Cara Cepat Dapat Gelar

8:40:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang kawan di sebuah pulau yang makmur berkirim sms kepada saya. “Ini bisnis,” katanya. Intinya, ada beberapa pejabat di pulau itu ingin melanjutkan S2 dengan model by research, hanya mengerjakan tesis. Tapi beliau-beliau super sibuk, sehingga mencari orang yang mau dan mampu mengerjakannya dengan imbalan rupiah tentu saja. “Kalau Abang mau, nanti saya hubungkan,” tulis sang kawan. Tentu saja kawan itu salah alamat. Kontan saja saya balas sms-nya bertubi-tubi, mengingatkan bahwa itulah kejahatan intelektual sebenarnya. Orang koq ingin dapat gelar dengan cara pintas.


Beberapa waktu kemudian, saya menguji skripsi seorang calon sarjana. Tulisan dari hasil penelitian itu standar-standar saja, seperti kebanyakan skripsi mahasiswa yang pernah saya temui. Hati agak kurang nyaman ketika mahasiswa itu mempresentasikan karyanya di depan kami, saya sebagai penelaah, dan 2 orang dosen pembimbing. Ketika giliran saya menyampaikan pertanyaan, saya bertanya singkat saja : ”Apakah skripsi ini anda buat sendiri ?”. Aneh bin ajaib, si mahasiswa menjawab dengan sangat polos : ”Nggak Pak !”. Hehe. Maka, meluncurlah cerita yang sangat jujur, bahwa ia merasa sudah mentok, pernah patah hati kemudian cuti kuliah beberapa semester. Sementara orang tua tidak tahu, tapi terus mengultimatum, ”kapan kamu wisuda? Ini semester terakhir lho ! setelah ini nggak ada kiriman lagi !”. Maka, jasa pembuat skripsi yang iklannya ada di koran-koran dengan label konsultasi dan pengolahan data, menjadi pilihan terakhirnya. ”Saya bingung Pak, tapi saya ingin lulus, jadi sarjana, menyenangkan orang tua,” katanya. Dosen pembimbingnya pun kaget campur geram. Mahasiswa ini memang tergolong bermasalah sejak awal. Belasan semester sudah dia habiskan di kampus. Tapi, dosen pembimbingnya tidak menyangka kalau skripsinya dibuatkan orang, karena waktu konsultasi biasa-biasa saja. Singkat cerita, sang mahasiswa dinyatakan tidak lulus, harus mengulang penelitian dari awal, dengan catatan ”benar-benar bikin sendiri!”. ”Sejelek apapun, tapi karya sendiri, itu lebih berharga, daripada menipu diri sendiri dan orang lain,” begitu nasihat dosen pembimbing. Melihat kepala mahasiswa tertunduk lunglai, saya pun mencoba memberi semangat bahwa dia bisa, dia hebat, asal jangan mengerdilkan jiwa. Dalam hati, lagi-lagi saya heran, ada orang ingin dapat gelar dengan cara pintas.

Lantas, apa sebenarnya makna gelar? Bukan hanya gelar akademis, gelar apa saja ! Sekedar hiasan, status sosial, alat pemasaran, punya konsekuensi ekonomis, atau semacam sistem tanda yang menjamin bahwa si pemilik bukan orang main-main. Repotnya bila orang mati-matian mengejar gelar, bagaimanapun caranya, atau malah menggelari diri sendiri, padahal ketika disandingkan dengan nama, gelar itu gak matching gitu loh...Ini yang berat. Pelajaran paling indah telah tertoreh pada sejarah nabi kita yang Agung, Muhammad SAW. Di zaman itu orang juga biasa memberi gelar. Tapi gelar itu diberi karena pembuktian di masyarakat, bukan mengarang sendiri, apalagi membeli. Rasululloh SAW diberi gelar Al-Amin, karena beliau memang sangat bisa dipercaya. Abu Bakar digelari Ash Shiddiq karena selalu benar, membenarkan dan dibenarkan. Umar bin Khattab bergelar Al Faruq karena sosoknya yang tegar, tegas, keras, tak kenal takut. Demikian juga dengan ’Utsman bin Affan dihadiahi gelar Dzun Nurain, si pemalu yang berakhlaq mulia, Khalid bin Walid punya gelar Saifullah, Pedang Allah, dan seterusnya. Semua punya gelar, tapi mereka memperolehnya dengan pembuktian yang mendalam, bukan sekedar simbol tampa makna.

Ngomong-ngomong tentang gelar, saya jadi malu sendiri. Ketika diundang untuk sharing dalam sebuah workshop komunikasi dan pendidikan di Ngawi bulan Juli lalu, saya kaget dan geli ketika di backdrop acara, selain nama acara dan penyelenggara, terpampang besar-besar nama saya dengan embel-embel gelar yang bikin seram. Dr,H,M.Si. Waduh. Saya merasa nggak nyaman dan langsung protes sama ketua panitia. ”Sampeyan kan tahu, saya masih sekolah, belum Dr, gimana nih..?” Lagipula, kalau nggak pake gelar-gelaran seperti itu gimana sih..Apa omongan kita nggak dipercaya orang, kalau nggak pake gelar yang berderet-deret. Jadi beban malah, gelar macam-macam, ilmu nggak ada. ”Tenang aja Pak, itu do’a dari kami, jadi jangan diralat,” katanya santai. Nah..! (**Subhan Afifi)

11 komentar:

  1. Basori mengatakan...

    "Gelar" judul tulisan yang unik tapi sarat makna. unik karena banyak bikin sebagian orang silau bahkan buta, namun ada juga yang masih kikuk menyandangnya.
    Gelar bukanlah untuk dicari atau diburu, akan tetapi ia adalah hadiah dari sebuah perjuangan nyata dalam lembaran kehidupan.
    Gelar paling prestisius bagi setiap manusia yang mestinya harus diburu adalah gelar TAQWA. namun yang paling berhak menyematkannya hanya Allah SWT, jadi hanya dengan memenuhi kriteriaNYA saja gelar itu SHOHIH.
    Ya Rosul... Al Amin adalah milikmu
    Ash Shiddiq, Al Faruq, Karamallahu wajhah, Syaifullah, dst .... telah menjadi milik mereka yang telah membuktikannya. Untuk kita APA YA?

  2. Alwi Dahlan mengatakan...

    Nah! Jadi anda terpaksa amini saja ya? Maksudnya "baik" koq? Kalau anda protes, kan nanti amalan doanya "berkurang"? Hehehe :) atau huhuhu :( ?

    Keadaannya akan semakin berat, bung Subhan. Teknologi mutakhir akan makin menggoda mahasiswa untuk liwat jalur cepat, assembling bagian2 dari paper orang lain, dsb. Juga makin banyak orang ("lembaga") yang... Baca Selengkapnya menawarkan membuat karya ilmiah melalui internet dengan cepat, suatu hal yang sekarang sudah mulai lazim di PT top di AS pun.

    Tetapi ada teknologi untuk mengatasinya, dan ada lembaga khusus yang menawarkan jasa untuk itu. Di banyak univ di AS, semua ujian, paper, karya langsung dikirimkan ke lembaga seperti itu. Mereka akan run paper itu di komputer besar, untuk membandingkan dengan puluh-ribuan karya tentang topik serupa ... untuk melihat apa ada yang menjadi sumber bagi paper tsb. Ujian semester pun begitu, semua kertas jawaban dari kelas yg sama dibandingkan dengan cepat guna menemukan kalau2 ada kerjasama antara mereka yang diuji, yang nanti akan dibatalkan. Kalau sudah pass saringan itu, barulah sang dosen memeriksa untuk menilai bobot/kualitas isi dengan penuh pertimbangan ... Eh, job baru bagi dosen atau sarjana yang nganggur ya?

  3. Fiter Yasen mengatakan...

    ah yang gitu..gitu banyak terjadi pak. ya itulah yang bikin negara ini susah maju. bukan moral yang di didik. orang lain akan tau sendiri kok pa kualitas seseorang dan gelar yg disandangnya.

  4. Danang Nur Ihsan mengatakan...

    setelah sekitar 2 taon lulus, baru tadi saya kembali kekampus menyempatkan diri mengurus ijazah dan transkip nilai yg memuat tanda gelar itu.
    Dua tahun sejak dinyatakan lulus, ijazah sebagai bukti sah atas gelar yg layak aku sandang tidak pernah aku pakai. toh ada perusahaan media yg lebih percaya dengan kemampuanku daripada ijazah hehehe

  5. Lugiyanti Niken mengatakan...

    duhh jd ingat kjadian d'ruang sidang nih pak Subhan... (malu sampai menitikkan air mata) yg jelas gelar buat saya tidaklah penting, toh di mata Tuhan YME kita semua adalah sama, untuk pribadi yg ngoyo demi kehormatan suatu gelar ya silakan, sudah menjadi persepsi masing-masing.. tp bnran loh pak Subhan, saya bikin sendiri dg segenap kemampuanku hee :) itu jg sudah dibuktikan oleh bpk, terima kasih atas kritikannya pak.. sampai detik ini masih saya ingat, sukses selalu buat pak Subhan.

  6. Ida Susi mengatakan...

    gelar2..duniawi...dikejar karena industri dan pasar ikut andil menciptkan kebutuhan itu, padahal lebih mulia gelar2 untuk rosul dan sahabat2nya, bukan cuma gelar karena kapasitas ilmunya tapi karena kualitas pribadinya...luar biasa...

  7. Arif Lukman mengatakan...

    Sungguh tragis ya pak gelar di negeri kita. Jadi seperti simbol sosial. Padahal bersusah2 bikin skripsi, thesis dan disertasi, diuji, susah ktm pembimbing, dicoret2, revisi sekian kali, diuji lagi, riset lagi dan akhirnya lulus=adalah Sebuah Kenikmatan Intelektual yang tiada tandingannya.... Di situlah mental kita diuji apakah sdh pantas lulus sesuai jenjang akademis atau blm. Setuju pak. Posting terus tulisan yg seperti ini. Sungguh menginspirasi.

  8. Sembodo mengatakan...

    dikejar atau tidak dikejar, akan diberi gelar Mdn juga. (mendiang). belum tentu al marhum. bisa al maun juga. moga-moga balik ke indonesia dulu sebelum Mdn. ditunggu ilmunya

  9. Gizi Suwarni mengatakan...

    Smg saja apa yg sy lakukan bukan termasuk pengkerdilan y pak. Kebetulan sy jg menjd konsultan penulisan buku2 populer (non skripsi atau thesis). Karena kebanyakan dr mrka kesulitan dlm menuangkan ide2 besar mrka dlm bahasa tulisan yg mengalir dan enak dibaca. Umumnya mrka datang k sy sdh dlm bentuk draft atau raw idea. Kalaupun sy membantu mrka dlm... Baca Selengkapnya penuangan, tp content tetap dlm kendali mrka. Kebetulan sy n team jg mengerjakan pembuatan buku2 departemen atau provinsi dg biaya sponsorsip alias gratis.

  10. Marita mengatakan...

    wah enak dong...hanya buat thesis...org jaman skrg itu emang gak mau menjalani prosesnya, mrk hanya mau hasil akhir aja...

  11. Ellen Rosyelina Sasmita mengatakan...

    Maunya apa2 koq instan yaa.......