Saat Mahasiswa Kembali ke “Zaman Batu”

8:22:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Kuliah di siang itu belum genap setengah jam. Ketika suara “Prang...!” terdengar dan ribut-ribut mahasiswa bersahutan saling mengejar. Maka mulailah adegan di zaman batu itu dimulai. Botol dan batu beterbangan, saling dilemparkan oleh kerumunan mahasiswa yang cepat sekali terbentuk. Beberapa mahasiswa luka terkena lemparan. Genting dan kaca gedung kampus pecah berantakan. Kuliah pun terpaksa diliburkan.

Begitulah. Semua pihak pasti menyesalkan peristiwa itu. Bagaimana mungkin, mahasiswa yang katanya kelompok intelektual mudah tersulut emosinya dan bertindak di luar rasio untuk sesuatu yang tidak dimengerti asal muasal dan tujuannya. Dalam banyak tawuran massal yang melibatkan kalangan intelektual (pelajar dan mahasiswa), seperti dilaporkan Kompas (15/10/2009), dipicu oleh persoalan sepele yang kemudian membangkitkan semangat ”le esprit de corps” (solidaritas korps). Ketika seorang mahasiswa dengan emosi melemparkan batu ke arah fakultas lain yang dianggap musuhnya, ditanya kenapa dia melakukan itu dan masalahnya apa, dengan enteng dia menjawab : ”Tidak tahu Pak..!”

Sulit diterima akal sehat, mahasiswa yang hari-hari sebelumnya tidak ada masalah, bahkan berkegiatan bersama, tiba-tiba dihadapkan pada posisi ”kami”-”mereka”, dengan aneka label pengelompokan. Padahal mereka masih berada dalam lingkup tembok kampus yang sama. Kebersamaan sebelumnya luruh oleh semangat kelompok yang irasional, agresif dan impulsif. Konflik semacam ini pada skala yang lebih luas, juga terjadi pada aneka kelompok yang berbeda latar belakang, walaupun mereka diikat oleh ikatan yang sesungguhnya lebih punya nilai substansi.

Budaya kekerasan yang mengesampingkan rasionalitas di kalangan intelektual tentu menyedihkan kita semua. Pengaruh media yang menjadikan menu kekerasan sebagai sajian utama, pergaulan yang salah hingga iklim akademik yang tidak terbangun dengan baik, bisa saja memberi andil pada fenomena itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada belum berhasilnya subyek pendidikan –dalam hal ini para mahasiswa— menyeimbangkan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Tentu saja, dalam hal ini, pihak kampus, mulai dari manajemen, staf pengajar termasuk penulis, hingga civitas academika lainnya memberi andil pada munculnya ketidak seimbangan itu.

Kecerdasan intelektual dengan mengandalkan otak kognitif saja ternyata tidak cukup bagi para pembelajar untuk menghadapi hidup. IQ tinggi yang diasah dan diukur mengandalkan bahasa dan logika/matematika, tidak cukup untuk menghasilkan manusia bermartabat. Karena itu kemudian kita mengenal istilah EQ yang dipopulerkan Daniel Goleman. EQ merujuk pada kecerdasan yang diukur dengan cara mendeteksi seberapa jauh orang dapat mengendalikan emosi, mengenali diri dan berhubungan dengan orang lain. Barbara K Given juga menunjukkan empat jenis otak yang seharusnya digarap dalam proses pembelajaran, mulai dari otak kognitif, otak emosional, sosial, fisik, dan reflektif. Tidak cukup dengan itu, kita mengenal juga istilah SQ (kecerdasan spritual) yang dikenalkan Danah Zohar dan Ian Marshall, sebagai kecerdasan puncak.

Pelajar atau mahasiswa yang tawuran bisa saja memiliki kecerdasan intelektual yang memukau, karena untuk itulah mereka menghabiskan banyak waktu di kampus. Tetapi sulit untuk mengatakan seseorang yang berusaha untuk melampiaskan emosinya, dengan merusak atau menyakiti orang lain, memiliki kecerdasan emosional yang memadai. Apalagi cerdas secara spritual. Cerdas secara spritual setidaknya menunjukkan kemampuan untuk mentransendensikan sesuatu yang fisik dan material. Orang yang cerdas spritualnya mampu untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, mensakralkan pengalaman sehari-hari, menggunakan sumber-sumber spritual untuk menyelesaikan masalah, dan cenderung untuk berbuat baik. Bukan sebaliknya.
Inilah tantangan riil dunia pendidikan kita. Membuat para pembelajar itu tidak sekedar cerdas otaknya, tapi juga bangkit jiwanya. Pendidikan tentu tidak dimaksudkan hanya sekedar mencetak lulusan yang pintar tapi hanya bisa ”minteri”, cerdas tapi tak punya kepekaan emosi dan sosial, atau hebat tapi hanya jadi robot karena mengalami kegersangan spritual. Meningkatnya kekerasan, ketidakjujuran, meluruhnya rasa hormat, dan membudayanya kehidupan serba boleh, adalah produk pendidikan yang timpang.

Pendidikan sejati memberi porsi yang seimbang antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan jiwa (spiritual). Pendidikan seperti inilah yang akan membangkitkan jiwa pembelajarnya. Dari jiwa yang bangkit ini akan muncul kesiapan untuk menjalani kehidupan dengan nilai-nilai kebaikan. Fokusnya pada aplikasi nilai-nilai itu dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, bukan sekedar mengajarkan benar dan salah, tetapi membentuk karakter dengan menanamkan kebiasaan yang baik. Para pembelajar itu tak sekedar faham akan nilai-nilai kebaikan tetapi juga mampu merasakan, dan mau melakukannya. Mereka adalah pembelajar yang terbangun jiwanya punya visi hidup yang jelas, rasa percaya diri yang kuat, motivasi yang tangguh, mau berusaha dan bertanggungjawab, punya inisiatif, menghargai orang lain, dan jenis-jenis karakter positif lainnya. Tentu, bukan mereka yang ingin kembali ke ”zaman batu” : menyelesaikan masalah dengan batu, keroyokan, mengandalkan anonimitas, dan merasa ”berjuang’ untuk sesuatu yang tidak jelas dan sia-sia.

Sebagai salah seorang orang tua dan sahabat mereka, para pelajar dan mahasiswa itu, saya tentu sedih dan prihatin menyaksikan apa yang mereka perbuat secara langsung dan membaca ulasan media. Mungkin saja ada yang menganggap ini biasa, dinamika anak muda, tapi tetap saja menampar muka, di saat orang lain berlomba memacu prestasi, atau keluarga kita di ujung sana, meratap karena bencana. Masih ada waktu untuk berbuat. Merancang dan mengelola kembali pembelajaran yang mengajarkan keseimbangan. Tentu tidak bisa sendiri, tapi harus bersama. Agar para pembelajar kita tak mau lagi kembali ke ”zaman batu” saat era digital begitu menggairahkan.(***Subhan Afifi)

7 komentar:

  1. Muhammad Hasanuddin mengatakan...

    setuju pak..smoga kejadian kmaren adalah yg pertama dan terakhir..saya sebagai alumni sedih saat ditanya tmn2 jurnalis (setelah membaca dan menyaksikan beritanya di media massa nasional) "itu kampusmu to"? saya bingung mo jawab apa? Saya harap insiden kmaren dpt mjd pelajaran berharga bagi adik2 mhs fisip UPN yk supaya ke depannya dpt berpikir lebih bijak tanpa mengedepankan emosi utk menyelesaikan masalah

  2. Danang Nur Ihsan mengatakan...

    rasa 'solidaritas' salah kaprah kadang lebih berbahaya 'solidaritas' murni. atas nama membela korps, apapun dilakukan, soal duduk perkara belakangan.
    kalau memang 'okol' lebih berkuasa daripada 'akal', sungguh naif jika para mahasiswa itu tetap nekat mengaku kaum intelektual

  3. Anonim mengatakan...

    hanya bisa tertegun saat tau ada berita tawuran di UPN...kok ya, tega menodai kampus sendiri untuk hal-hal yg jauh dari sebutan intelektual...dan kembali tertegun, ketika semua orang menuding saya dengan kata "kampus lo tawuran tuh, malu-maluin aja"..Dan saya hanya bisa menghela nafas panjang...

    Tami Devriyanti Utami Wardhani

  4. Andika Ananda mengatakan...

    Lempar batu sembunyi tangan

    Lempar batu sembunyi di balik pohon

    Lempar batu sembunyi di balik tembok kampus... Baca Selengkapnya

    Jangan-jangan yang sembunyi di balik tembok kampus tidak hanya mahasiswa yang melempar batu

    Tapi juga orang-orang yang melempar isu,,,

  5. Sigid Kurniawan mengatakan...

    seperti bentuk pemenuhan kepuasan sesaat semata, tanpa berfikir apa yang mungkin bisa terjadi dan berakibat kelak,... yah, mungkin masih banyak dari mereka, termasuk saya, yang masih tergolong labil dalam berfikir dan bertindak...

  6. Didik Surya Hadi mengatakan...

    Maaf pak, ikutan nimbrung. Saya sendiri yg juga di kampus sejak dulu tidak setuju dg kegiatan2 semacam Opspek, makrab. Kegiatan atas nama pencarian jatidiri, jalin solidaritas. Tapi realitasnya seringkali hanya jd ajang pelampiasan mahasiswa senior yg gak beres-beres kuliahnya. Ngontrolnya susah. Mungkin diserahkan pd ahlinya saja, para trainer, ato militer sekalian, jelas dan tanggungjawab.Di tempat kami opspek ditangani dosen + tentara. Mahasiswa sbg asisten saja.

  7. Subhan Afifi mengatakan...

    Wah ide Bagus tuh Ustadz Didik, bagusnya memang ditangani tentara+trainer sekalian ya..ospeknya, latihan fisiknya dilatih tentara, motivasinya diberikan para trainer lebih bagus lagi kalau para ustadz..