Menjadi Ayah yang Dicintai

12:10:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang sahabat berkisah tentang pengalamannya di padang Arafah. Saat prosesi puncak haji yang menggetarkan jiwa itu, hampir seluruh jamaah haji sedunia menitikkan air mata. Larut dalam do’a dan istighfar. Terbayang akan dosa dan kepongahan. “Saya menangis, karena ingat anak saya…” tuturnya menyebut “jenis” dosanya yang paling diingat saat itu. Sahabat itu pernah sangat marah pada anaknya. “Nangis nggak diam-diam, saya seret dia ke kamar, saya kunci dari luar,” lanjutnya. Tentu saja tangis sang anak tambah melengking. Sampai akhirnya benar-benar diam karena kecapekan dan dicuekin ayahnya. “Saya sungguh menyesal,” katanya mengenang.

Para ayah yang lain, termasuk saya, tentu punya sederet daftar dosa dan kesalahan pada anak. Biasanya daftar itu akan terbayang-bayang di pelupuk mata ketika sang anak sedang jauh di mata. Penyesalan sudah tentu datang terlambat. Marah, membentak, atau merasa “pasti benar” sering menjadi “kebiasaan” para ayah. Sebagian yang lain, bahkan mungkin tega-teganya “bermain tangan” alias menghukum dengan kekerasan, dengan berbagai dalih.

Kesibukan di luar rumah dan kepenatan di dunia yang keras dan penuh persaingan, menjadikan para ayah gampang “tersulut”. “Ayah bisanya cuma marah-marah dan terima beres,” begitu mungkin citra yang dilekatkan anak pada ayahnya yang suka marah-marah dan tak peduli. Padahal, ayah adalah model kehidupan. Sikapnya di rumah, perhatiannya terhadap keluarga dan orang lain akan disimpan dengan rapi di ingatan anak. Rekaman itu akan segera dihadirkan sebagai kebiasaan dan juga perilaku di kemudian hari. Dari ayah anak belajar beragam keterampilan hidup. Cara berlogika, bersaing, bekerjasama, menghitung resiko, mencari solusi, atau bahkan mengungkapkan kemarahan, “dicatat” baik-baik oleh anak dari sang guru kehidupannya itu.

Dibanding ibu, apa yang diberikan dan dilakukan ayah untuk anak tidaklah seberapa. Wajar jika Rasululloh SAW menyebut ibu beberapa kali, baru kemudian ayah, ketika ditanya seorang sahabat tentang kepada siapa dia harus berbakti. Pengalaman keseharian menunjukkan betapa anak lebih ingat (dan tentu lebih cinta) pada ibunya, karena apa yang diberikan ibu jauh lebih banyak. Coba saja, ketika anak sakit atau bangun tidur, siapa yang dipanggilnya pertama : ”Ibu......!”. Bukan ayah. Bagi sebagian anak, ayah malah sering menjadi momok yang “menakutkan”. “Awas lho.. jangan nakal, nanti dimarahi ayah, “Belajar sana, nanti gak dikasih uang jajan lho sama ayah..!, ”Cepet sembunyi, ayah datang..!”, ungkapan-ungkapan spontan itu mungkin pernah kita dengar dalam percakapan diantara anak.


Kasih sayang dan cinta ibu memang tak mungkin tersaingi. Tapi, dengan segala “keterbatasan"nya, sosok ayah masih sangat berpotensi meraih cinta yang tulus dari anak. Lagipula ayah mana sih yang tidak cinta sama anaknya. Ayah hanya perlu memoles sedikit cara berkomunikasinya pada anak. Ketegasan tak harus diekspresikan dengan kemarahan. Sosok ayah yang berwibawa tak perlu dicitrakan dengan cara “menjaga jarak”. Jaim alias “jaga image” kata anak sekarang. Justeru yang diperlukan adalah sosok sahabat. Sangat diperlukan bahkan, ayah menunjukkan perasaannya pada anak. Anak perlu tahu bahwa mereka dibutuhkan dan dicintai ayahnya. Pelukan dan ciuman ayah, adalah bahasa non verbal yang tak ternilai.
Disiplin tak harus diajarkan dengan kekerasan dan hukuman. Bahasa cinta dan keteladan jauh lebih efektif digunakan. Gaya komunikasi dengan memberikan instruksi satu arah sudah selayaknya ditinggalkan. Komunikasi yang lebih dialogis dan empatis lebih layak dikedepankan. Kesediaan ayah untuk sekedar bermain, ngobrol, mendengar celoteh, atau menanggapi ide “aneh” anak, akan lebih bermakna, dari sekedar suruh ini, suruh itu. Waktu yang disediakan ayah adalah bukti cinta.


Kebiasaan “minta didengarkan” harus diimbangi dengan keterampilan mendengar. Bukankah hal itu yang lebih diperlukan, ketika anak sedang penasaran, bersedih, atau bingung? Keinginan untuk selalu memberikan solusi pada setiap masalah yang dihadapi anak, bisa diwujudkan dalam bentuk memberi kesempatan mereka mencari jalan keluar sendiri. Nasehat dengan nada memaksa sudah selayaknya dikemas dengan bahasa yang mampu memberi inspirasi dan motivasi.
Saya sedang berusaha menjalankan itu semua. Tak mudah memang. Yang jelas, ketika anak saya, Azzam, diberi home learning oleh sekolahnya, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, untuk menuliskan siapa sosok yang ia sayangi dan mengapa. Saya menempati urutan kedua. Rangking 1 tetap Ummi-nya. Lumayanlah.. ! Saya hanya masih menunggu, suatu saat nanti anak-anak saya, Azzam, Zulfa dan Nuha, akan berbisik malu-malu : “Abi… I Love You !” (***Subhan Afifi)

12 komentar:

  1. Kangmastyo mengatakan...

    Insya Allah Pak Subhan sudah menjadi abi yang dicintai. Lha wong sebelum jadi abi aja udah jadi om yang dicintai kok hehe.

  2. Anonim mengatakan...

    He hehe, jangan2 itu pengalaman penulis sendiri .....

    Posisi ibu memang tidak tergantikan.
    Kalau 'bapak' pulang kantor ya pekerjaan selesai. Tapi seorang
    ibu? Tugas yang menantinya masih luar biasa banyak. (Apalagi
    kalau dosen, masih harus ngurusi rumah tangga sambil nyiapin
    kuliah:-))
    Pak Afifi jangan ngiri dengan yang nomor satu, masalahnya pak
    Afifi tidak pernah punya ikatan batin yang terajut sejak anak2
    ad di dalam kandungan, saat anak2 diberi ASI, saat anak2 tengah
    malam ada dalam dekapan ibu.Kompas 19 Nov '08: dekapan seorang ibu merupakan obat
    alamiah/penghilang rasa sakit anak.Sonora hari ini tadi, menyajikan cerita selingan (saya
    dengarkan sambil jalan, dengan anak saya) dengan judul "seorang
    bayi mencari malaikat". Di situ diceritakan seorang bayi yang
    akan "dikirim" Tuhan ke dunia. Dia menyimpan ketakutan ini dan
    itu (ceritanya panjang dan dikemas sangat bagus). Tuhan
    menjanjikan dia seorang malaikat yang akan mengajari, menjaga,
    dan membela dia bahkan meskipun jiwanya harus terancam karena
    itu. Siapa malaikat yang dijanjikan Tuhan? Itulah sang ibu.Maka, tidak salah kalau Rasulullah menyebut "ibumu" sebanyak
    tiga kali, baru menyebut "bapakmu".

    Nur Indrianti (Via milis dosenupnjogja)

  3. Anonim mengatakan...

    Saya yakin pak afifi udah jadi ayah dan suami yang baik kok......

    Edwi Arief Sosiawan (Via milis dosenupnjogja)

  4. Anonim mengatakan...

    Bagus banget pak sentilan nya, moga2 tidak hanya para ayah yang mengevaluasi diri tapi juga para ibu, termasuk saya yang masih jauh dari kesempurnaan sebagai seorang ibu.

    Salam,
    Novita (Via milis dosenupnjogja)

  5. Anonim mengatakan...

    So...sweet.. !!
    Membaca tulisan paK Afifi sangat mengharukan. Saya jadi ingat Almarhum ayah saya, jadi ingat suami saya yang notabene ayahnya anak2.
    Saya juga jadi ingat setiap lebaran saya selalu bilang ke suami betapa dosa kami sebagai orang tua sangat banyak ke anak2.
    Mereka seringkali menjadi sasaran amarah padahal belum tentu mereka layak dimarahi. Mereka seringkali menangis karena kita, orang tuanya.
    Untungnya anak2 bukanlah individu yang pendendam, karena setelah mereka dimarahi mereka masih bisa tersenyum, masih bisa gembira lagi dan cepat melupakan (mungkin) peristiwa yang baru dialami.
    Semoga kita bisa menjadi orang tua yang "selalu dicintai" anak2nya.

    Ida Susi (via milis dosenupnjogja)

  6. Anonim mengatakan...

    Setuju pak bahwa orang tua juga perlu sekolah untuk menjadi orang tua. Kadang ngeri juga mengingat bagaimana kita menghukum anak atau hanya sekedar "berbicara" dengan anak tapi dengan kalimat dan sikap tubuh yang tidak pas. Kemaren kebetulan saya lihat nanny 911, saya baru tahu bahwa sikap tubuh kita ketika berbicara kepada anak-anak cukup berpengaruh secara psikhologis kepada mereka. Kalau kita "berbicara" dalam tataran memberi tahu sesuatu hal atau berdiskusi mengenai kesalahan yang mereka lakukan sebaiknya kita berdiri atau duduk dengan mata yang sejajar dengan mata mereka sehingga tidak menimbulkan beban subordinasi kepada anak-anak.
    Btw, saya bukan termasuk orang yang percaya bahwa ibu dan bapak bisa diranking karena ada ikatan batin atau apapun itu. Anak saya yang kecil kalo bangun tidur atau nangis karena sesuatu hal maka yang ia teriakkan adalah ... "ayah .......!!!" he he ... ga ngiri juga kok, saya justru bersyukur artinya selama ini suami saya sudah cukup "lumayan" jadi orang tua ...Wah bukannya narsis suami lo ya .. he he..

    Iva *** (via milis dosenupnjogja)

  7. Budi Hamuddin mengatakan...

    goresan tangan yang menyentuh jiwa,dan membuat saya berfikir dan berdoa semoga suatu saat saya bisa menjadi "abi" yang baik buat anak-anak saya kelak,namun yang terpenting sekarang selesaiin study dulu trus nyari "ibu" yang baik buat calon anak-anak saya kelak.. doain yach pak haji semoga bisa terwujud...

  8. Anonim mengatakan...

    azam zulfa nuha udah gede2 sekarang om? lama nian tak jumpa

  9. Anonim mengatakan...

    Sesaat, setelah membaca tulisan Bapak Subhan, saya merasakan kerinduan yang mendalam pada ayah saya....

    Saya harus tetap tegar dan bertahan demi segenggam harapan dan cita-cita pak.Akan saya simpan semua kenangan dan Akan saya terjang semua kerinduan pada ayah saya.

    Saya yakin Bapak Subhan dapat menjadi abi yang baik, bahkan sebagai sosok, tokoh idola.

  10. Selfiyana Astuti mengatakan...

    Aslm. Pak Subhan, salam kenal. Postingnya saya ambil buat bacaan saya dan suami. Suami saya kurang suka baca tapi saya bertekad membacakan segala ilmu tentang menjadi orang tua untuknya (saya juga membaca tentunya), supaya kami sama-sama siap menyambut anak pertama kami. Terima kasih, Pak Subhan.

  11. Anonim mengatakan...

    Menarik. Tulisan pak Subhan di Fahma edisi bulan ini begitu hidup.

    M. Fauzil Adhim

  12. Anonim mengatakan...

    Luar biasa, betul-betul menginspirasi boss, tulisan yang berjudul Menjadi Ayah Yang Dicintai, malam ini dapat kiriman tulisan dari pembaca Fahma karena membaca tulisan Boss.

    Saryo
    Pemimpin Redaksi Majalah Fahma