Dia Hidup untuk Zamannya

1:46:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

26 Februari 2000, Azzam Abdussalam, anak pertama saya lahir. Kebahagian yang diiringi harap-harap cemas menyertai detik-detik menentukan itu. Ketika menjelang Ashar suara “oek-oek-oek” terdengar dari kamar bersalin, setelah isteri tercinta menahan sakit sejak sebelum Shubuh, status saya berubah untuk kedua kalinya. Dari lajang menjadi suami ketika ijab qabul, dan bermetamorfosa menjadi ayah, ketika si kecil itu memekikkan tangis protesnya untuk pertama kali. Saat itulah peran keayahan yang riil mulai saya jalani. Sebelumnya, tentu saja, saya telah menyicil peran itu. Ketika memilihkan ibu yang terbaik untuknya, dan mulai mengenalkan religiusitas, sejak ia masih di kandungan. Tentu bersama Sang Bunda.

Mengenalkannya pada kalimah thoyyibah, memenuhi hak-haknya di awal kelahiran, seperti aqiqah, memotong rambut dan menyedekahkan emas seberat rambut itu, hingga melekatkan do’a pada namanya, adalah pembuktian komitmen keayahan berikutnya. Begitu seterusnya. Menuntunnya berjalan, melatihnya merangkai kata, mengoptimalkan masa keemasan pelejitan potensi kecerdasan di masa balita, hingga mengenalkannya dengan dunia sekolah, peran keayahan itu berjalan apa adanya.

Kini, setelah Dia genap 9 tahun, saya merasa perlu untuk terus mengevaluasi total peran keayahan yang telah saya jalankan untuknya, dan juga 2 orang adiknya itu. Bukan apa-apa saya tak ingin gagal jadi orang tua. Gagal yang lain, kita bisa mencoba lagi. Tapi, jadi ayah dan orang tua, tak ada ceritanya coba-coba. Peran keayahan adalah amanah berat yang perlu ilmu. Ini yang masih terus ingin saya usahakan. Sejauh ini, tak ada masalah dengan Azzam. Bahkan apa yang ia capai dan tunjukkan selama ini untuk kami, Abi dan Ummi-nya sungguh menyejukkan hati. Azzam sudah bisa membaca Al-Qur’an sejak TK, sehabis magrib dan shubuh ia rutin tadarus atau hafalan Al-Qur’an. Beberapa kali ia mengkhatamkan Al-Qur’an. Hafalannya kini sudah hampir 2 juz, jauh mengalahkan Abi dan Umminya. Shalatnya pun telah tertib, berjamaah di masjid. Di sekolah Ia jadi Presiden Kelas (begitu kawan-kawannya mengganti istilah “ketua kelas 3”), sangat gandrung bermain sepak bola, prestasi akademiknya juga sangat cemerlang. Minat bacanya tergolong tinggi, mungkin karena kami tak mengenalkan budaya menonton sejak ia masih bayi. Di rumah kami, hingga kini tak ada pesawat televisi, Untuk sekedar tahu ada “kotak ajaib” bernama televisi, saya memasang TV tuner di komputer, itupun sangat jarang digunakan. Kini Azzam mulai senang menulis. Blog sederhana mulai diaktifkannya.

Saya sadar, perjalanan yang ia tempuh masih jauh. Tantangan yang akan dihadapi sungguh tak sama. Ia akan hidup untuk zamannya. Tak bisa disamakan dengan siapa-siapa, apalagi zaman orang tuanya yang sudah dan akan segera jadi jadul. Saya dan Umminya hanya bisa mendokan plus mengusahakan agar ia bisa terus sholeh dan bermakna buat semua. Tapi tak bisa menjamin. Bahkan tak bisa menguasai hatinya. Bukankan seorang Nabi, Nuh Alaihissalam, tak mampu menggenggam hati anaknya, Kan’an, untuk ikut mengabdi kepada Sang Khalik. Kan’an lebih memilih tersapu bah daripada ikut perahu hidayah. Padahal, kurang apa Nabi Nuh berusaha dan berdoa untuk anaknya. Jika diusahakan dengan pendidikan terbaik dan didoakan siang malam saja, anak-anak kita belum ada jaminan menjadi baik, apalagi tidak. Saya dan para orang tua yang lain tentu tak ingin gagal, masih ada ada kesempatan untuk berbuat dan berharap. Karena, mereka begitu berharga. (***Subhan Afifi)

7 komentar:

  1. Anonim mengatakan...

    Peran Ayah menurut beberapa buku yang saya baca memang sangat berpengaruh terhadap anak di Usia 5-16 tahun. selama jangka waktu itulah watak anak terbentuk dari ayah.
    tapi yang ingin saya tanya, didikan bapak terhadap azzam untuk menjauhkan ia dari dunia televisi bukannya justru nanti bisa membuat azzam,"Kuper" (boleh di-istilahkan seperti itu pak)?

  2. Subhan Afifi mengatakan...

    Tidak juga, saya hanya ingin budaya baca dia terbentuk lebih dulu, dibanding budaya menonton. Saya sudah mengenalkan bacaan ke dia dan adik-adiknya sejak bayi. Dia tidak dididik oleh televisi, seperti kebanyakan anak-anak sekarang. Setelah budaya baca terbentuk cukup kuat,tak ada masalah dengan yang lain. Apalagi siapapun tahu, televisi kita saat ini, masih dipenuhi tayangan sampah. Kini, apapun informasi bisa diakses Azzam, ia biasa membaca koran2 nasional yang kami langgan di rumah, mengakses internet, beragam buku dan ensiklopedi, dan sesekali menonton televisi via TV tuner komputernya. Boleh dech diskusi apa aja dengan dia, tapi bukan bicara tentang sinetron2 kita yang gak mutu, dia gak tahu alias kuper untuk hal itu,hehe.

  3. Triwati mengatakan...

    Subhan, aku juga setuju banget dengan apa yang kamu tulis terutama alinea terakhir bahwa aku pun sebagai orang tua berusaha memberikan yang terbaik buat anak-anak. Seperti kata orang bijak, bahwa anak-anak seperti halnya selembar kertas putih yang kosong dimana kita sebagai orang tua yang menuliskannya pertama kali. Kelak dewasa nanti bukan peran kita lagi yang menentukan masa depannya melainkan kemandirian & kedewasaan dia sendiri. Salut, han!

  4. errick mengatakan...

    ho gitu ya keren2... harus banyak2 belajar nih dari Pak Subhan

  5. Subhan Afifi mengatakan...

    Makasih Triwati udah mampir..anak-anak kita adalah investasi tak ternilai. mari kita jaga

  6. Subhan Afifi mengatakan...

    Mas Wewik belum saatnya belajar yang beginian. belum level. Yang harus dipelajari, kiat praktis menemukan calon ibunya anak-anak. hehe

  7. errick mengatakan...

    ngece ik ngece...