahkan, membandingkan, mencela, bahkan sering menunjukkan sikap yang tidak bersahabat tanpa sebab terhadap mereka, adalah pelajaran efektif yang siap ditelan?

Ah, saya jadi malu dengan belum satunya kata dan perbuatan dalam mendidik para anugerah terindah itu. Tapi, rasanya belum terlambat untuk bergegas. Minimal berusaha menjadi sahabat dengan persediaan kasih sayang tak terbatas yang bisa dipercaya oleh mereka. “If Children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live”, masih kata Dorothy yang terngiang-ngiang di telinga saya. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk ditinggali. Mereka juga belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Jika para ayah sudah jadi teladan, tentu para bunda akan tersenyum lebih lebar, bulan pun akan terasa lebih terang. Anda Setuju? (***)

Mantan Loper Koran Raih Gelar Doktor di UI

7:10:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Sahabat saya, Basuki Agus Suparno, meraih gelar Doktor di UI. Alhamdulillah, Kamis (14/1), saya dan kawan-kawan dari Jurusan Ilmu Komunikasi UPN, berkesempatan menghadiri ujian promosi doktornya. Sebuah "drama" yang sangat inspiratif. Pak Basuki lulus dengan sangat memuaskan. Saya dan Pak Basuki, masuk UPN bareng, Desember 2007. Kami merangkai aneka cerita di dunia pencerahan di kampus babarsari. Mulai dari cari kost bareng saat awal di UPN, sama-sama jadi dosen yunior, "hunting" calon isteri (hehe), bikin kegiatan ini itu, merintis usaha kursus bahasa Inggris (LTI Jogja), hingga bikin jurnal internasional (IJCS). Pak Basuki dan saya sebenarnya bersamaan ditugaskan UPN untuk S3 (tahun 2005). Tapi saya memanfaatkan kesempatan itu setahun kemudian dengan mendaftar di University of Malaya. Ia memilih UI dan lulus, sedangkan saya masih harus berjuang. Semoga segera menyusul ya..

Pak Basuki adalah sahabat dan guru saya sekaligus. Darinya saya banyak belajar. Mulai dari teori komunikasi, metodologi hingga tentang kehidupan. Saya terpesona ketika promotornya, Prof Dr Alwi Dahlan, dalam sambutannya sesaat setelah gelar Doktor resmi diberikan, menceritakan secara runtut dan detail perjalanan hidup Pak Basuki. Mulai dari jadi loper koran, tukang semir sepatu, penjual kantong plastik di pasar, hingga pedagang asongan di kereta api. Sebagian dilakukannya sembari menempuh S1 Komunikasi di UNS Solo. "Saya susah membayangkan, bagaimana ia belajar, mungkin baca bukunya, sambil loncat dari satu gerbong ke gerbong lain," kata Prof Alwi. Pak Basuki memang punya tradisi membaca yang sangat kuat, ringan menolong orang lain, dan sangat religius. Pak Basuki telah memberi inspirasi pada dunia. Liputan Kompas dan Vivanews.com menceritakannya lebih rinci. Selamat Pak Bas..Sukses dan terus Berkarya untuk Kehidupan yang Abadi...!

****

Mantan Loper Koran Raih Gelar Doktor di UI
Jumat, 15 Januari 2010 | 04:03 WIB

DEPOK, KOMPAS - Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Indonesia, yang dipimpin Prof Dr Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi, Kamis (14/1) di kampus FISIP UI, Depok, menarik perhatian banyak kalangan intelektual. Seorang yang dikenal dulunya sebagai loper koran, Basuki Agus Suparno (39), berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Komunikasi.
”Setelah mempertimbangkan disertasi berjudul Kontestasi Makna dan Dramatisme (Studi Komunikasi Politik tentang Reformasi di Indonesia) dan jawaban yang diberikan saat sidang,Basuki Agus Suparno lulus dengan nilai sangat memuaskan,” kata Ilya Revianti Sudjono Sunarwinadi setelah berapat selama 15 menit dan sidang selama 2 jam.
Promotor Prof M Alwi Dahlan, PhD mengatakan, Basuki Agus Suparno adalah doktor ke-42 lulusan program Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia.
”Yang membedakannya dari lulusan doktor yang lain, Basuki adalah tamatan pertama yang memulai karier komunikasi dari bawah, yakni dari loper koran. Juga dari keluarga besar, anak ke delapan dari sembilan bersaudara,” katanya.
Alwi yang menguji Basuki ketika masuk program S-3 di UI, seperti tak percaya dengan semangat belajar Basuki, yang juga pernah menjadi pengasong di gerbong kereta api.
Basuki Agus Suparno dalam disertasinya mengkaji tentang kontestasi makna reformasi dalam drama politik pada tahun 1997 sampai 1998 di Indonesia dan bagaimana aktor-aktor politik berkomunikasi tentang reformasi dalam drama politik itu.

Tiga dari lima hasil penelitian, yaitu, pertama, situasi pencalonan presiden untuk masa bakti 1998-2003 yang memperlihatkan adanya kompetisi dan saling bersaing antara mereka yang menginginkan Presiden Soeharto tidak dicalonkan dan yang mencalonkan kembali. Kedua, aksi dan demonstrasi mahasiswa yang memperlihatkan persaingan antara mereka yang menghentikan gerakan dan yang berkeinginan memperluas gerakan, serta tingkat partisipasi guna menjatuhkan Presiden Soeharto. Ketiga, kerusuhan massa yang memperlihatkan persaingan pemikiran antara yang melihat sebagai akibat kesenjangan sosial dan pembangkangan sipil.
”Hasilnya, Presiden Soeharto menyatakan berhenti, rezim Orde Baru diganti, dwi fungsi ABRI dicabut, amandemen UUD 1945,” kata Basuki. (NAL)




Tukang Koran Jadi Doktor Komunikasi UI
Basuki Agus Suparno (39) baru satu hari menjadi doktor komunikasi UI.
VIVAnews - Basuki Agus Suparno (39) baru satu hari menjadi doktor komunikasi Universitas Indonesia (UI). Sepuluh tahun lalu saat menjadi tukang koran, semir sepatu dan jual kantong plastik, Basuki tak pernah menduga akan menikmati bangku sampai S3.

"Dari sekitar tahun 1990 saya jualan koran di jalan-jalan Sragen sampai tahun 1996," kata Basuki Agus Suparno dalam perbincangan dengan VIVAnews, Jumat 15 Januari 2010.

Kisah pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 6 Mei 1971 itu bermula saat sang ayah dipecat sebagai pegawai administrasi di pabrik gula daerah Mojo, Sragen, sekitar 1977. Sang kepala keluarga dikeluarkan karena alasan krisis.

"Lalu kami pindah ke Jakarta sekitar tahun 1978. Di Pasar Kramat Jati, saya jualan kantong plastik dan nyemir sepatu," ujar anak ke 8 dari 9 bersaudara ini.

Selama di Jakarta, Basuki kecil sempat mengenyam pendidikan dari kelas 2 Sekolah Dasar (SD) hingga kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tetapi, pada 1983 datang kabar duka. Sang ayah meninggal dunia. Keluarga Basuki kembali ke Sragen.

"Kami pulang ke Jawa dan di sana mengelola kebun. Ada sekitar 20 pohon kelapa. Lumayan buat makan tiap hari ditambah kiriman beras dari kakak ipar," kata pria yang juga dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini.

Masuk SMA sekitar tahun 1983. "SMA favorit, SMAN 1 Sragen," singkatnya. Meski tak ada biaya, motivasi luar biasa bergemuruh di dalam dada Basuki. Alhasil ada jalan keluar.

Basuki gagal di Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun pertama. Tahun berikutnya keberuntungan berpihak padanya. Basuki diterima menjadi mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Solo, jurusan komunikasi.

"Tahun 1991 kuliah di UNS biayanya dari koran. Jualan koran di jalan-jalan Sragen. Kalau jadi agen koran enak, tapi saya betul-betul ambil koran lalu dijual," kata dia lagi.

"Dari koran itu saya dapat keuntungan sekitar Rp 6.000 sampai Rp 7.000," tegas dia.
Kemarin, Kamis 14 Januari 2010, Basuki menjadi doktor ke-42 lulusan program Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Mimpi itu terwujud berkat satu kata, kemauan.


ismoko.widjaya@vivanews.com


Sumber : http://nasional.vivanews.com/news/read/121525-tukang_koran_itu_jadi_doktor_komunikasi_ui