Calon Dekan FISIP Mendengar

1:00:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta sedang punya gawe. Memilih ”Bapak” baru, menggantikan Drs Susanta, M.Si yang sudah 2 periode berturut-turut menjadi dekan. 5 orang kandidat sukses melewati tahapan pra pemilihan. Mereka adalah : Dr Meilan Sugiarto, M.Si (Jurusan Administrasi Bisnis), Agung Prabowo,M.Si (Jurusan Ilmu Komunikasi), Hikmatul Akbar,M.Si (Jurusan Ilmu Hubungan Internasional), Edwi Arief Sosiawan,M.Si (Jurusan Ilmu Komunikasi) dan Asep Saipudin,M.Si (Jurusan Ilmu Hubungan Internasional).


Kalau dilihat dari jumlah calon, ini kandidat terbanyak sepanjang sejarah FISIP. Mereka berlima juga berasal dari ke-3 jurusan yang ada, sehingga diperkirakan kompetisi diantara mereka akan berlangsung ketat. Apalagi mulai periode ini, para tenaga administrasi memiliki hak suara yang penuh untuk memilih, one man one vote. Mahasiswa melalui HMJ dan BEM juga diberikan suara untuk menentukan.

Kamis kemarin (16/7), saya mengikuti pemaparan visi misi para calon dekan itu. Saya mencatat kelimanya punya visi misi dan program yang sama-sama bagus. Namanya juga visi misi dan program, pasti ideal semua. Semuanya ingin menjadikan FISIP lebih baik dan semakin punya daya saing, diantaranya melalui pembenahan manajamen internal dan pelayanan, peningkatan kesejahteraan, pengembangan kualitas akademik, penguatan kerjasama, dan sebagainya. Beberapa yang spesifik dan terbilang ”baru”, setidaknya menurut catatan saya, ada beberapa : Pak Meilan ingin bikin career center, Pak Agung menekankan sinergi dan kebersamaan untuk menjadikan FISIP semakin punya reputasi di tingkat nasional dan internasional, Pak Hikmatul ingin kembali membenahi dari hal-hal yang kecil dan riil, Pak Edwi punya niat mewujudkan cyber faculty, dan Pak Asep ingin menjadikan lulusan punya soft skill dan keunggulan. Tentu semuanya sangat prospektif dan menjanjikan.

Sebagai warga FISIP, saya sangat menghargai gagasan brilian para kandidat untuk mewujudkan fakultas ini jadi lebih unggul. Bukan apa-apa, saat ini, dan InsyaAllah seterusnya, ibadah dan hidup saya, salah satunya ada di sini. Jadi, sangat wajar kalau saya ingin segalanya lebih baik. Dan itu semuanya, sangat ditentukan oleh pemimpin. Dalam bayangan saya, selain masalah kompetensi alias profesionalisme, dan hal-hal idial lainnya yang sudah banyak disebut, dan juga terlontar dalam penyampaian visi misi kemarin, pemimpin harus punya ”pendengaran” yang baik. Dia harus punya tabiat, lebih banyak mendengarkan, daripada minta didengarkan. Efeknya tentu bisa kemana-mana, dia akan lebih banyak ngewongke daripada minta diwongke, melayani daripada minta dilayani, serta membersamai daripada meninggalkan.. Orang yang banyak mendengar, biasanya lebih sabar dan selalu ingin bekerja dengan rekan-rekannya dalam super team, dan tidak ingin jadi superman.

Seorang kawan dosen, setelah pemaparan visi misi kemarin, secara terus terang menyatakan akan memilih Pak X. ’Kenapa?” tanya kawan di sebelah saya. ”Selama ini, selain kerjanya bagus, dia nggak gampang marah,” katanya. Ooooo.. Bagaimana menurut anda ?

Pulang Kampung

8:57:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Walau kalah, saya menaruh hormat dan apresiasi mendalam untuk Jusuf Kalla. “Namanya aja Yusuf Kalla(h), seharusnya ganti Yusuf Menang dong,” kata Zulfa Athifah, 7 tahun, puteri kedua saya. Meski Zulfa meledek, beliau tetap jadi profil salah seorang pemimpin yang saya. hormati Sederhana, lugas, apa adanya, dan tentu saja, “lebih cepat lebih baik”. Walau karena performance seperti itu, Jusuf Kalla justeru dipersepsi kurang punya karisma, grusa-grusu dan tak pandai menebar pesona. Ketika debat capres putaran terakhir, saya terkesan dengan jawabannya ketika ditanya moderator, apa yang akan dilakukan kalau kalah dalam pilpres. “Kalau bukan saya yang terbaik, saya akan pulang kampung, mengurus masjid, mengurusi pendidikan dan perdamaian,” katanya mantap.


“Pulang kampung”, lagi-lagi saya angkat topi untuk pilihan kata ini. Bagi siapapun, pulang kampung bermakna mendalam. Setelah terbang bebas, melanglang buana, suatu saat, seseorang ingin kembali pulang. Betapa bahagianya, kembali ke lingkungan yang pernah memberi kenangan tak bertepi. Persis dengan rasa suka cita saya dan kawan-kawan SMA yang berjumpa kembali, setelah 17 tahun tak berjumpa. Setelah bertebaran di mana-mana, dari Doha hingga Tarakan, dari kota-kota besar di jantung Eropa dan Asia, hingga kota-kota bersahaja di berbagai pelosok negeri, semuanya merasa ingin “pulang”. “Pulang kampung” tak sekedar bermakna kembali ke masa lalu nan penuh nostalgia, tetapi lebih pada menuju “masa depan” karena ingin memberi kontribusi agar jadi lebih baik.

Rasa-rasanya, saya pun ingin memberikan sesuatu yang berarti untuk kampung halaman. Walau bingung juga mana sebenarnya kampung saya. Ada beberapa kota yang dekat dan berhubungan dengan saya. Ibu saya yang asli Muntilan Magelang telah puluhan tahun diboyong Ayah saya yang kelahiran Taliwang Sumbawa ke Bumi Gora, NTB sana. Saya sendiri kelahiran Sumbawa Besar, meski cuma numpang lahir. Masa kecil hingga SMP terlewati di Mataram. SMA di Jogja, kuliah di Semarang dan Jakarta, hingga kembali ke Jogja dan beranak pinak di sini. Setelah Ayah dan Bunda saya wafat, saya mencoba terus berbakti kepada keduanya dengan bersilaturrahmi dengan sanak kerabat di kota-kota itu, terutama Muntilan, Mataram dan Taliwang.

Ketika saya pulang ke kampung ayah di Taliwang beberapa waktu lalu, saya punya mimpi untuk melakukan sesuatu di sana. Inginnya sih seperti Jusuf Kalla, “Mengurus Masjid, Mengurusi Pendidikan”. Pulang kampung tak selalu berarti pulang secara fisik. Tapi komitmen dan kepedulian yang wajib di pulangkan. Siapa tahu, itu semua yang bisa diandalkan, ketika suatu saat nanti kita benar-benar pulang kampung dalam arti sesungguhnya : pulang ke negeri akhirat. Wallahu’alam.