Ketika Penulis Blog Ditangkap

4:54:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi




Tadi malam saya berdiskusi, tepatnya mewawancarai, pensyarah (dosen) jurusan Penyiaran dan Film, Universiti Malaya, Dr Abu Hassan Hasbullah, tentang prasangka budaya Indonesia-Malaysia di Media Massa.

Dua negara yang katanya serumpun itu sering menghadapi masalah dalam hubungan. Citra Indonesia, kalau kita membaca media Malaysia, memang tidak begitu sedap. Judul-judul berita seperti ini dapat ditemui : “Curiga dengan Koloni Indon”, “Indon Asingkan Diri, Enggan Campur Gaul Masyarakat Tempatan Meskipun ada Antara Mereka Miliki PR”, “Geng Indon Pecah Rumah Hujung Minggu Mengganas”, “Malaysia tidak Kemaruk Indon”, “Amah Indon Lega Tinggalkan LCCT”, “Indons and Filipinos Top In Crime”, “Indons Robbed, Woman Rapped”, “Warga Indon dituduh Samun Suri Rumah”, “Indon Cemar KL”, dan masih banyak lagi. KBRI KL telah melayangkan surat protes tentang penyebutan kata “Indon” yang bernada merendahkan itu, tapi tetap saja media masih menggunakannya, walau sudah agak berkurang. Di tataran masyarakat Malaysia, kata “Indon” sudah sangat popular untuk menyebut warga Indonesia dengan konotasi bermasalah.

Media Indonesia pun dikritik karena dianggap tidak berimbang dan sering menjelek-jelekkan Malaysia. “Media Seberang Tak Adil, Stesen TV Lapor Berita Negatif Mengenai Malaysia Setiap Hari”, begitu judul berita Harian Metro 13 September 2007. Begitulah !

Menurut Dr Abu yang juga jadi penyelia thesis PhD saya, citra negatif tentang orang Indonesia di media massa Malaysia atau sebaliknya, sudah sepatutnya dihentikan. Karena era ke-sejagad-an tak lagi menyediakan tempat bagi pertentangan karena hal yang “remeh-temeh”. Persoalan pencitraan negatif, khususnya tentang orang Indonesia di Malaysia, menurut Dr Abu, tak lepas dari aspek ekonomi politik media. “Media-media mainstream Malaysia dikendalikan partai berkuasa, UMNO. Citra seperti itu tak ditemui di media-media alternatif,” katanya. Dr Abu menjelaskan panjang lebar bahwa ke depan, berita-berita yang mencitrakan negatif Negara lain tak akan laku di Malaysia, karena masyarakat semakin kritis dan terbuka.

Dr Abu Hassan merupakan salah satu dosen UM yang sering bersuara kritis. Beliau sering diundang berbagai stasiun televisi di Malaysia untuk menjadi narasumber dalam talkshow-talkshow politik terkini. Komentar-komentar tajamnya terhadap penguasa, tak urung membuat ada salah seorang wartawan media Malaysia bertanya : “Apa tidak takut ditangkap?”. Dr Abu hanya tersenyum dan berkata : “Pak Lah berbeda dengan Mahathir, saya menyuarakan pendapat untuk perbaikan masyarakat,” katanya di belakang setir, ketika mengantarkan saya pulang ke kolej 11, pukul 11 malam.

Tadi pagi, saya terkejut membaca Berita Harian. Dua penulis blog, Raja Petra Raja Kamaruddin dan Syed Akbar Ali, ditangkap polisi karena menulis artikel yang dianggap menghasut di blog Malaysia-Today. Ini adalah kali pertama penulis blog didakwa berdasarkan Seksyen 4(1)(c) Akta Hasutan 1948 dengan hukuman maksimum denda RM5,000 atau penjara tiga tahun.


Raja Petra ditangkap karena menulis artikel berjudul Let's Send The Altantuya Murderers To Hell dalam web malaysia-today.net (25/4/08). Sementara Syed Akbar, dikenakan tuduhan menghasut karena menulis komentar berjudul It Is Easy To Impress The Malays. Itu adalah komentar terhadap artikel Raja Petra berjudul Malaysia's Organised Crime Syndicate: All Roads Lead To Putrajaya.



Nah....

(**Subhan Afifi)

Kun Fa Yakun di Kuala Lumpur

3:00:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

May Day lalu, saya beruntung berkesempatan ikut pengajiannya Ustadz Yusuf Mansur di KBRI Kuala Lumpur. Seperti biasanya, seperti yang kita lihat di layar televisi, Ustadz muda itu membawakan tema kekuatan sedekah. Yang membuat saya terkesan, adalah matematika sedekah yang ditawarkannya untuk menjadi solusi apapun masalah yang kita hadapi. Mulai dari kekurangan uang, terlilit hutang, sakit, ingin melanjutkan sekolah, tidak dikaruniai anak, hingga belum kunjung ketemu jodoh. Apapun!

Ustadz Yusuf Mansur tidak sekedar sedang berteori, tapi bercerita dari pengalaman nyata. Ia sendiri pernah terlilit hutang Rp. 1,4 Milyar, dan mampu diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Demikian juga dengan testimoni para pendengar pengajiannya di berbagai kota. Inti dari matematika sedekah itu adalah : tidak akan berkurang harta yang kita sedekahkan, bahkan bertambah. Jika kita punya uang Rp.110.000, kita sedekahkan Rp.10.000 maka sisa uang itu bukan menjadi Rp.100.000, tetapi menjadi Rp 200.000. Ini karena Rp.10.000 yang disedekahkan itu akan dikembalikan Allah menjadi 10 x lipatnya (=Rp.100.000). Maka dengan rumus yang sama, jika uang Rp110.000 itu disedekahkan Rp.100.000, bukan bersisa Rp.10.000, tetapi menjadi Rp.1.010.000. Lagi-lagi karena, yang Rp100.000 itu dikalikan 10. Seorang mahasiswa yang diminta maju ke depan saat pengajian itu, dan hanya membawa uang RM 22, memilih untuk memberikan sedekah RM20, bukan RM2, karena menurut hitung-hitungan matematika sedekah, uangnya akan berlipat menjadi RM202.

Jadi, kata Ustadz, “kalau mau sedekah dan ingin masalah teratasi jangan tunggu uang sisa, karena pasti uang kita nggak bakalan ada sisanya.” Kalau ingin dapat rezeki besar bersedekahlah. Ingin motor atau mobil baru, bukan dengan mengajukan kredit, tapi bersedekahlah 10 %-nya dari total harganya, maka dengan izin Allah, rezeki itu akan datang. Punya utang tak lunas-lunas, sedekahkan 10 % dari total utang. Buat yang sedang nyari jodoh, Ustadz menyarankan untuk “menghitung” kira-kira suami yang diidam-idamkan bergaji berapa sebulan, kalikan 12 (setahun), tambahkan dengan biaya pernikahan dan lain-lain. Dan bersedekahlah 10 % dari totalnya, InsyaAllah suami dambaan segera datang. Mau naik haji cepat, infakkan 10 % dari Ongkos Naik Haji. Ringkasnya, masalah apapun InsyaAllah akan teratasi dengan rumus itu. Tentu saja semuanya harus dengan keyakinan.

Subhanallah, saya kagum dengan cara Ustadz itu menginspirasi dan menggerakkan banyak orang. Para jamaahpun ramai-ramai meletakkan uang sedekah di sorban yang digelar Ustadz, dan menulis komitmen jumlah Rp yang akan disumbangkan untuk program PROGRAM PEMBIBITAN PENGHAFAL ALQUR'AN - DAARUL QUR'AN, di Pondok pesantren Wisata Hati yang dipimpinnya.

Saya pun pulang dengan semangat baru. Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, apakah sedekah yang kita berikan hanya didorong oleh hitung-hitungan matematis, “berapa” yang akan kembali lagi ke kita? Bagaimana kita menjaga keikhlasan? Di akhir pengajian, memang Ustadz menyampaikan bahwa apa yang dijelaskannya masih “Gigi Satu” : bersedekah karena ingin menyelesaikan masalah. Di tahap berikutnya, ada sedekah yang didorong karena syukur kepada Allah, karena cinta kepada Allah. Mungkin itu jawabannya. Alhamdulillah saya mendapat pencerahan hari itu.(***Subhan Afifi)

Mediamorfosis Gaya Malaysia

1:30:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Hawa politik Malaysia masih gerah, walau Pemilu telah cukup lama berselang. Keberhasilan partai oposisi (Partai Keadilan Rakyat-PKR, Partai Islam Se-Malaysia-PAS, dan Partai Aksi Demokratik-DAP) “mencuri” 82 kursi parlemen dari tangan koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN), secara perlahan menghembuskan angin perubahan di negeri jiran itu. Kegagalan BN yang dimotori UMNO mempertahankan dominasinya di parlemen, menginspirasi banyak kalangan di Malaysia bahwa kekuasaan tak selamanya bertahan dan sakral. Keberhasilan oposisi menguasai 5 negara bagian (Perak, Penang, Kedah, Selangor, dan Kelantan), meruntuhkan mitos bahwa BN tak mungkin terkalahkan.

Efek “kemenangan” oposisi merambah ke berbagai sudut. Dunia kampus yang selama ini steril dari perbincangan politik, mulai dipanaskan oleh diskusi-diskusi dan kritik para mahasiswa dan pensyarah (dosen)nya. Masyarakat yang biasa apatis terhadap politik, semakin tertarik bicara politik. Yang menarik, media massa yang selama ini berada dalam pasungan kerajaan, mulai menunjukkan geliat perubahannya. Media Malaysia sedang bertransformasi dari alat komunikasi yang memberi legitimasi bagi kekuasaan, menjadi media yang berorientasi pada publik dan mendukung demokratisasi. Ada kecenderungan media massa Malaysia memanfaatkan perubahan politik untuk menuju sistem media yang lebih bebas, terbuka dan menjadi penopang demokrasi. Walaupun media cenderung menumpang arus perubahan, karena terlihat ketika pemerintah masih sangat kuat media tidak berbuat untuk perubahan itu, tetapi sejak Badawi kehilangan populeritasnya media memanfaatkan ketidakberuntungan itu.


Berdamai dengan Perubahan
Istilah mediamorfosis, dipopulerkan kembali oleh Roger Fidler (1997) untuk menggambarkan transformasi media komunikasi, yang biasanya ditimbulkan akibat hubungan timbal balik yang rumit antara berbagai kebutuhan yang dirasakan, tekanan persaingan dan politik, serta berbagai inovasi sosial dan teknologi. Istilah mediamorfosis memang lebih banyak digunakan pada transformasi teknologi media. Media melakukan transformasi karena kekuatan sosial, politik, ekonomi dan kultural. Dalam konteks Malaysia, media telah bertransformasi dari sisi isi (content) pemberitaan, dengan mengambil momentum Pemilu Malaysia ke-12, Maret lalu.

Sebelum Pemilu ke-12, media massa Malaysia tak ubahnya media massa kita di era Orde Baru. Koran, majalah, tabloid, televisi dan radio yang beredar tak lebih dari corong penguasa dengan nada seragam. Saya pernah terjebak dalam demonstrasi besar-besaran yang digalang kaum oposisi di pusat kota Kuala Lumpur, November tahun lalu. Saat itu demonstrasi yang menyuarakan Pemilu Bersih sungguh menjadi pemandangan yang sangat baru di Malaysia. Sebelumnya, hampir tak pernah ditemui demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan utama Kuala Lumpur. Demonstrasi a la Indonesia yang menjadi pemandangan biasa di tempat kita tak mungkin ditemui di Malaysia. Saat itu, di tengah guyuran hujan lebat ribuan orang berpakaian “kuning-kuning” meneriakkan takbir dengan sisipan slogan-slogan anti pemerintah. Walaupun disemprot water canon dan gas air mata mereka tetap bersemangat menumpahkan aspirasinya. Saya yang memang tak berniat ikut demonstrasi, segera berlalu dan memilih untuk menyaksikan tayangan “aneh tapi nyata” itu di televisi. Hasilnya sungguh mengecewakan. Televisi memang menyiarkan aksi yang digalang Anwar Ibarahim dan tokoh oposisi lainnya itu. Tetapi, yang muncul hanya suara dan foto pejabat kepolisian yang menyebutkan bahwa demonstrasi berjalan biasa-biasa saja, dan situasi aman terkendali. Khas pejabat. Tanpa secuilpun gambar yang memperlihatkan situasi yang sebenarnya. Sangat kontras apa yang saya lihat langsung dengan realitas yang tampak di media. Teknologi komunikasi sudah sangat maju di Malaysia, tapi tidak untuk tayangan anti pemerintah.

Pengalaman kecil itu menjadi contoh riil untuk mengambarkan kondisi media Malaysia selama ini. Media cetak dan elektronik benar-benar dikuasai Barisan Nasional. Stasiun Televisi RTM1 dan RTM2 yang seharusnya dikonsep sebagai televisi publik menjadi alat propaganda Barisan Nasional dalam arti yang sebenar-benarnya. Koran-koran utama hanya berisi good news versi penguasa. Tanpa sedikitpun celah untuk perbedaan pendapat. Berita-berita yang berpeluang menimbulkan “gejolak”, dan merugikan kepentingan nasional tak mungkin ditemui. Ketika media kita mem blow up berbagai persoalan yang menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia, mulai dari dari kasus Ambalat, Penganiayaan TKW, penganiayaan wasit karate, klaim lagu Rasa Sayange, hingga isu Askar Wathoniyah, media Malaysia adem ayem saja. Alhasil, rakyat Malaysia bahkan merasa tak tahu menahu dengan persoalan-persoalan itu. Masyarakat kelas menengah dan terpelajar Malaysia lebih memilih internet sebagai sumber informasi, daripada media massa tradisional. Sensor berlebihan terhadap media, telah berdampak negatif terhadap pencitraan Barisan Nasional. Walaupun secara tekstual berita-berita media memuji-muji penguasa, tetapi masyarakat Malaysia sudah semakin cerdas untuk menyadari konteks atau “berita di balik berita”.

Hingga menjelang Pemilu, media Malaysia masih menunjukkan wataknya yang telah menahun. Di masa kampanye, media-media utama hanya milik barisan nasional. Partai oposisi tak memiliki akses sama sekali untuk diakses media. Mereka hanya berkampanye melalui media internal, selain ceramah umum dan internet.
Setelah hasil Pemilu di umumkan, dan hasilnya cukup mengagetkan masyarakat Malaysia, media massa mulai berdamai dengan perubahan itu. Stasiun-stasiun televisi mulai memberikan ruang bagi kritik dari tokoh-tokoh yang berseberangan dengan Barisan Nasional. Media cetak dan elektronik yang sebelumnya cenderung memuji-muji pemerintah, berbalik mengecam dengan menghadirkan analisis yang menunjukkan kebobrokan penguasa. Mahathir yang mengkritik keras dan menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Badawi mendapatkan tempat yang luas di media massa. Kondisi yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Setelah Pemilu ke-12, kesan perubahan orientasi pemberitaan segera terasa bila kita membaca koran-koran utama Malaysia seperti Utusan, Berita Harian, The Star, dan New Straits Time. Koran-koran itu yang sebelumnya berposisi sebagai mitra loyal pemerintah, mulai berani menurunkan berita atau opini yang berbalik menyerang pemerintah. Televisi juga semakin berani menampilkan wacana yang beragam. Talkshow-talkshow kritis sudah mulai menghiasi televisi. Pengamat-pengamat politik juga semakin berani mengkritisi pemerintah.
Mediamorfosis, walaupun masih malu-malu, sedang terjadi di negeri jiran itu. Media memang belum mengalami perubahan yang radikal, tetapi transformasi yang perlahan itu dianggap telah memberi kontribusi berarti bagi transisi demokrasi di Malaysia. (Subhan Afifi***)