Membongkar Mitos tentang Ayah

9:25:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

”Dunia tidak akan pernah mengerti,” begitu catatan yang ditinggalkan seorang ayah di California ketika menembak dirinya sendiri. Si ayah belum sempat menghadapi tuntutan pengadilan ketika mengakhiri hidupnya secara tragis. Semua orang memang tak akan pernah mengerti, bagaimana ia membenci anak perempuannya, Genie (nama samaran), teramat sangat. 

Gadis kecil 13 tahun itu, harus melupakan indahnya masa kecil, hidup dalam “penjara” yang diciptakan ayahnya sendiri. Sehari-hari Genie diikat dalam sebuah tempat duduk yang ketat, tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Malam hari ia dikurung dalam kurungan besi tanpa diberi makan. Jika menangis, si ayah akan memukulnya dengan kejam. Genie juga tidak boleh diajak berkomunikasi. Mendengar orang bercakap-cakap saja tidak boleh. Genie terbebas, ketika ibunya membawanya lari dari rumah, dan si ayah ditangkap polisi, sampai akhirnya bunuh diri. Kisah tentang Genie dan ayahnya ditulis kembali secara menarik sebagai pembuka dalam buku Psikologi Komunikasi. 

Ayah Genie tentu contoh yang ekstrim tentang akibat buruk dari mitos-mitos yang melingkupi diri seorang ayah. Mitos bahwa ayah punya kekuatan dan kekuasaan yang tak boleh diganggu-gugat. Kekuasaan yang boleh dipamerkan, bahkan dengan kekerasan. Contoh-contoh lain dengan skala yang lebih ringan bersliweran di tengah kita. Ayah yang merasa benar sendiri, menang sendiri, dan sibuk sendiri, sehingga hanya meluangkan sedikit waktu untuk anak-anak adalah citra yang terbangun oleh mitos-mitos itu. 

Jika dibuat daftar, maka mitos tentang ayah akan semakin panjang. Ayah digambarkan sebagai sosok yang kaku, hanya berkutat pada soal disiplin dan keteraturan, serta sulit dekat dengan anaknya. Kedekatan dengan anak seolah-olah menjadi monopoli ibu. Ayah tak ingin disibukkan dengan urusan anak-anak, bahkan untuk sekedar menggendong, mencium dan membelai si kecil. Ayah juga dianggap tak mampu merawat anak-anak. Coba saja, ayah dibiarkan pergi atau di tinggal berhari-hari bersama anak, tanpa sang bunda. Pasti akan kerepotan. Itu kata mitos. 

Bahkan pekerjaan yang “pantas’ atau “tidak pantas” dilakukan seorang ayah, juga dipengaruhi mitos-mitos. Dalam sebuah pengajian, seorang Ustadz menjelaskan hadist tentang terlaknatnya seorang laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki, baik dalam berperilaku maupun berpakaian. Setelah diberi kesempatan, seorang peserta ta’lim bertanya serius. Katanya, “Apakah pengertian hadist itu termasuk pada seorang suami yang juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan istri, seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci, atau bahkan pergi ke pasar?”. Tentu saja santri yang lain tertawa. Sang Ustadz, menjawab dengan balik bertanya bijak, “Sejak kapan pekerjaan-pekerjaan seperti itu diberi jenis kelamin “perempuan” ?. Bisa jadi, pertanyaan itu juga dipengaruhi oleh mitos, bahwa ayah tidak boleh direpotkan dengan urusan pekerjaan yang dianggap bukan “bidang”nya. 

Sebenarnya Rasululloh Sallallahu ‘Alaihi Wassalam, teladan sejati, telah membongkar mitos-mitos tentang ayah itu, ribuan tahun yang lalu. Tentu kisah bagaimana Rasululloh menunjukkan kelemahlembutan, kasih sayang pada anak-anak dan juga cucu-cucu beliau sering kita dengar. Bagaimana beliau bermain kuda-kudaan dengan Hasan dan Husein, dan selalu menciumi mereka penuh kasih, membuat para sahabat terheran-heran. Salah seorang dari mereka, Aqra’ bin Habis at-Tamimi bahkan berkomentar “Aku punya sepuluh anak, tetapi tidak satupun dari mereka yang pernah kucium.” Maka lahirlah sabda Rasul yang terkenal itu : “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi ” Man la yarham, la yurham…!

Saya jadi teringat pernah melakukan perjalanan dengan beberapa sahabat untuk berbagi cerita dalam sebuah workshop penulisan di luar kota. Salah seorang diantara mereka membawa serta 1 orang “prajurit” dan 1 “srikandi” kecil yang sedang lincah-lincahnya. Ketika itu, bunda mereka di rumah, dan baru saja mendapat anugerah adik bayi. (Kini, mereka sudah dapat 1 tambahan lagi permata hati…Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi keluarga bahagia ini…). Ah..betapa indahnya melihat kejadian-kejadian menggelikan sekaligus mengharukan antara ayah dan 2 anak balita itu. Bagaimana sang ayah yang sedang bertugas, harus menjadi penengah jika kakak dan adik itu bertengkar, mengejar-ngejar si kakak sambil menyuapi si kecil, hingga mereka bertiga tidur kelelahan, berpelukan di lantai beralas karpet biru itu. Begitu damai.. Tak pernah saya dengar sang ayah, membentak, menumpahkan amarah Bahkan terlihat kesal pun tidak. Hari itu mitos tentang ayah sedang dibongkar oleh sahabat saya itu. Ayah tak harus sok kuasa, sedikit-sedikit marah, atau gemar bermain kekerasan atas nama “kewibawaan” dan “ketegasan”. Ayah juga bisa lembut, penuh kasih sayang, dan sangat bisa dekat serta piawai merawat anak. Saya sangat ingin menjadi salah satu ayah macam itu. Tentu saja, bukan seperti ayah-nya Genie. Naudzubillah….! (***Subhan Afifi)

Dasar-Dasar Jurnalistik

7:28:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Bagi yang ingin memahami konsep penting dalam Dasar-Dasar Jurnalistik, materi ajar yang dibuat oleh Bapak Agung Prabowo, berikut ini dapat dijadikan sebagai acuan penting. Tentu dengan tambahan buku-buku jurnalistik yang banyak sekali beredar di pasaran.

http://www.ziddu.com/download/9076247/PengertianJurnalisme.ppt.html
http://www.ziddu.com/download/9076252/NilaiBerita.ppt.html

Penulisan Berita

6:58:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Berita adalah salah satu produk jurnalistik yang paling dominan. Keahlian menulis berita merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki calon wartawan. Bagi yang ingin menggeluti dunia profesional lain, seperti public relations officer, penulis, peneliti, analisis, pengamat, dan lainnya, memerlukan keahlian ini, untuk menunjang pekerjaannya.
Beberapa sumber bacaan berikut ini dapat digunakan sebagai referensi bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memahami konsep dan berlatih secara praktis penulisan berita :


Semoga bermanfaat..

Ekonomi Politik Media

2:16:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Ekonomi Politik Media adalah salah satu mata kuliah yang diajarkan di konsentrasi Media dan Jurnalisme, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta. Mata kuliah memberikan berbagai konsep tentang aspek-aspek ekonomi dan politik yang mempengaruhi industri media massa. Kebijakan media massa yang dapat dilihat dari berbagai level seperti mikro (teks/content media), meso (struktur industri dan praktek-praktek dalam produksi media) dan makro (lingkungan eksternal media) ,  dapat ditelaah melalui perspektif ekopol media ini. Persoalan-persoalan seperti komodifikasi, strukturasi, dan keterkaitannya dengan isu-isu kotemporer seperti kekuasaan, idiologi, ketimpangan sosial, dan sebagainya, akan didiskusikan secara mendalam dalam mata kuliah ini. Substansi teoritis dan historis ekopol media, konteks mikro (representasi idiologi), dan konteks makro ekopol media (seperti isu kapitalisme, liberalisme, neo liberalisme), serta konteks global, dan praktek ekopol media di Indonesia menjadi bahasan dalam mata kuliah ini. Harapannya mahasiswa akan dapat melakukan kajian komprehensif terhadap industri media massa dengan pendekatan ekonomi politik.


Beberapa buku yang bisa dijadikan acuan adalah :

Masco, Vincent, 1996, The Political economy of Communication, Sage Publications, London
Achmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Pustaka pelajar, Yogyakarta
Agus Sudibyo, 2004, Ekonomi Politik Media Penyiaran, LKiS, Yogyakarta
Mc Quail Dennis, 2005, Mass Communication Theory, Sage Publication, London

Mendidik dengan Keteladanan

2:26:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Januari lalu saya berkesempatan mengunjungi TKIT Ya Bunayya dan SDIT Al Madinah, Hidayatullah Kebumen untuk berdiskusi tentang Strategi Public Relations Sekolah. Selain terkesan dengan bersih dan asrinya lingkungan kampus yang membuat para siswa betah belajar dan bermain serasa di rumah, saya menaruh apresiasi mendalam dengan tagline sekolah itu “Mendidik dengan Keteladanan”.

Sebuah cita-cita dan komitmen, sekaligus janji yang harus ditepati. Para ahli pemasaran menyebutnya dengan istilah positioning. Bagaimana pengelola suatu lembaga ingin memposisikan produk, merek dan lembaganya dalam benak pelanggan yang menjadi target pasar. Positioning adalah “janji” yang akan ditagih, sekaligus merupakan “reason for being” bagi lembaga. Pilihan positioning itu sangat tepat. Di saat orang tua dan masyarakat resah dengan semakin susahnya mencari sosok teladan sejati, bukan sekedar formalitas, sekolah itu menyodorkan secercah harapan untuk “Mendidik dengan Keteladanan.” Satu keteladanan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding seribu nasihat. Itu kata orang bijak Walau para pendidik berbuih-buih berkhotbah tentang kejujuran, tapi perilaku menipu berjamaah dalam ujian nasional misalnya, ditampakkan secara kasat mata, anak didik justeru akan menyerap lebih cepat pelajaran tentang korupsi. Pendidikan tak kan pernah mencapai kesejatiannya tanpa keteladanan.

Bicara tentang keteladanan, saya jadi ingat peran keayahan (fatherhood), yang saya dan para ayah lain jalankan. Menjadi teladan, adalah salah satu soal ujian tersulit yang dihadapi para ayah. Bicara dengan fasih tentang ini itu, adalah salah satu keterampilan utama para ayah yang sejak lama dikenal sebagai komunikator hebat. Tapi mewujudkannya dalam bentuk riil, mudah dilihat dan dijadikan sebagai model hidup, tanpa perlu teori panjang lebar, masih perlu banyak latihan. Para ayah yang perokok berat, tentu tak berharap anak-anaknya kelak menjadi “ahli hisab” (gemar menghisab asap, maksudnya). Nasehat “Jangan sekali-sekali merokok ya Nak, nggak baik untuk kesehatan, boros juga, kan boros teman syetan, ” yang diberikan kepada sang anak dengan lemah lembut tapi di bibir masih terselip lintingan tembakau 9 cm, tentu hanya akan dianggap lelucon. Petuah untuk rajin belajar, gemar membaca dan mengurangi menonton televisi akan terasa hambar, bila sang ayah justeru tak boleh terganggu sedetikpun dari tayangan kegemarannya, dan jarang terlihat membuka buku. Ajakan ayah untuk bersikap sabar dan menghindari marah, pada kakak dan adik yang sedang bertengkar, tapi disampaikan dengan mata melotot, suara keras, dan gerakan tangan untuk menjewer, tentu susah dipahami substansinya oleh sang anak.

Adil Fathi Abdullah dalam “Kaifa Tushbihu Aban Naajihan (Menjadi Ayah yang Sukses)” menekankan bahwa faktor keteladanan ayah sangat berpengaruh pada pendidikan anak, karena pada tahap awal anak belajar dengan cara meniru. Ayah lah yang pertama menjadi teladan untuk urusan akidah, ibadah, akhlak, muammalah, dan segala hal yang ingin diajarkan pada anaknya. Keteladanan sangat membantu dalam pembentukan karakter, dan bisa jadi sangat menghemat tenaga. Tak perlu banyak cakap, anak adalah peniru yang hebat. “Pengaruh perbuatan satu orang terhadap seribu orang lebih besar daripada pengaruh ucapan seribu orang kepada satu orang,” tulis Abdullah menggambarkan kekuatan keteladanan.

Dorothy Law Nolte juga telah lama mengingatkan bahwa “Children Learn What They Live”. Anak belajar (terutama) dari kehidupan yang dijalaninya. Bukan sekedar dari untaian kata-kata dan nasehat. “If children live with criticism , they learn to condemn”, kata Dorothy. Jika anak dibesarkan dengan celaan, mereka belajar memaki. Atau, “if children live with hostility, they learn to fight,” jika anak dibesarkan dengan permusuhan, mereka belajar berkelahi. Bukankah sikap kita yang sering menyalahkan, membandingkan, mencela, bahkan sering menunjukkan sikap yang tidak bersahabat tanpa sebab terhadap mereka, adalah pelajaran efektif yang siap ditelan?

Ah, saya jadi malu dengan belum satunya kata dan perbuatan dalam mendidik para anugerah terindah itu. Tapi, rasanya belum terlambat untuk bergegas. Minimal berusaha menjadi sahabat dengan persediaan kasih sayang tak terbatas yang bisa dipercaya oleh mereka. “If Children live with friendliness, they learn the world is a nice place in which to live”, masih kata Dorothy yang terngiang-ngiang di telinga saya. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang indah untuk ditinggali. Mereka juga belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Jika para ayah sudah jadi teladan, tentu para bunda akan tersenyum lebih lebar, bulan pun akan terasa lebih terang. Anda Setuju? (***)