Pulang Kampung

8:57:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Walau kalah, saya menaruh hormat dan apresiasi mendalam untuk Jusuf Kalla. “Namanya aja Yusuf Kalla(h), seharusnya ganti Yusuf Menang dong,” kata Zulfa Athifah, 7 tahun, puteri kedua saya. Meski Zulfa meledek, beliau tetap jadi profil salah seorang pemimpin yang saya. hormati Sederhana, lugas, apa adanya, dan tentu saja, “lebih cepat lebih baik”. Walau karena performance seperti itu, Jusuf Kalla justeru dipersepsi kurang punya karisma, grusa-grusu dan tak pandai menebar pesona. Ketika debat capres putaran terakhir, saya terkesan dengan jawabannya ketika ditanya moderator, apa yang akan dilakukan kalau kalah dalam pilpres. “Kalau bukan saya yang terbaik, saya akan pulang kampung, mengurus masjid, mengurusi pendidikan dan perdamaian,” katanya mantap.


“Pulang kampung”, lagi-lagi saya angkat topi untuk pilihan kata ini. Bagi siapapun, pulang kampung bermakna mendalam. Setelah terbang bebas, melanglang buana, suatu saat, seseorang ingin kembali pulang. Betapa bahagianya, kembali ke lingkungan yang pernah memberi kenangan tak bertepi. Persis dengan rasa suka cita saya dan kawan-kawan SMA yang berjumpa kembali, setelah 17 tahun tak berjumpa. Setelah bertebaran di mana-mana, dari Doha hingga Tarakan, dari kota-kota besar di jantung Eropa dan Asia, hingga kota-kota bersahaja di berbagai pelosok negeri, semuanya merasa ingin “pulang”. “Pulang kampung” tak sekedar bermakna kembali ke masa lalu nan penuh nostalgia, tetapi lebih pada menuju “masa depan” karena ingin memberi kontribusi agar jadi lebih baik.

Rasa-rasanya, saya pun ingin memberikan sesuatu yang berarti untuk kampung halaman. Walau bingung juga mana sebenarnya kampung saya. Ada beberapa kota yang dekat dan berhubungan dengan saya. Ibu saya yang asli Muntilan Magelang telah puluhan tahun diboyong Ayah saya yang kelahiran Taliwang Sumbawa ke Bumi Gora, NTB sana. Saya sendiri kelahiran Sumbawa Besar, meski cuma numpang lahir. Masa kecil hingga SMP terlewati di Mataram. SMA di Jogja, kuliah di Semarang dan Jakarta, hingga kembali ke Jogja dan beranak pinak di sini. Setelah Ayah dan Bunda saya wafat, saya mencoba terus berbakti kepada keduanya dengan bersilaturrahmi dengan sanak kerabat di kota-kota itu, terutama Muntilan, Mataram dan Taliwang.

Ketika saya pulang ke kampung ayah di Taliwang beberapa waktu lalu, saya punya mimpi untuk melakukan sesuatu di sana. Inginnya sih seperti Jusuf Kalla, “Mengurus Masjid, Mengurusi Pendidikan”. Pulang kampung tak selalu berarti pulang secara fisik. Tapi komitmen dan kepedulian yang wajib di pulangkan. Siapa tahu, itu semua yang bisa diandalkan, ketika suatu saat nanti kita benar-benar pulang kampung dalam arti sesungguhnya : pulang ke negeri akhirat. Wallahu’alam.

7 komentar:

  1. errick mengatakan...

    subhanallah...

  2. Fathul Wahid mengatakan...

    Ikut mendoakan Pak. Memang seusia kita harus sudah mulai lagi memikirkan apa yang bisa kita berikan ke masyarakat. Karena biasanya setelah lulus kuliah sampai awal-awal berkeluarga, orang cenderung egois. :-)

  3. Wido Pratikto mengatakan...

    Siapapun yang memenangkan Pilpres, tetep tidak ada membawa perubahan bagi Indonesia.

  4. Fifith Muslich mengatakan...

    Komplit....kok br tau skarang kalo tulisanmu oke.biasanya pake nama pena apa?ya, saat2 menyusun ulang cita2 untuk cita2 yg sbenarnya...

  5. Fifith Muslich mengatakan...

    Komplit....kok br tau skarang kalo tulisanmu oke.biasanya pake nama pena apa?ya, saat2 menyusun ulang cita2 untuk cita2 yg sbenarnya...

  6. Ida Susi mengatakan...

    ...seperti biasa pak afifi tulisannya inspiratif...good...good..

  7. Marita mengatakan...

    yusuf kalla kasihan ya...udah sering lo kalau dilihat di TV beliau lari2 tuk nunjukkin pada masyarakat kalo di itu cekatan...