Komunitas Madura di KL

11:25:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Madura adalah representasi dari petualangan, keuletan dan kerja keras. Tengoklah di setiap daerah di tanah air, orang Madura mudah ditemui dengan segala warnanya. Di Jeddah, Mekkah,dan Madinah , ketika saya berhaji 2007 lalu, saya berjumpa dengan kawan-kawan mukimin, istilah untuk orang Indonesia yang menetap di tanah suci, asli Madura. Mereka berjuang untuk hidup, dan tidak sedikit yang memenangkan perjuangan itu. Saya melihat sendiri, ada kawan-kawan Madura yang hidup berkecukupan di tanah suci, jauh di banding di kampung halaman mereka sendiri. Seorang kawan Madura, sesama petugas haji di bandara King Abdul Aziz misalnya, terlihat sangat lincah dan percaya diri. Dengan bahasa Arab yang fasih plus logat Madura yang tak hilang, Ia terlihat sangat pede menjalankan tugas, memberi pengarahan pada jamaah haji yang baru datang, melobi petugas Arab, dan sebagainya, sambil menenteng hp keren-nya. “Halahhh… Sekarang aja dia bisa nggaya,” kata temannya sesama mukimin yang berasal dari daerah lain, melihat tingkah polah kawan Madura itu. ”Padahal Mas,” katanya melucu, ”pertama datang ke sini, bahasa Indonesia aja dia kebalik-kebalik.” ”Masa’ dia bilang : Dimana namamu ? Siapa rumahmu?” sambungnya lagi dengan logat yang di Madura-Madura-kan. Tentu saja kami semua yang mendengar, tertawa getir.


Begitulah, kawan-kawan Madura adalah simbol perjuangan hidup. Di Kuala Lumpur, saya berkenalan dan bersahabat dengan banyak orang Madura. Selain karena beberapa kawan mahasiswa di Universiti Malaya dan kampus lain berasal dari Madura, saya mengenal banyak para pekerja Indonesia asal pulau Carok itu. Ketika di tahun pertama saya lebih banyak tinggal di asrama mahasiswa di dalam kampus (di Malaysia disebut Kolej Kediaman), saya tak banyak menemukan mereka. Tetapi ketika saya ikut tinggal di rumah sewa yang kami jadikan kost-kostan di daerah Pantai Dalam Kuala Lumpur, saya banyak menemukan mereka. Kalau kita berjalan-jalan di tempat-tempat keramaian di Kuala Lumpur, perbincangan dalam logat dan bahasa Madura bukan hal yang aneh terdengar. Umumnya mereka adalah pekerja yang telah hidup turun temurun. Sebagian dari mereka berstatus Permanent Resident (penduduk tetap yang memperoleh Identity Card resmi pemerintah Malaysia), sebagian yang lain adalah pekerja (TKI/TKW) legal dengan kontrak kerja beberapa tahun, dan sebagian lainnya adalah pekerja ilegal alias pendatang haram. Biasanya mereka hidup secara berkelompok, dan diantaran mereka banyak yang memiliki hubungan kekeluargaan. Jika satu orang atau satu keluarga merasa telah hidup nyaman di Malaysia, akan mengajak keluarga atau kawan yang lain di Madura sana. Maka jadilah mereka komunitas yang solid di negeri orang. Tampaknya mereka sangat menikmati kehidupan. Lepas Shubuh hingga menjelang Magrib atau Isya, mereka bekerja dengan sangat keras pada sektor-sektor informal yang tidak dilirik oleh orang Malaysia. Selebihnya, mereka hidup wajar seperti di kampung sendiri. Kumpul-kumpul, selamatan/kenduri, hajatan, dan sebagainya, diantara mereka, sangat sering dilakukan. Saat itulah, segala kesulitan hidup, seolah tak pernah ada di sekitar mereka.

Karena sudah akrab dengan salah satu komunitas mereka, saya dan kawan-kawan yang kost di Pantai Dalam, sering diajak atau diundang menghadiri kumpul-kumpul mereka. Biasanya, kumpul-kumpul mereka diiringi dengan acara berzikir bersama, dipimpin seorang pekerja yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang paling banyak. Suatu malam, Ustadz Muhammad, sebut saja demikian, bertutur kepada saya seusai memimpin acara dzikir bersama itu ”Saya ke sini karena menyusul ibu yang telah puluhan tahun di Malaysia,”. ”Sebelum beliau wafat, saya ingin berbakti,” katanya lagi. Ibu sang Ustadz memang belum wafat, tapi telah diantarnya pulang ke tanah air, karena semakin tua. Ustadz Muhammad bersama isternya, lantas melanjutkan perjuangan sang Ibu, mencari penghidupan di Malaysia, meninggalkan anak-anak yang terpaksa diasuh nenek mereka.

Pernah juga, tetangga Madura kami minta tolong agar rumah kost kami dijadikan sebagai tempat pernikahan sepasang pekerja Madura yang menemukan cinta di negeri orang. Kami hanya menyediakan tempat. Dengan hidangan ala kadarnya, berkumpullah puluhan orang sesama perantau, dan berlangsunglah prosesi pernikahan yang mengharukan. Kedua mempelai dinikahkan oleh seseorang yang disebut Habib (sedaerah dengan mereka). Sang Habib, sebelumnya menelepon orang tua mempelai wanita, dan menerima amanat perwalian untuk menikahkan puterinya. Disaksikan para saksi dari sanak kerabat, maka berlangsunglah pernikahan itu dengan amat simple, di kamar rumah kost-kostan kami. Mereka telah berkoalisi, ”merapatkan barisan” untuk menyiasati kehidupan keras mengumpulkan ringgit. Saat tulisan ini dibuat, saya mendengar kabar, pasangan pengantin yang bahagia itu sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka. Anak yang akan melanjutkan ”dinasti” perjuangan di negeri impian. Kapan ya, negeri kita sejahtera? Sehingga anak-anak bangsa tak perlu lagi pergi jauh, hanya untuk sekedar bertahan hidup. (***Subhan Afifi)

4 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    gampang nyari tukang cukur to om...

  2. Kangmastyo mengatakan...

    Habis cukur terus makan sate..nikmat tenan.........

  3. rayearth2601 mengatakan...

    wah, asyik ya banyak temennya dari madura

  4. Subhan Afifi mengatakan...

    Habis cukur, makan sate,terus cari besi tua,sambil gerak jalan, tu..satu, wa..duwa, taiye,hehe