Berhaji dengan “Enteng”

10:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Jika sedang di Jogja, saya selalu menyempatkan diri menghadiri pertemuan di rumah Prof Dr Indarto, mantan Dekan Fakultas Teknik UGM, setiap Rabu malam. Kami menyebut pertemuan itu dengan “Forum Seturan”. Awalnya memang karena pertemuannya diselenggarakan di rumah Pak Indarto ketika masih di Seturan. Hingga tuan rumah pindah ke Wedomartani pun, forumnya tetap disebut Forum Seturan, yang belakangan diplesetkan menjadi Forum Studi Relawan Pendidikan. Forum itu menjadi semacam think thank pengembangan pendidikan Islam. Hasil obrolan sana-sini biasanya menjadi bahan pengembangan SDIT Hidayatullah Yogyakarta dan beberapa sekolah Islam lainnya di Yogyakarta.


Pertemuan Forum Seturan yang dimulai dengan shalat Magrib berjamaah itu biasanya diisi terlebih dahulu dengan pengajian bersama Ustadz Bagus Priyo Sembodo. Ustadz Sembodo biasanya membahas secara runtut hingga tuntas sebuah kitab. Kami pernah diajak mengkhatamkan kitab hadist “Arbain”, dan kini kitab tafsir Al-Qur’an, Karimirrahman yang disusun Al ‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, menjadi menu rutin pengajian.

Rabu malam tiga minggu lalu, seperti biasa Ustadz Sembodo secara menarik dan menyentuh hati, membahas Tafsir Surat Adh-Dhuha. Usai membahas ayat terakhir “Wa amma bini’mati Rabbika fa haddist, Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”, Ustadz Sembodo, tiba-tiba menyentak perhatian hadirin. “Saya ingin menyebut-nyebut nikmat besar Allah yang diberikan kepada saya, InsyaAllah besok pagi saya berangkat haji,”. Spontan saja yang hadir mengucapkan Alhamdulillah, dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Betapa tidak, sang Ustadz, sama sekali tak pernah ada kabar akan berhaji. Tahu-tahu pamit mau berangkat besuk pagi. Tak ada ramai-ramai, syukuran, pamitan dan sejenisnya. Bahkan banyak diantara kami yang sering jumpa dan bergaul dengan beliau tak tahu sama sekali rencana itu.

“Bikin rumah, beli mobil, atau apapun, itu tidak wajib,” kata sang Ustadz suatu saat. “Tapi..haji itu wajib.” Haji lah yang seharusnya didahulukan dari beragam keinginan dan kebutuhan di dunia. “Nanti lah suatu saat akan saya ceritakan bagaimana saya bisa berhaji,” katanya malam itu. Mungkin membaca rasa ingin tahu para muridnya, “koq Ustadz bisa naik haji sih”, kalau melihat kehidupan beliau dengan 1 isteri dan 6 anaknya (yang juga diakuinya sendiri) sangat sederhana.

Saya membayangkan betapa “enteng”nya haji ketika penyikapannya a la Ustadz Sembodo. Enteng karena tak perlu syarat macam-macam yang super berat ketika orang ingin berhaji,dan sering kita temui. Berat karena masih menunggu hidup berkecukupan dengan rumah megah dan mobil mewah, baru naik haji. Atau menunggu anak-anak yang jadi tanggungan besar dan sukses. Atau malah menunggu “kesiapan, panggilan dan hidayah”, karena merasa masih bergelimang dosa. Atau menjadi berat karena prosesi haji diikuti dengan beragam “ritual” yang biayanya bisa lebih mahal dari ongkos naik haji.

Ketika berangkat, kesan “berat” juga sulit dihilangkan. “Berat” arti fisik benar-benar terlihat dari barang bawaan para jamaah haji. Banyak para jamaah yang merasa tak nyaman jika tak membawa beragam bawaan yang sebenarnya tidak diperlukan atau bahkan dilarang. Para petugas ketika pemberangkatan harus bersusah payah menggeledah tas besar jamaah. Para jamaah masih sulit diajak untuk membawa barang bawaan sekedarnya. Bawaan barang yang berlebihan hanya akan menyulitkan. Ketika pulang, bawaan itu dipastikan akan “beranak-pinak” karena bawaan dari Arab Saudi lebih banyak lagi. Di bandara King Abdul Aziz Jeddah, ketika pemulangan barang bawaan yang tidak boleh dibawa karena melebihi kapasitas yang diizinkan menggunung dan menjadi mubazir. Di tanah suci, aktivitas berbelanja oleh jamaah haji merupakan pemandangan sehari-hari, dan jamaah Indonesia dikenal royal plus gemar berbelanja. Berbelanja oleh-oleh untuk sanak keluarga tentu tidak dilarang, tetapi ketika aktivitas itu memberatkan diri sendiri dan orang lain, menjadi layak dipertanyakan.

Secara non fisik kondisi “berat” jamaah juga terlihat dari kondisi kesehatan. Banyak jamaah yang dalam kondisi sakit, sudah sangat sepuh, bahkan stress berhaji, sehingga “memberatkan” dirinya, dan orang lain. Kondisi ini merupakan efek dari merasa “berat” untuk berhaji di usia muda dengan beragam alasan. Dari aspek ibadah manasik haji yang dijalankan sebagian jamaah tergolong berat. Banyaknya do’a yang harus dibaca menjadi beban tersendiri bagi jamaah. Padahal do’a-do’a yang dituntunkan tidak lah sebanyak dan seberat itu. Ketika pulang pun “berat”nya haji tergambar pada harapan masyarakat maupun diri sendiri dengan status Pak Haji dan Bu Haji. Status yang seringkali menjadi ujian keikhlasan. Di beberapa daerah status ini malah memiliki posisi tawar tersendiri secara sosial, ekonomi, bahkan politik.

Sudah saatnya berhaji disikapi dengan “enteng”. Tentu bukan menggampangkan. Kalau haji itu mudah, kenapa dibikin susah. Niat kuat, mengumpulkan bekal secukupnya, berangkat dengan ringan, dan akhirnya pulang, InsyaAllah, menjadi haji yang “entengan”. Enteng beribadah, enteng berbuat untuk sesama. Bukan sebaliknya. (***Subhan Afifi)

0 komentar: