Ramadhan dan Perubahan

8:43:00 AM Diposting oleh Subhan Afifi

Barrack Obama belum tentu terpilih jadi Presiden AS, tapi ia telah berhasil menjadi magnet, memukau rakyat Amerika dengan mimpinya “change we can believe in”. Tema atau tawaran perubahan memang memberi harapan, pantas saja sebuah sebuah produk menempel besar-besar Bilboard iklan “Perubahan itu perlu” di jalan-jalan. Renald Kasali dengan buku “Change”nya juga sudah jauh-jauh hari mengingatkan pentingnya perubahan. Sahabat saya, Arif Wibawa, 10 tahun lalu sudah menawarkan konsep yang visioner “Berdamai dengan Perubahan” untuk memperbaiki arah fakultas kami, FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta.
Perubahan adalah keniscayaan, bahasa para ustadz : sunnatullah. Bukankah hari-hari kita terus berubah. Bumi semakin ringkih. Kita yang dulu imut-imut, sekarang mulai amit-amit. “Dunia sudah berubah, Pak,” kata seorang guru besar kepada kawan saya ketika menawarkan sebuah program S3 bidang komunikasi yang bisa ditempuh di luar jalur reguler. 

 

Persoalannya, perubahan seringkali sebatas slogan tanpa makna. Reformasi, kurang apa maknanya dengan perubahan. Kita hampir saja kehilangan makna momen reformasi, karena perubahan yang dikandung dalam kata reformasi justeru tak terwujud dalam keseharian. Kondisi memang berubah, tetapi masih banyak yang sekedar berubah bentuk, tapi esensinya sami mawon : Korupsi tetap (bahkan semakin) merajalela, rakyat tetap (juga semakin) miskin dan lapar, kemaksiatan justeru semakin telanjang dibalut slogan kebebasan dan seni. Birokrasi memang berubah. Tapi yang berubah pejabatnya, tapi mentalitasnya setali tiga uang : masih berwatak ingin dilayani. Kalaupun ada semangat melayani, yang dilayani adalah atasan, bukan rakyat sebagai tuan yang sesungguhnya. Masih panjang lagi deretan persoalan yang dibawa oleh perubahan reformasi. Walaupun tak boleh dinafikan, perubahan-perubahan yang positip juga ada.
 
Ramadhan adalah bulan untuk perubahan. “La’allakum tattaqun, agar kamu bertakwa.,” ini tujuan puasa, sangat sering kita dengar di masjid-masjid. Tujuan itu bermakna perubahan. Alumni training center Ramadhan seharusnya berubah total. Yang dulunya pemarah, akan jadi pemaaf. Yang dulunya shalat bolong-bolong, jadi orang yang pertama datang saat shalat berjamaah. Yang dulunya pelit, jadi dermawan yang meletakkan duit hanya di kantong, bukan di hati. Yang dulunya rajin maksiat, jadi taat sepanjang hayat. Yang dulunya menaruh “Islam” di KTP dalam dompet, akan jadi meletakkan Islam di tempat terhormat sebagai panduan hidup. Begitu seterusnya. Sayangnya, kenyataan tak seindah harapan. Puasa seringkali berfungsi sebagai “istirahat sejenak” dari hiruk pikuk keangkaramurkaan. Hanya sejenak. 30 hari saja, yang jelek-jelek itu “dikurangi”. “Hush..gak boleh bohong, kan sedang puasa,”, “Nah gitu dong, aurat ditutupi, sedang puasa kan,” “korupsinya jangan banyak-banyak dong, sedang ramadhan nih,”. Tapi, lihatlah sebentar lagi, ketika ramadhan usai, semua akan kembali ke jalannya masing-masing. Roda industri kemaksiatan agar kembali berputar, bahkan seolah dengan energi baru. Pakaian takwa kembali ditanggalkan, tersimpan rapi di rak bagian bawah lemari. Korupsi kembali merajalela, tak peduli koruptor yang tertangkap silih berganti.
 
Akankah ramadhan benar-benar tak menghasilkan apa-apa, minimal untuk diri pribadi? Ini yang saya takutkan. Mari mulai dari diri. Ramadhan ini harus melahirkan diri yang berubah. “Siapa tahu, ini Ramadhan terakhir kita” kata Edi Susilo, sahabat saya, dalam kultum ba’da zuhurnya di Masjid Sarbini. (**Subhan Afifi)

Salam Kenal

2:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Saya Subhan Afifi. Lahir di Sumbawa Besar, 28 September 1974, dari pasangan orang tua yang mulia : H. Achmad Hasan (alm) dan Hj Siti Khodijjah (almh). Ayah saya asli Taliwang, Sumbawa, sedangkan Bunda orang Muntilan Magelang. Sebuah perpaduan budaya yang unik.

Masa kecil yang indah saya lewati di kota Mataram. SDN 2 Kekalik dan SMPN 2 Mataram adalah sekolah formal yang pertama kali mengajarkan huruf, angka, dan nilai-nilai. Ayah saya mengajarkan agar berani hidup merantau. Setamat SMP, saya beranikan diri sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta. Jauh dari keluarga.

Jogja kota yang nyaman, tapi saya ingin merasakan pengalaman hidup di kota lain. Tahun 1992-1997 saya kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang. Setamat kuliah, saya kembali ke Jogja, mengabdikan diri di dunia pencerahan, menjadi staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta, hingga kini. Universitas inilah yang berbaik hati memberikan kesempatan meng-upgrade diri dengan mengirim saya bersekolah lagi di program Magister Manajemen Komunikasi FISIP UI Jakarta (lulus tahun 2002), dan program Doktoral di Department  of Media Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (sejak tahun 2006).

Allah Ta’ala memberikan anugerah terindah kepada saya berupa permata hati yang menyejukkan. Mereka adalah dr Nurlaili Muzayyanah (isteri tercinta yang saya nikahi tahun 1997), Azzam Abdussalam (putera sulung yang sholeh nan hebat), Zulfa Athifah (puteri sholehah yang cerdas) dan Nuha Qonitah (bungsu sholehah saya yang pintar). Kini kami sedang mencoba menghadirkan surga di rumah sederhana kami di Sedan Asri B-3 Jl Palagan Tentara Pelajar Yogyakarta.

Selain mengajar, saya mencoba melakukan berbagai aktivitas di luar kampus, biasanya memang tidak jauh-jauh dari dunia pendidikan. Bersama-sama kawan di SDIT Hidayatullah Yogyakarta, kami mencoba mengembangkan pendidikan Islam berkualitas yang peduli pada kaum miskin. Saat ini, saya dan kawan-kawan juga sedang merintis terwujudnya Islamic Centre “Achmad Hasan Ali” di Taliwang, Sumbawa Barat, NTB. Terwujudnya lembaga pendidikan Islam yang unggul di daerah itu menjadi cita-cita besar kami. “Membangun kemuliaan dengan amal terbaik…” menjadi motto lembaga yang selalu terngiang-ngiang untuk segera diwujudkan.

Menulis dan saling berbagi dalam aneka diskusi adalah aktivitas yang saya minati. Sewaktu kuliah saya pernah aktif di Koran Kampus Manunggal Undip dan menerbitkan bulletin Islamuna. Kini, bersama kawan-kawan di Forum Seturan (Forum Studi Relawan Pendidikan) Yogyakarta, kami menerbitkan majalah pendidikan Fahma, dan mengembangkan Fahma Training Centre. Di kampus saya dan kawan-kawan pernah merintis terbitnya “Jurnal Ilmu Komunikasi” hingga meraih status terakreditasi, dan sekarang aktif mengelola jurnal internasional “the Indonesian Journal of Communication Studies”.

Menulis buku, menjadi mimpi besar yang ingin segera saya wujudkan. InsyaAllah. Berbagai persoalan “Komunikasi, Pendidikan dan Parenting” adalah topik diskusi yang saya minati.

Mari berbagi inspirasi, agar hidup tak berlalu begitu saja….!