Media ikut Andil Kekisruhan Pemilu

11:40:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seminar "Posisi Media dalam Pemilu 2009", yang berlangsung Sabtu, 2 Mei 2009, jam 08.00-12.00 WIB, di Ruang Seminar FISIP UPN, berlangsung seru. Bukan saja, karena ruang seminar yang penuh, hingga tak ada kursi yang tersisa, tapi juga pemaparan yang menarik dan diskusi yang berlangsung hangat. Pembicara yang hadir : Dr Henri Kusbianto (Staf Ahli Menkominfo), Dr Kuskrido Ambardi (Direktur Riset LSI), Sasongko Tedjo (PWI/Suara Merdeka), Muh.Najib (KPU DIY) dan saya, Subhan Afifi, hehe.




Saya mencoba menyoroti andil media dalam kekisruhan Pemilu kali ini. Idialnya, media massa mampu menjadi watchdog dalam perhelatan politik besar semacam Pemilu dan Pilpres. Nyatanya, media belum sepenuhnya menjalankan fungsi itu. Media misalnya terjebak pada memberi perhatian lebih pada fenomena kontestasi, siapa menang-siapa kalah, atau persoalan-perosalan yang lebih sexy, semisal bakal capres-cawapres, dibanding memberi perhatian lebih pendidikan pemilih dan sosialisasi Pemilu. Dinamika internal partai politik, lengkap dengan intrik dan konflik para elitnya, lebih menarik perhatian media daripada persoalan faktual seputar persiapan Pemilu. seperti : kesiapan penyelenggara Pemilu, peluang pelanggaran, dan urusan Daftar Pemilih Tetap yang dibelakang hari terbukti menjadi masalah besar. Kisruh tentang Daftar Pemilih Tetap, jika dirunut, juga melibatkan kesalahan media yang tidak memberi porsi memadai untuk mengantisipasi. Pemberitaan media tentang Pemilu 2009, juga ditandai dengan masih minimnya pemberitaan tentang rekam jejak calog legislatif dan partai politik yang menjadi kontestan. Pemberitaan faktual tentang track record ini sangat diperlukan publik untuk menentukan pilihannya. Fenomena masyarakat yang jenuh dengan serbuan visual profil para caleg di jalan-jalan yang lebih banyak menyajikan realitas semu atau polesan, seharusnya ditutupi oleh pemberitaan media massa yang komprehensif tentang kandidat. Masyarakat dengan informasi lengkap akan sangat cerdas menentukan pilihannya. Media massa juga belum banyak menyajikan isu publik (persoalan riil) yang dihadapi masyarakat untuk menjadi agenda publik itu sendiri. Kutipan narasumber elit politik yang selalu menampilkan wacana dari sudutnya pandangnya sendiri masih lebih banyak ditampilkan, dibanding persoalan-persoalan yang riil terjadi. Fenomena publikasi hasil survey Pemilu 2009, di media juga menarik untuk dicermati. Menurut ketentuan, seharusnya pemberitaan media tentang jajak pendapat tersebut menyertakan orang atau partai yang mendanai, metodologi, dan kemungkinan kesalahan (margin of error). Hasilnya memperlihatkan, media massa tidak pernah menyebutkan siapa yang mendanai survei itu. Selain itu, pemberitaan tentang survey masih dominan yang tidak menyebutkan tujuan survey, dan tidak menyertakan metodologi. Penyelenggara survey memang selalu disebutkan. Fenomena itu memberikan catatan tersendiri dan berpeluang memunculkan prasangka negatif tentang hasil survey di masyarakat. 


Khusus untuk televisi, saya memberikan apresiasi terhadap TV One dan Metro TV yang berani menyebut dirinya TV Pemilu dan Referensi Pemilu Indonesia. Program inovatif kedua televisi itu memberikan warna tersendiri bagi kemasan komunikasi politik di tanah air. Hanya saja, sesuai watak kapitalisme televisi yang harus berkompetisi demi rating dan ujung-ujungnya iklan, program-program menarik televisi tentang Pemilu harus dikritisi karena berpeluang mereduksi peran televisi sebagai pendidik masyarakat. Pogram-program yang mengemas dan mengelola citra partai dan kandidat lewat televisi yang terlalu menonjolkan aspek hiburan, sering melupakan esensi dari pendidikan politik. Beberapa program misalnya, menampilkan para caleg di televisi seolah peserta kuis yang harus tampil “heboh” dan kehilangan auranya sebagai politisi sejati dan negarawan. Sulit membandingkan presenter dengan narasumber, atau pelawak dengan politisi, karena semua didorong tampil memukau dan menghibur. Tentu saja agar tayangan itu berating tinggi dan meraup iklan sebanyak mungkin. Program-program Pemilu ditelevisi dikemas dengan orientasi yang sangat konsumtif dan vulgar, seringkali bahkan mengesampingkan etika. Substansi pendidikan politik rakyat terkaburkan oleh polesan hiburan yang tidak perlu. Persis dengan gaya iklan-iklan politik yang hampir pasti menampilkan nama, simbol dan senyuman sang tokoh, tanpa substansi yang mencerdaskan.


Setiap seminar tentunya diharapkan memberikan pencerahan kepada para pesertanya. Saya nggak tahu, gimana respon peserta yang memenuhi ruang seminar FISIP UPN itu. Yang jelas, saya-nya yang sangat tercerahkan, karena bisa belajar dari pembicara lain yang top-top itu. Alhamdulillah.(***Subhan Afifi)














0 komentar: