Jenggot dan Singapura

1:41:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Masih ingat kisah mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, yang sempat ditahan di Imigrasi Bandara Changi, Singapura, 20 Maret 2008 lalu ? Kedua tokoh itu sempat sewot karena harus menjalani pemeriksaan imigrasi selama 2 jam. Jakarta seperti kebakaran jenggot saat itu. "Itu seperti menghina pada pemerintahan kita, jadi pemerintah harus segera menyampaikan nota protes keras," kata Ketua DPR yang juga politisi Golkar Agung Laksono. "Kalau perlu tokoh-tokoh Singapura yang ke Jakarta juga harus diperiksa," sambungnya lagi, seperti dikutip detik.com. Publik sempat geram, tapi segera maklum, ketika ada penjelasan bahwa pemeriksaan seperti itu adalah prosedur standar di Singapura, dan bisa menimpa siapa saja. Walaupun tidak ditampik, ketatnya pemeriksaan imigrasi waktu itu, terkait dengan kaburnya tahanan terorisme Mas Slamet Kastari. Kisah itu kemudian berlalu begitu saja, diganti oleh berita-berita lain yang lebih heboh. Maklum, media massa kan mesin pencipta lupa.




Karena Abdul Rahman Saleh dan Adnan Buyung adalah tokoh publik, wajar kasusnya mendapat liputan luas media. ”Eminence and promince” adalah standar nilai berita. ”Name makes news” sudah lama jadi rumus dasar jurnalistik. Padahal, kejadian warga Indonesia yang masuk Singapura, dan harus diinterograsi di ruang imigrasi, adalah hal yang biasa dan sering terjadi. Setidaknya dari cerita banyak sumber, dan... pengalaman pribadi..



Dua kali saya masuk Singapura melalui perjalanan darat dari Kuala lumpur, 2 kali juga saya harus berurusan dengan petugas imigrasi. Pertama, 13 Mei 2008, ketika saya dan 2 orang rekan mahasiswa PhD di Universiti Malaya, Nurul Haq (dosen UIN Yogyakarta), dan Muslih (dosen STAIN Pekalongan), bermaksud mengunjungi Central Library dan NUS, berburu bahan disertasi. Perjalanan malam bis cepat dari terminal Pudu Raya jurusan Kuala Lumpur-Singapura itu, harus berakhir di pintu gerbang Woodlands (Woodlands Checkpoint), pintu masuk Singapura yang berbatasan dengan Johor Baru. Antrian imigrasi di pagi yang gelap itu sangat panjang. Pemandangan biasa di Woodlands, arus panjang pekerja yang akan berangkat kerja dari Malaysia ke Singapura, dan sebaliknya yang pulang pada sore hari. Petugas berseragam di beberapa baris antrian, menyeleksi satu persatu manusia yang dianggap layak masuk negeri Singa. Mereka yang dianggap kurang layak, atau mencurigakan, akan dimasukkan dulu dalam ruang interogasi. Ketika giliran kami, petugas imigrasi Singapura yang berwajah dingin itu hanya berkata, ”Wait here!”.




Tak lama, datanglah petugas lain. Menjemput dan mengantar kami ke ruang khusus itu. Di sana ada beberapa orang dari warga negara lain. Nurul Haq, yang pertama dipanggil dan dimasukkan lagi ke ruang yang lebih dalam. Rupanya, ia diinterogasi, sudah berapa kali di Singapura, mau ngapain di Singapura, dan sebagainya. Saya dan Muslih menunggu. Paspor kami dikumpulkan. Tidak begitu lama, Nurul Haq keluar. Nurul cerita, dia menegaskan bahwa ia mahasiswa UM (di dalam paspor sudah ada student pass) dan sempat mengeluarkan kartu nama staf pengajar di NUS Singapura yang menjadi tujuan. Mungkin karena itu, ia tidak ditanya lama-lama. Saya dan Muslih tidak diinterogasi, penjelasan Nurul dianggap mewakili kami bertiga. Saat itu, saya yang memang pertama kali ke Singapura, tak begitu menganggap kejadian itu sebagai persoalan berarti. Kekaguman terhadap Singapura yang bersih, tertata, dan kenyamanan pelayanan di Central Library dan NUS mengalahkan perlakukan yang tidak begitu menyenangkan di Woodlands.




Kejadian itu rupanya berulang. Ketika tanggal 6 Februari 2009, saya datang ke Singapura untuk kedua kalinya. Kali ini bersama Suswanto Megah (mahasiswa master UM). Kami mengantar rombongan ibu-ibu dari sebuah yayasan di Jakarta yang sedang jalan-jalan di Kuala Lumpur dan ingin ke Singapura. Ibu-ibu yang kami antar semuanya lolos di imigrasi. Megah yang sudah lebih dari 15 kali datang tak menemui kesulitan. Ketika tiba giliran saya, petugas imigrasi perempuan itu sejenak membolak-balik paspor saya. Melihat student pass saya. Dan akhirnya meminta saya menunggu sebentar. Tahapannya persis dengan sebelumnya. Seorang petugas datang mengantar saya ke ruang khusus. Kali itu saya juga tidak diinterogasi. Paspor hanya diperiksa, dan tak lama kemudian dipersilahkan melenggang. Tidak sampai 10 menit saya berada di ruang itu. Di belakang saya, rupanya putera salah seorang ibu yang ikut rombongan kami, Muhammad Rayhan, Mahasiswa UIN Jakarta, termasuk yang harus diinterogasi. Cukup lama ia berada di ruang itu. Tasnya bahkan sempat digeladah.




Kali ini saya tak begitu nyaman dengan perlakuan petugas negeri Singa itu. Jalan-jalan di Mustafa Center, Orchad Road, Pulau Sentosa, dan lain-lain, tak lagi menyenangkan. Kebersihan, kedisiplinan dan segala macam kehebatan negeri pulau itu tak lagi mengagumkan buat saya. Saya hanya berfikir, kenapa nama-nama seperti Subhan Afifi, Nurul Haq, Muslih dan Muhammad Rayhan, yang harus dicurigai. Semua nama itu berbau Arab dan Islam. Kebetulan juga, saya dan Rayhan, walau tidak lebat dan hanya sejumput, memiliki jenggot. Saya tak tahu ada kaitannya atau tidak. Apakah kami memang bertampang seperti mereka yang dituduh teroris itu,hehe. Yang jelas saat saya pulang kembali ke Malaysia, melewati Woodlands, dan kebetulan menghadapi petugas imigrasi perempuan yang sama, saya sempat melirik ke komputer yang ada di depannya. Sketsa laki-laki berjenggot ada di sana. Mungkin Singapura memang alergi Jenggot. Wallahu’alam. (***Subhan Afifi)

0 komentar: