Berkontribusi dalam Pendidikan

8:38:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Berkali-kali saya mendengar komentar dari beberapa orang-orang yang tahu kalau saya sedang studi di Malaysia. “Wah..dulu mereka belajar ke Indonesia, sekarang orang-orang kita malah belajar ke sana,” kata mereka. Ya itu dulu.. Ketika Malaysia belum ada apa-apanya, dan Indonesia sudah kelihatan lebih maju dalam pendidikan. Sekarang, harus diakui kita tertinggal. Fasilitas lebih lengkap, biaya lebih murah, masa studi lebih cepat, dan punya jaringan internasional yang lebih luas, menjadi keunggulan pendidikan Malaysia. Komunikasi pemasaran dan pencitraan mereka juga digencarkan habis-habisan. Hasilnya, setiap tahun mahasiswa/pelajar Indonesia yang ke Malaysia datang berbondong-bondong, bahkan lulusan SMA kita dari berbagai daerah semakin banyak terlihat di berbagai universitas di Kuala Lumpur dan sekitarnya. Keponakan saya yang lulusan SMA Mataram saja memilih melanjutkan ke Jurusan Hubungan Internasional di Universiti Malaya.


Benar-benar berkualitaskah pendidikan di Malaysia? Apakah pendidikan kita benar-benar kalah kualitas dari mereka. Bisa panjang ceritanya (InsyaAllah lain kali kita bahas..). Saya hanya ingin menyoroti “komitmen” lah yang menjadi kunci mereka menyalip kita. Pemerintah (Kerajaan) mereka benar-benar berkomitmen tinggi untuk memajukan pendidikan, bahkan, saya kira, sejak mereka belum merdeka. Pendidikan benar-benar menjadi prioritas untuk dibenahi jika ingin maju. Tidak ada ceritanya, ganti menteri, ganti kurikulum. Tak ada juga perdebatan panjang tak berujung untuk menentukan apakah dana pendidikan harus sekian persen. Yang ada adalah komitmen untuk berbuat segera, layaknya tindakan dokter di ruang gawat darurat, untuk terus membenahi pendidikan.

Di tempat kita? Saya tak terlalu tega untuk menambah daftar panjang keluh kesah sekian banyak orang tentang pendidikan Indonesia. Saya hanya berfikir, apakah centang perenang masalah pendidikan kita akan selesai hanya dengan berkeluh kesah (atau bahkan mencaci maki).

Sebenarnya saya telah terjun di dunia pendidikan sejak akhir tahun 1997. Ketika saya diterima sebagai dosen di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Cukup lama. Tapi saya merasa, bahwa pendidikan adalah bagian dari hidup, wadah perjuangan, dan perihal lain yang lebih idialis, justeru 3 atau 4 tahun belakangan ini. Tepatnya, bermula ketika 2 orang yang tampak penuh semangat mendatangi saya. Pak Saryo dan Pak Ma’ruf dari SDIT Hidayatullah ditemani Pak Nur Ahmad (dosen UGM tetangga saya) malam itu datang ke rumah. Bukan untuk minta sumbangan, tapi memberikan wawasan baru kepada saya, bahwa membenahi pendidikan adalah kewajiban. Sekecil apapun kontribusi, akan sangat berarti.

Dari merekalah saya bersentuhan dengan fakta-fakta riil yang lebih seram dari berita di Koran tentang kondisi pendidikan kita, terutama di tingkat dasar, swasta, Islam lagi. Tentang guru yang gajinya yang tak layak untuk disebutkan. Tentang anak-anak tak beruntung yang kesulitan mengakses pendidikan bermutu. Tentang manajemen yang masih amburadul, dan seabrek persoalan lainnya. Sebenarnya, sudah sering saya dengar. Tapi merasakan dan melihat langsung, tentu beda.

Melalui sahabat-sahabat itulah saya berkenalan dengan “pendidikan” dalam arti sesungguhnya. Dari situ kemudian, saya aktif dalam forum diskusi informal tentang pendidikan di rumah Bp Prof.Indarto, mantan fakultas teknik UGM, setiap Rabu malam. Di forum itu, ada orang-orang yang telah lebih dulu berkiprah, berfikir dan berbuat untuk pendidikan. Ada Ustadz Sembodo, M. Faudzil Adhim, RUA Zainal Fanani, Sukamta, Slamet Waltoyo, Budi Yuwono, dan masih banyak lagi. Forum itu, disebut Forum Seturan (karena dulu memang tempatnya di Seturan) memberikan banyak pencerahan buat saya. Belakangan, Forum yang diplesetkan menjadi “Forum Studi Relawan untuk Pendidikan”, semakin intens menjadi ajang pembelajaran saya dalam masalah pendidikan. Dari Forum inilah lahir berbagai ide untuk pengembangan pendidikan Islam. Penerbitan majalah Fahma (majalah mungil untuk orang tua dan guru) juga digagas dari Forum Seturan. Setelah Fahma cukup eksis (beredar dari Batam hingga Papua), ide untuk mendirikan Fahma Training Centre yang melayani penyelenggaraan pelatihan,workshop, seminar pendidikan, mengalir dengan sendirinya. Maka digelarlah beragam training di banyak daerah di Indonesia.

Di tahun 2008, saya sempat menjadi trainer beberapa kali pelatihan yang digelar Fahma Training Centre untuk para guru dan pengelola sekolah. Tentu saja yang terkait dengan disiplin ilmu saya, ilmu komunikasi. Diantaranya adalah : Training Penulisan di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, Training Komunikasi Pemasaran Sekolah di Rumah Ibu Yogyakarta, Seminar Peningkatan Kualitas Madrasah di Temanggung, dan Workshop Nasional Merancang Sekolah Berkualitas di hotel Satya Nugraha Yogyakarta.

Bertemu dan berdiskusi dengan para guru dan manajemen sekolah dari berbagai penjuru di negeri ini sungguh mengasyikkan. Mata mereka menyiratkan bahwa tak ada kata lelah untuk berjuang memajukan pendidikan. Bila berada di tengah para pejuang itu, saya semakin yakin pendidikan kita belum mati. Asal semua mau berkontribusi. (***Subhan Afifi)