Tahun Baru dan Pertanyaan Masa Depan

11:23:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Tahun baru, bagi sebagian orang, merupakan hal yang istimewa. Setelah melewati 2 tahun baru dalam waktu yang bersamaan, tahun baru hijriah 1430 H dan masehi 2009, di Yogyakarta, saya berkesempatan melewati tahun baru China di Kuala Lumpur. Tidak seperti di tanah air, suasana tahun baru China di Malaysia lebih terasa. Selain karena ditetapkan sebagai public holiday yang cukup panjang, nuansa mandarin merebak dimana-mana. Di televisi para pejabat tinggi pemerintah terlihat menghadiri perayaan tahun baru China, lengkap dengan tradisi mengaduk-aduk mie panjang pakai sumpit, mengangkatnya, dan menyantapnya bareng-bareng. Sebagai etnis terbesar kedua terbesar setelah Melayu, orang China memiliki pengaruh yang signifikan baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya di Malaysia. Pemerintah Malaysia berkomitmen untuk memelihara perpaduan antar kaum (Melayu-China-India), sehingga momentum khusus dari masing-masing etnis akan dirayakan bersama-sama untuk memperlihatkan kebersamaan dan toleransi.

Seperti biasa, tahun baru apapun, saya tidak pernah merayakannya secara khusus. Buat saya, tahun baru bermakna kesedihan dan optimisme sekaligus. Sedih karena kesempatan hidup berkurang, tanpa ada jaminan berulangnya peluang kehidupan di tahun berikutnya. Optimis, karena biasanya di awal tahun, saya gunakan untuk merancang sesuatu yang ingin dicapai. Dan saya sangat percaya, kerja keras dan do’a akan menghantarkan saya mencapainya. Biasanya, di awal tahun, saya tuliskan semua yang saya dan keluarga inginkan. Apa saja, mulai dari hal yang kecil dan remeh temeh, hingga hal-hal besar yang selintas seperti mimpi. Alhamdulillah, dengan izin Allah, tahun 2008 lalu, misalnya, banyak kebutuhan dan keinginan yang saya tulis itu, terpenuhi. Tahun baru, buat saya adalah awal untuk merancang “masa depan”. Tapi, sebenarnya apa hakekat masa depan itu, benarkah ia dapat dirancang dan dibentuk? Bukankah masa depan adalah sesuatu yang ghoib, tak seorang pun yang bisa memastikannya kecuali Tuhan. Sekedar berjanji untuk esok hari saja, kita dituntun untuk mengatakan “InsyaAllah”, kalau Allah menghendaki. Tak ada yang pasti, bukan? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul di benak saya, beriringan dengan merebaknya iklan-iklan ramalan nasib dan masa depan di televisi kita. Iklan-iklan yang membodohi masyarakat.

Sambil menghabiskan waktu liburan tahun China, di “kost-kostan” kami yang sederhana di Pantai Dalam, Kuala Lumpur, saya mencoba mengunyah Foundations of Futures Studies-nya Wendell Bell. Buku terbitan 1997 yang saya temukan di perpustakaan National University of Singapure itu, cukup memberi inspirasi teoritis tentang pertanyaan masa depan. Menurut Bell, perspektif tentang waktu dan berfikir masa depan adalah aspek fundamental dari kognisi manusia yang dapat dirunut ke belakang dari sejarah awal umat manusia. Memandang ke depan merupakan pengalaman manusia yang universal. Bell menjelaskan secara runtut, bagaimana ilmu tentang masa depan (future studies) berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak tahun 1900-an. Future Studies memang bukan ilmu meramal nasib a la selebritis mistis yang menghias layar kaya kita. Future studies mencoba menemukan, menguji dan mengevaluasi dan menawarkan alternatif-altenatif berupa : “possible, probable, and preferable futures”. Future studies berusaha mencari tahu : what can or could be (the possible), what is likely to be (the probable) and what ought to be (the preferable). (Bell;1997:73). Sangat rasional. Apa yang akan terjadi di masa depan, adalah apa yang kita perbuat di masa kini dan masa lalu. Bell menyebut salah satu fungsi future studies : “Interpreting the past and orientating the present”. Kita menggunakan masa lalu (the past) untuk membimbing perilaku masa kini dan membantu mengkonstruksi gambaran tentang masa depan. Kepercayaan kita tentang masa lalu dapat membantu membentuk kepercayaan tentang masa depan. Masa kini (the present) adalah aksi yang dilakukan untuk membentuk masa depan. Future studies membantu menginterpretasikan masa lalu dan menyediakan panduan untuk aksi di masa kini. (Bell;1997:89).

Jelas sudah. Silahkan membuat gambaran tentang masa depan yang diinginkan. Ini adalah bukti bahwa kita adalah manusia yang visioner, bukan mahluk yang berjalan tanpa arah, sekedar mengikuti angin bertiup atau air mengalir. Tapi, tidak cukup sampai di situ. Sang pemimpi harus diturunkan ke bumi menjadi sang pejuang. Visi harus diikuti aksi. Sambil terus menggumamkan dalam diri, bahwa segala aksi harus membawa dampak bagi kehidupan masa depan yang sesungguhnya : hidup sesudah mati !

1 komentar:

  1. leo kapisa mengatakan...

    sebelumnya saya haturkan salut dan angkat topi saya untuk bapak.tulisan yang rapi dan tidak berputar dari makna yang diharapkan adalah kelemahan saya dalam membubuhi tulisan.menggunakan kalimat yang terlalu panjang dan cendrung susah dipahami.semua kekurangan itu tidak saya temui ketika saya membaca tulisan bapak"azzam berhaji".
    seperti kepala yang berfikir untuk memilih kata kata yang pas untuk dipasang dibibir.seperti itu juga saya mencoba mengkristalkan tekat saya(maaf mengulang kata kata bapak)untuk belajar menulis sesuatu yang bermanfaat.mohon bimbingannya.leokapisa''