Pendidik dan Komunikasi Empatis

7:16:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Awalnya, tak adanya yang istimewa dengan Erin Gruwell. Seorang guru yang ingin mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Hingga suatu saat Ia merasa tertantang karena ditempatkan di sebuah kelas yang dianggap “bodoh” karena berisi siswa-siswa bermasalah. Murid-muridnya adalah kumpulan anak yang sangat nakal, bahkan cenderung kriminal. Erin Gruwell tak menyerah. Ia mulai menangani dengan cinta, bukan dengan prasangka.


Di kelas, Gruwell lebih menempatkan dirinya sebagai bagian dari murid-muridnya. Apa yang dialami siswa-siswinya adalah bagian dari masalahnya sendiri. Setelah berhasil meraih hati mereka, Ibu guru itu memberikan murid-muridnya bacaan-bacaan bergizi, seperti biografi para tokoh yang memberi inspirasi. Tak lupa setiap anak diminta membuat buku harian. Mereka diminta menulis kisah hidupnya, apa saja, secara bebas. Ajaib, setelah beberapa waktu, murid-murid nakal itupun ber-evolusi menjadi lebih baik. Kisah inspiratif itu kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul ”Freedom Writers”.

Apa yang dikedepankan Erin Gruwell mirip dengan penggalan hidup Ibu Muslimah dengan 10 murid miskin ”Laskar Pelangi”-nya. Ia berhasil menanamkan sikap hidup di benak murid-muridnya : Keterbatasan tak harus jadi alasan untuk takut punya cita-cita. Walaupun murid-murid yang dihadapi berbeda, --Erin dengan siswa-siswa nakal nan bermasalah, Muslimah dengan murid-murid miskin tapi punya mimpi besar—keduanya sama-sama mengedepankan empati dalam mendidik.

Empati sering diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Empati juga dimaknakan sebagai kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain adalah bentuk dari empati.

Sifat inilah yang seharusnya mendominasi pendidik dalam kiprahnya. Pendidik, tentu saja termasuk orang tua dan guru, yang berempati memiliki kemampuan menyelami perasaan anak dan siswanya. Orang tua dan Guru harus mampu mengenali dan merasakan kondisi siswa sehingga menjadi bagian dari persoalan, bukan menjadi pengamat berdiri di tempat yang jauh.

Selanjutnya, empati perlu dipadukan dengan keterampilan seorang pendidik yang tidak kalah pentingnya : komunikasi. Sebagian besar waktu yang dihabiskan seorang guru di sekolah, bahkan dalam hidupnya secara keseluruhan adalah untuk berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi secara efektif mutlak diperlukan pendidik. Bukankah esensi pendidikan adalah mengkomunikasikan pengetahuan dan nilai-nilai ? Komunikasi efektif diantaranya dibangun oleh penghargaan (respect), kejelasan (clarity) dan sikap rendah hati (humble). Penghargaan akan membangkitkan antusiasme. Kejelasan berarti keterbukaan, tak ada kesalahan interpretasi. Sikap rendah hati yang akan memunculkan komitmen melayani dan tidak memandang rendah.

Dari kata empati dan komunikasi itulah kita mengenal istilah Komunikasi Empatis (emphatetic communication). Komunikasi jenis ini adalah komunikasi yang serius, penuh perhatian, bukan komunikasi yang mengabaikan. Komunikasi empatis dilakukan dengan terlebih dahulu menempatkan diri pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Mampu untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati dengan sendirinya akan menghasilkan strategi komunikasi (cara menyampaikan pesan, dan memilih media yang digunakan) efektif. Termasuk memberikan respons yang tepat, memberi penghargaan, dan siap mendengar.

Seorang guru yang tak mencoba berempati terhadap persoalan yang dihadapi siswanya, sulit membangun komunikasi yang efektif, karena halangan psikologis atau penolakan akan lebih banyak muncul. Menempatkan diri sebagai satu pihak di sisi sebelah sini, dan para siswa di sisi sebelah sana, jelas akan menyulitkan komunikasi.

Guru yang empatis akan menerima siswa apa adanya, mencoba untuk mencari potensi dan kelebihan, karena semua anak pada dasarnya cerdas dan berbakat. Kejelasan visi sang guru akan menjalar melalui komunikasi yang tepat pada siswa untuk memperjelas arah hidup. Dalam kesehariannya, guru seperti ini akan memberi dukungan, bukan sibuk mencari kelemahan. Kehangatan komunikasi sang guru dirasakan para siswa yang merasa terayomi. Suasana batinnyapun akan terpancar dari karisma, karena do’a cinta sang guru seolah langsung terasa. Inilah ciri guru yang akan menjadi inspirasi kehidupan, tidak hanya bagi siswanya, tapi juga untuk dunia. Wallahu’alam (***Subhan Afifi)

3 komentar:

  1. anak betawi punya gawe mengatakan...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  2. anak betawi punya gawe mengatakan...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  3. Didik Surya Hadi mengatakan...

    Assalaamu'alaikum Pak Afifi.
    Tul pak, Memang sudah saatnya hilangkan kesan feodalisme guru, terutama dosen thd mhs. Murid taat karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Seorang guru adalah spirit, tidak hanya dari kata-katanya, tapi jg dari perbuatannya (dakwah bil haal).