Do'a Untuk 2 Bunda di Multazam

10:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Langit Mekkah cerah dalam malam Jum’at yang InsyaAllah barokah. Baru saja thawaf yang membangkitkan jiwa itu usai saya tunaikan. Shalat sunnah 2 rakat dekat maqom Ibrahim dan beberapa teguk air zam-zam menjadi penyegar raga tiada tara. Saya mencoba merengsek maju ke arah Multazam. Secuil tempat antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah itu, tak pernah sepi dari lautan hamba yang ingin do’anya diijabahi. Alhamdulillah, setelah bersabar beberapa saat, saya benar-benar berada di salah satu tempat berdoa yang mustajab itu. Saya yang biasanya susah menangis merasakan mata sering bergerimis selama berada di dua tanah suci. Apalagi ini, saat berada di tempat yang sebelumnya hanya terdengar namanya, kini begitu dekat, tak berjarak. Saya tak pernah mencoba merancang permintaan apa yang ingin saya panjatkan. Hanya saja, malam itu, yang teringat adalah orang-orang yang saya cintai, terutama ayah yang telah almarhum dan 2 orang bunda : Bunda saya sendiri yang telah berusia senja, dan bunda anak-anak saya yang telah berbuat begitu banyak. Saya berharap ayah saya diberi pengampunan atas dosa-dosanya, diterima segala amalnya, hingga dimasukkan ke JannahNya.

Khusus untuk Bunda saya, Ya Allah, saya merasa belum berbuat apa-apa untuknya sebagai tanda bakti. Hingga saat ini, saya tak tahu, bahkan mungkin tak punya, apa “amalan andalan” saya terkait dengan pelayanan saya kepada beliau. Saya merasa belum cukup mampu untuk mencukupi semua kebutuhannya. Saya masih sangat egois dengan diri dan keluarga kecil saya. Ah..hingga sebesar ini, saya tetap saja merepotkan beliau, alih-alih sekedar menawarkan solusi dari segala kesusahannya. Saya teramat khawatir, bagaimana jika Bunda saya dipanggil olehNya, sedang saya dalam posisi belum benar-benar jadi anak berbakti. Malam itu, dengan segala kerendahan hati saya minta ampun atas semua itu. Saya berbisik agar Allah memberikan kesehatan, kebaikan dan keberkahan dalam kehidupan Bunda saya. Kalaupun Allah berkenan memanggilnya suatu saat, maka saya memohon agar beliau diringankan dalam Sakratul Mautnya. Diberi akhir yang baik. Bukankah tak ada keindahan dalam akhir kehidupan selain Khusnul Khatimah?

Untuk Bunda anak-anak saya, saya membisikkan harap agar ia diberi kekuatan dan jalan yang terang. Sungguh, peran yang ia sandang jauh lebih berat. Menjadi madrasah bagi permata hati kami, mendapingi jejak hidup saya, sekaligus berbuat yang terbaik untuk ummat melalui keahlian profesionalnya. Maka terbayanglah segala kenaifan saya menghadapi anugerah terindah itu. Sebagai suami, saya sering berperilaku bak presiden negeri super power tanpa cela yang harus diikuti segala maunya. Atas nama cinta dan ketaatan, saya menempatkan diri pada posisi yang selalu harus dilayani, tanpa menyisakan ruang untuk melayani. Astaghfirullah !

Begitulah, dua bunda ini, menyita perhatian saya di Multazam. Sejatinya, membayangkan 2 bunda adalah membayangkan peran ke-ayah-an. Kesuksesan peran ayah, diantaranya, ditentukan oleh mereka berdua. Kelak, bagaimana anak-anak memperlakukan ayahnya ditentukan oleh model perlakuan sang ayah yang diberikan kepada 2 bunda itu (termasuk ayah kandung & ayah-bunda mertua, tentunya). Inilah hukum alam yang sangat rasional. Siapa memberi, dia akan mendapat lebih banyak. Siapa yang melayani dengan ikhlas, ia akan dilayani sepenuh hati. Saat ini, para anak sedang mengintip dengan mata hatinya, bagaimana sang ayah melayani nenek (dan tentu juga kakek) mereka. Apakah ia cukup sabar, atau sering mengeluh, atau bahkan menghadapi mereka sebagai beban? Naudzubillah ! Apakah ”teori” tentang birrul walidain yang sering mereka dengar dari sang ayah, benar-benar ada contohnya? Kalau tidak, jangan kaget, mereka akan setengah berteriak di balik pintu : ”Huuuu ! Preettt !”

Terhadap bunda tercinta mereka, anak-anak sedang meneropong dengan tatapan sucinya, bagaimana sang ayah berbuat dalam keseharian. Apakah bunda mereka yang hebat, diperlakukan seperti ratu atau malah tak ubahnya pembantu? (Bukankah laki-laki terbaik adalah laki-laki yang paling baik memperlakukan isterinya ?). Apakah sang ayah cukup tanggap dengan segala kerepotan bunda mereka, atau tetap memposisikan diri sebagai mandor yang bisanya hanya tunjuk sana, suruh sini? Apakah sang ayah selalu berkata manis penuh penghargaan dan terimakasih atas segala kebaikan yang diberikan bunda mereka? Bukankah bunda mereka terkasih telah menumpahkan segala bentuk kebaikan di rumah, sejak matahari belum terbit, hingga mata sang ayah terbenam ?

****

Malam itu, di Multazam, saya benar-benar bersimpuh, terutama untuk 2 bunda. Terisak karena banyak kekeliruan dan pasang niat untuk lebih baik. Tak tahu mengapa, malamnya saya tertidur begitu tenang. Saya tak sempat lagi mengingat-mengingat apa yang saya panjatkan di Multazam. Pagi harinya, dalam perjalanan menuju bandara King Abdul Aziz Jeddah, saya mendapat sms dari tanah air. Mengabarkan Bunda saya tiba-tiba berada dalam kondisi kritis, padahal sebelumnya sehat wal afiat. Di pagi hari Jum’at itu, Bunda saya baru saja pulang takziyah ke rumah seorang tetangga muslim. Tak banyak yang diucapkan dan dikeluhkannya, ketika beliau masuk kamar, membersihkan diri, dan berbaring menghadapi sakratul maut-nya dengan begitu tenang. Beberapa saat sebelum shalat Jum’at ditunaikan, menurut penuturan orang-orang disekelilingya, Bunda saya menghadap Sang Khalik dengan wajah tersenyum. Innalillahi wa inna ilahi rojiun.
Kekhawatiran saya terjadi juga. Saya akhirnya belum sempat mempersembahkan bakti terbaik untuk bunda saya. Saya bersedih bukan karena kematiannya, karena kematian adalah kepastian. Tak ada yang bisa mengelak darinya. Saya bersedih karena saya belum optimal dalam melayani, persis ketika ayahanda saya wafat 10 tahun lalu, ketika saya, dengan berbagai alasan, belum juga betul-betul menunjukkan tanda-tanda sebagai anak yang berbakti.

Kini, masih ada Bunda anak-anak saya. Saya tak ingin melewatkan kesempatan yang akan berlalu dengan cepat ini. Masih dari tanah suci, saya sempatkan mengirim sms untuknya, semacam pengakuan atas kesalahan dan peneguhan komitmen : ”Sayang, Mas cinta adik karena Allah. Sungguh, cinta yang terus tumbuh dan bersemi, hingga di surga nanti. InsyaAllah!” (**Subhan Afifi)

3 komentar:

  1. Kangmastyo mengatakan...

    Cerita yang mengharukan..Betapa saat indah bersama nenek kini telah menjadi memori. Betapa bersahaja kehidupan beliau, tetapi kaya akan akhlak.

    Btw doa untuk ibu mertua ada kan Om. Jadi seharusnya doa tiga bunda.

  2. Subhan Afifi mengatakan...

    Iya Kang Mas.. Do'a untuk mertua khusus lagi.. tapi nanti lah, biar jadi tulisan satu lagi, hehe..

    Makasih ya..

  3. Kangmastyo mengatakan...

    Oke oke. Bercanda kok Om :)