Menuju Universitas Ramah Difabel

3:11:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Seorang mahasiswa tuna netra tampak penuh percaya diri memasuki perpustakaan megah University of Malaya, Kuala Lumpur. Tampaknya ia sangat familiar dengan seluk beluk bangunan itu, masuk dengan tenang, memasuki lift, menuju lantai 3, hingga bekerja dengan bantuan komputer khusus di sebuah laboratourim yang memang spesial untuk “Orang Kurang Upaya/OKU”, begitu kaum difabel (penyandang cacat) disebut di sana.


Rupanya si mahasiswa tadi tidak sendiri. Saya cukup surprise melihat cukup banyak kaum difabel yang hilir mudik di kampus itu. Ada yang tuna netra, menggunakan kursi roda, hingga menggunakan kruk dan penyangga leher. Mereka tampak bersemangat dan seperti tak berbeda dengan mahasiswa lain. Ketika saya menawarkan bantuan untuk membukakan pintu bagi seorang mahasiswi berkursi roda, ia menolak dengan halus karena mampu mengerjakan sendiri. Mereka seolah tak ingin dikasihani dan terlihat sangat mandiri. Di sisi lain, semangat untuk membantu mahasiswa difabel juga terlihat jelas. Tawaran untuk menjadi relawan pada program “Pinjamkan Mata Anda” selalu disambut antusias. Program ini memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menjadi “kawan belajar” berupa membacakan buku, berdiskusi dan lain-lain, bagi para mahasiswa tunanetra.

Fenomena di atas ternyata dapat ditemui di hampir semua universitas di Malaysia. Artinya, perguruan tinggi di Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik terhadap kaum difabel. Fasilitas universitas dirancang ramah untuk mereka. Mulai dari tersedianya ramp, jalan khusus khusus berpemukaan rata yang diperuntukkan bagi pengguna kursi roda, toilet khusus penyandang cacat dengan pegangan di kanan-kiri yang memungkinkan pengguna kursi roda untuk berpindah, laboratourium komputer khusus, lift, hingga tempat parkir khusus bagi mereka. Symbol of access (gambar kursi roda, penanda fasilitas bagi kaum difabel) mudah ditemui di lingkungan kampus. Ketergantungan terhadap bantuan orang lain dapat direduksi karena kampus menyediakan aksesibilitas memadai bagi penyandang cacat.

Fasilitas publik di luar kampus, seperti bus kota, LRT (Light Rail Train), monorail, dan sebagainya juga sudah ramah difabel. Selalu tersedia fasilitas khusus yang mudah diakses bagi “Golongan Kurang Upaya” itu. Setelah para mahasiswa difabel itu lulus dari perguruan tinggi pun, dunia kerja relatif ramah terhadap mereka. Tersedia lowongan kerja untuk penyandang cacat baik sebagai pegawai negeri, maupun karyawan swasta, sesuai dengan keahlian masing-masing. Pemerintah Malaysia memang memberikan perhatian khusus kepada mereka yang diperkirakan berjumlah 2 juta orang saat ini.


Bagaimana dengan Universitas Kita ?
Tidak adanya diskriminasi bagi kaum difabel dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, merupakan ciri negara modern. Malaysia yang “baru-baru” saja membangun dunia pendidikannya, ternyata sudah lebih maju dalam memperlakukan kaum difabel. Membandingkan kondisi kaum difabel dengan di negara maju lainnya tentu kita akan lebih ketinggalan lagi.

Secara umum, nasib para difabel di negeri kita masih mengenaskan. Kaum difabel masih belum mendapatkan tempat yang layak dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Fasilitas publik yang tidak ramah terhadap mereka, dunia kerja yang hampir tertutup rapat, hingga dunia pendidikan yang belum sepenuhnya terbuka. Tak jarang sebagian kaum difabel dari kalangan bawah terpaksa “menjual” keterbatasan untuk sekedar mengharap belas kasihan di jalan-jalan.

Sebenarnya kita telah memiliki Undang-Undang No 4/1997 yang mengatur agar Penyandang Cacat tidak didiskriminasi. Ada ketentuan tentang fasilitas umum harus dilengkapi sarana untuk difabel, dunia usaha berkewajiban mengalokasikan 1 % jumlah pekerjanya bagi mereka, dan sebagainya. Di tingkat daerah juga ada peraturan yang khusus, seperti di Jakarta dengan SK Gubernur No 66 tahun 1981 dan Jawa Barat yang memiliki Perda penyandang cacat.

Hanya saja, ini yang jadi penyakit akut di tempat kita, implementasi dari berbagai regulasi tersebut, seperti biasa, masih jauh panggang daripada api. Kaum difabel masih belum beranjak dari status marjinal yang sering terdiskriminasi secara struktural dan kultural. Padahal jumlah mereka terus bertambah dari 10 juta orang atau 5 % dari total penduduk, seiring dengan dengan banyaknya bencana alam dan kecelakaan transportasi yang terjadi. Belum lagi yang menjadi cacat karena kecelakaan kerja, penyalahgunaan obat terlarang dan konflik horisontal.

Universitas sebagai bagian dari masyarakat disadari atau tidak juga telah bersikap tidak ramah terhadap difabel. Dari seluruh penyandang cacat yang ada, mereka yang masih berusia produktif dan berpotensi untuk menjalani pendidikan tinggi tentu tidaklah sedikit. Kenyataannya, sulit melihat dengan kasat mata kaum difabel mondar-mandir di universitas-universitas kita. Masih sangat jarang kita temui, universitas-universitas kita menyediakan fasilitas khusus untuk kaum difabel, seperti : ramp atau lift bagi pemakai kursi roda atau guiding block bagi tunanetra, atau perpustakaan dan laboratorium khusus untuk mereka. Universitas masih menjadi menara gading yang sulit mereka jangkau.

Padahal, jika mereka diberi kesempatan dan fasilitas, mereka juga mampu berprestasi. Sekedar gambaran, menurut catatan Yayasan Mitra Netra, hingga saat ini, baru 2 orang tuna netra Indonesia yang berhasil meraih gelar doktor, yaitu : Mansyur Semma (Universitas Hasanuddin tahun 2006) dan Ahmad Basri (Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2001). Prestasi mereka tentu sangat membanggakan, walaupun jumlah 2 doktor tunanetra tersebut tergolong masih sangat minim.

Sudah selayaknya, universitas-universitas kita dan juga jenis perguruan tinggi yang lain, memelopori gerakan untuk ramah terhadap difabel. Aksi nyatanya dapat berupa membangun fasilitas fisik yang ramah difabel, hingga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada difabel untuk mengenyam pendidikan tinggi misalnya dengan menyediakan beasiswa khusus difabel,dan sebagainya. Universitas juga perlu merancang komunikasi pemasaran khusus untuk kaum difabel, jurusan apa saja yang bisa dan layak untuk mereka masuki, bagaimana prospek kerja untuk mereka dan sebagainya. Mereka juga adalah segmen pasar “potensial” yang belum tergarap serius. Momen penerimaan mahasiswa baru dapat dijadikan sebagai kesempatan emas untuk menuju universitas yang ramah difabel.

Komunikasi perlu dilakukan agar kaum difabel juga merasa bahwa pintu perguruan tinggi juga sangat terbuka dan ramah untuk mereka, tentu pada jurusan atau program studi yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Universitas sekelas UGM saja pernah didemo kaum difabel yang salah mengerti dan mengganggap UGM besikap diskriminatif dalam Ujian Masuk (UM)nya. Kalimat pada syarat UM UGM yang berbunyi : "Tidak mempunyai cacat tubuh atau ketunaan yang dapat mengganggu kelancaran belajar pada program studi pilihannya", dianggap diskriminatif.

Setelah didemo, kalimat itu akhirnya direvisi menjadi "Memenuhi persyaratan kesehatan dan tidak mengalami ketunaan yang ditetapkan program studi masing- masing". Bersikap ramah terhadap difabel, rupanya dapat juga dimulai dari memilih diksi yang tidak membuat mereka salah mengerti. (***Subhan Afifi)

Mogok Sekolah, Tak Perlu Marah

3:08:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Anak memang benar-benar unik dan beda. Anak pertama saya, Azzam Abdussalam (7 tahun) sejak usia TK sudah menunjukkan “bakat” untuk menjadi anak yang tertib, disiplin, dan mandiri. Hingga kelas 1 di SDIT Hidayatullah,Balong,Yogyakarta, saat ini, tak pernah kami, saya dan isteri, mendapatkan gejala bahwa ia bermasalah dengan sekolahnya. Tak pernah sekali pun, dia mogok sekolah. Prestasinya di sekolah dan di rumah kadang membuat kami terharu. Di usianya kini, ia sudah khatam 2 kali al-Qur’an, hapal juz 30 dan mulai masuk juz 29. (Semoga semangat Al-Qur’an selalu bersemai dalam hatimu ya..Nak!). Shalatnya juga sudah rutin berjamaah di masjid. Kadang, ia mendahului Abinya menembus gelapnya shubuh, berangkat ke masjid, mengayuh sepeda kecilnya. Gairah dan antusiasme belajarnya juga terasa menyala-nyala. Aktivitas belajar yang ia jalani, mulai dari mengulang pelajaran sekolah, tadarus al-Qur’an hingga hapalan Al-Qur’an, berlangsung tanpa beban. Setidaknya, itu yang kami rasakan dan amati. Sungguh, sejauh ini kami tak menghadapi kesulitan berarti dalam menemani kesehariannya. Rasa-rasanya kami tak menghadapi “ujian untuk bersabar” bila menghadapi si sulung itu. Alhamdulillah !


Soal-soal ujian bernama kesabaran itu, justeru diperkenalkan oleh bidadari kecil kami, Zulfa Athifah (6 tahun). Sebagai anak kedua, Zulfa menunjukkan keunikan sekaligus kelebihannya. Sejak bayi, puteri kami ini menunjukkan kreativitasnya yang luar biasa. Kalau menangis, suaranya keras melengking, dan susah untuk dihentikan. Belakangan, terlihat kemauannya keras, susah untuk dipatahkan. Bak diplomat ulung, “argumentasi-argumentasi” si kecil Zulfa susah untuk ditaklukkan.

Dalam hal sekolah, Zulfa menunjukkan gejala “tak mudah diatur”. Sejak masuk play group di usia 3 tahun, Zulfa seringkali menunjukkan “perlawanannya” dengan sekolah. Kalau akan berangkat sekolah, siap-siapnya lamaaa sekali. Sering terlambat, dan sebagainya. Puncaknya ketika di akhir semester 1 TK B, Zulfa “mengambil keputusan” untuk mogok sekolah. “Nggak ah… nggak mau..!” begitu selalu jawabannya. Mogok sekolah ini berlangsung cukup lama. Zulfa sekolah di TKIT Taruna Al-Qur’an,Ngelempongsari, Yogyakarta, sama dengan kakaknya dulu.

Saat itu, saya merasa tak ada yang patut dicemaskan dengan mogok sekolah itu. Dan satu hal yang paling saya ingat, saya berusaha untuk TIDAK MARAH. Kami tak ingin marah-marah. Apalagi mencak-mencak menyalahkan sekolah. Para guru di TKIT itu sudah sedemikian ikhlas dan berjuang keras mendidik anak saya. Tapi, mungkin juga ada sesuatu yang perlu dicari sebagai sumber masalah. Kami mencoba terus mengkomunikasikan masalah ini dengan para guru. Sebagian besar guru menyarankan, “biar saja Pak, nggak usah dipaksa, toh semua kompetensi yang diharapkan, sudah dikuasai Zulfa”. Benar juga, di balik sikap ogah-ogahannya untuk sekolah, Zulfa tak ada masalah dengan berbagai “pelajaran” di TKIT itu. Bahkan, untuk membaca, sejak TK A, Zulfa sudah lancar membaca. Kami tidak pernah mengajarkannya membaca.Tidak juga menerapkan metode Glenn Doman atau apa. Rasanya, tau-tau saja dia bisa membaca. Kami hanya sering, bahkan rutin, membacakan buku-buku sejak dia masih bayi. Kini, buku-buku sekelas Ensiklopedi Bocah Muslim sudah menjadi santapan kegemarannya.

Jadi, tidak adalah alasan untuk marah. Kami juga tidak marah-marah kepada si anak. Apalagi menakut-nakutinya, “nanti kalau nggak sekolah jadi bodoh, jadi miskin, dan sebagainya!”. Yang kami lakukan, kami mencoba untuk terus berdialog, “kenapa sih Mbak Zulfa nggak mau sekolah ?”. Hingga suatu saat terungkap dari bibir mungilnya : “Bosen ah sekolah, gitu-gitu aja !”. Kami kemudian mulai tersadar, benar juga, mungkin Zulfa bosan. Sejak play group, berarti hampir 3 tahun, sekolah di tempat yang sama, menjalani rutinitas yang bisa jadi menjadi tidak ada “tantangannya” lagi.

Mendengar alasannya yang bosan dengan sekolah, kami jadi semakin “memakluminya”. Zulfa kami biarkan menikmati permainannya di rumah bersama sang adik, Nuha Qonitah (3 tahun). Permainan yang paling mereka gemari adalah “Bermain Peran”, dan peran yang sering mereka mainkan adalah “suasana sekolah”. Zulfa jadi guru, Nuha jadi murid. Zulfa sangat terampil menirukan aksi bu gurunya di sekolah, mulai dari saat senam pagi, masuk kelas, hingga pelajaran mewarnai, bercerita, dan prosesi berdo’a dan lagu perpisahan ketika pulang sekolah. Saya, yang saat ini mendapat anugerah terindah untuk banyak di rumah, berusaha untuk menciptakan berbagai kegiatan bersama dengan Zulfa dan Nuha (ketika Azzam sekolah dan umminya ke kantor). Ada kegiatan yang kami sebut “penjelajahan”. Kami naik sepeda bertiga (Zulfa sendiri, Nuha saya bonceng) menyusuri jalan-jalan kampung, mampir di sawah, merendam kaki dalam kali kecil yang mengalir, berenang, dan seterusnya. Atau pergi bertiga ke pasar, beli ini-itu, sambil bercerita apa saja yang membuat mereka tertarik. Rupanya kegiatan-kegiatan itu sangat digemari Zulfa. Termasuk praktek membuat juice buah segar di pagi hari.
Walaupun kami “memaklumi” kalau Zulfa mogok sekolah, bukan berarti kami ingin membiarkan kondisi itu terus berlangsung. Bagi kami, sekolah tetap penting. Lantas, kami terus coba berdialog dengan Zulfa, membangkitkan lagi kerinduannya dengan sekolah, membayangkan bagaimana enak-nya sekolah. “Di sekolah kan banyak temannya, di ajak jalan-jalan” dan seterusnya. Rupanya, lama-lama Zulfa “menyadari” itu. Hingga suatu hari, saya kembali mengantarkan Zulfa ke sekolah. Walaupun awalnya enggan dan ingin menangis, akhirnya Zulfa kembali menikmati sekolahnya. Hingga hari ini. Guru di sekolah pun, dari hasil bincang-bincang, mencari program-program pembelajaran baru untuk Zulfa. Hasilnya cukup melegakan. Saat ini Zulfa sering pulang sekolah ceria dengan cerita-cerita barunya.
Benar saja, dialog dan komunikasi lebih manjur daripada marah-marah. Saya jadi teringat nasihat Ustadz Fauzil Adhim tentang 7 kunci sukses mendidik anak. Saya hanya hapal 3 diantaranya : (1) Jangan Marah, (2) Jangan Marah, (3) Jangan Marah.. Nah.. sudahkah kita (tidak) marah hari ini ? (***Subhan Afifi)

Catatan : Tulisan ini dibuat 4 Oktober 2007 dan pernah di muat Majalah "Fahma",November 2007. Kini Azzam sudah kelas 2 SDIT Hidayatullah, Zulfa kelas 1 di Sekolah yang sama. Sejak masuk SD Zulfa semakin mencintai sekolah dan tak pernah ia mogok lagi.

Sekolah Unggulan Untuk Kaum Miskin

2:59:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi


Yogyakarta masih menjadi gudangnya sekolah unggulan. Dari tingkat TK hingga SMA, berbagai model sekolah unggulan, sekolah favorit, atau apapun istilahnya, dapat ditemui. Negeri maupun swasta tak jadi soal. Asal citra sekolah “wah”, fasilitas lengkap, kurikulum oke, maka para orang tua pun berbondong-bondong menyekolahkan putera-puterinya. Berapapun biayanya. Inilah masalahnya. Sekolah unggulan yang telah melahirkan banyak prestasi, hanya untuk the have, mereka yang punya duit banyak. Masyarakat tidak lagi kaget bila uang masuk TK atau SD, sudah berjuta-juta dan uang SPP perbulannya bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Lantas bagaimana nasib si miskin? Tak adakah bangku yang tersisa bagi mereka di sekolah unggulan itu? Tulisan ini tak hendak mengkritisi fenomena sekolah unggulan, tetapi mencoba menggagas upaya agar kaum miskin dapat “mencicipi” sekolah unggulan itu.






Sekolah unggulan sering dimaknai sebagai sekolah untuk melahirkan anak didik yang unggul dengan dukungan standar mutu untuk menciptakan prestasi siswa, kurikulum yang sarat muatan, guru berkualitas, sarana-prasarana yang lengkap dan pengelolaan sekolah yang baik. Profil sekolah unggulan di tengah masyarakatpun dapat dilihat dari prestasi siswa mulai dari juara berbagai lomba, tingkat kelulusan UAN, diterima di sekolah atau perguruan tinggi favorit, dan sebagainya.






Sayangnya untuk menikmati semua itu, sekolah unggulan meminta biaya sangat mahal. Untuk masuk sebuah TK unggulan di Yogya saja, uang masuknya jutaan rupiah. SD pun demikian, selain harus antre dan mendaftar beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka, orang tua rela merogoh saku dalam-dalam. SMP dan SMA sami mawon. Puluhan juta rupiah harus disediakan. Tak salah bila banyak pihak menilai sekolah unggulan hanya melayani golongan kaya (the have). Sekolah jenis ini sama sekali tertutup bagi kaum miskin (the have not). Kaum miskin akhirnya bersekolah –itupun kalau beruntung sekolah, karena lebih banyak lagi yang putus sekolah– di sekolah-sekolah dengan kategori “pinggiran” alias “tidak unggul” dan “seadanya”.

Usaha untuk mendirikan sekolah khusus untuk kaum miskin bukan tak pernah dilakukan. Berbagai model “sekolah alternatif untuk kaum miskin” telah dikembangkan di berbagai kota. Di Kalibening Salatiga misalnya, sebuah SMP untuk kaum miskin didirikan dengan konsep pendidikan murah dan berkualitas. Di Bandung, ada SMA khusus untuk kaum miskin yang digagas seorang pengusaha. Sekolah ini benar-benar gratis. Demikian juga di Jakarta, dan kota lain termasuk Yogyakarta, sekolah untuk kaum miskin telah didirikan oleh berbagai lembaga ataupun perorangan. Semua itu layak untuk diberi apresiasi, walaupun jumlahnya masih sangat terbatas dibanding dengan jumlah kaum miskin yang harusnya terlayani.







Menggerakkan Kembali Orang Tua Asuh
Selain membangun sekolah “khusus” untuk kaum miskin, ada cara lain menurut saya yang dapat dikembangkan agar anak-anak kurang beruntung itu dapat tersenyum mendapatkan pelayanan sekolah berkualitas. Caranya sederhana saja. Menyediakan sebagian dari bangku-bangku sekolah unggulan yang biasanya untuk kalangan the have saja. Artinya sekolah-sekolah unggulan tersebut memiliki kebijakan untuk mengalokasikan kursinya sebagian untuk kaum miskin. Terserah saja, 5 %, 10 %, 25 % 50 %, atau lebih dari itu. Tergantung kemampuan sekolah. Sekolah tidak perlu khawatir kehilangan pendapatan dengan masuknya siswa-siswa tak punya itu. Mereka akan tetap “membayar” tetapi melalui “orang tua asuh” mereka. Ya.. orang tua asuh. Sebuah program yang pernah menjadi gerakan nasional tetapi semakin kehilangan gaungnya. Orang tua asuh inilah yang akan membiayai siswa-siswa tak mampu itu belajar di sekolah unggulan. Teknisnya juga sederhana, sekolah membentuk sebuah unit kerja khusus untuk menggalang orang tua asuh. Berbekal proposal lengkap dengan profil calon-calon anak asuh yang tak mampu tapi punya prestasi tinggi, sekolah tidak susah untuk menggaet calon orang tua asuh. Mereka bisa ditawarkan berbagai paket pembiayaan untuk anak asuh, mulai dari membiayai SPP saja, buku, kegiatan, atau bahkan paket lengkap seperti membiayai anak sendiri. Perusahaan-perusahaan yang sedang gencar menjalankan program Corporate Social Responsibility juga layak untuk diajak membiayai kegiatan mulia ini. Tidak jarang justeru perusahaan atau perorangan merasa kesulitan menyalurkan dana sosial mereka. Program pendidikan untuk kaum miskin biasanya lebih dipilih karena lebih memberdayakan bila dibandingkan bantuan konsumsi habis pakai.

Bila program ini berjalan mulus, maka kelak “Program Orang Tua Asuh” dapat menjadi “core business” sekolah, tidak lagi mengandalkan SPP atau pungutan dari orang tua. Artinya, bisa saja sekolah benar-benar dapat diusahakan menjadi murah atau bahkan gratis karena dananya ditanggung oleh donatur. Sebagai ilustrasi, sebuah sekolah unggulan, SDIT Hidayatatullah, di kawasan Jogja Utara, setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada anak kurang mampu untuk menikmati layanan pendidikannya. Untuk keseluruhan kegiatan sekolah tersebut memiliki sumber pembiayaan dari SPP (48 %), BOS (17 %), donator (14 %), Komite Sekolah (20 %), Lain-lain (2%). Terlihat bahwa dana donator atau orang tua asuh jumlahnya hampir menyamai dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Bila usaha ini terus dilaksanakan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus meningkat. 14 % dana dari donatur dari keseluruhan pendapatan sekolah dapat digunakan untuk membiayai anak miskin.

Ilustrasi tersebut memperilihatkan bahwa program “Sekolah Unggulan untuk Kaum Miskin” itu dapat memberikan kontribusi besar dalam mengurai benang kusut persoalan pendidikan kita. Salah satunya adalah sekolah akan terhindar dari sikap diskriminatif. Sebuah prinsip dalam filosofi pendidikan yang sering dilanggar. Sekolah seharusnya terbuka bagi siswa dari semua jenis kalangan. Heterogenitas siswa memberikan dampak yang positif dalam keperibadian anak didik. Siswa dari golongan kaya dapat bersosialisasi dengan anak dari golongan miskin. Mengetahui kekurangberuntungan mereka, berempati hingga suatu saat muncul keinginan untuk berbagi. Siswa miskinpun akan muncul kepercayaan dirinya bila diberikan kesempatan bergaul dengan siswa yang lebih dari mereka dari segi ekonomi. Kepercayaan diri akan menghilangkan perasaan minder.
Selain itu, sekolah unggulan akan benar-benar meraih predikat “unggulan” yang sesungguhnya, bukan sebutan semu yang mengundang cibiran masyarakat. Jika selama ini sebutan sekolah unggulan dialamatkan kepada sekolah yang inputnya bagus, proses bagus dan outputnya bagus maka hal itu adalah wajar adanya. Sekolah akan benar-benar disebut unggul bila input yang diproses adalah dari kalangan yang “kurang bagus” lantas menghasilkan output yang istimewa. (***Subhan Afif)

Catatan : Tulisan ini dibuat 6 Desember 2006 dan pernah dimuat di harian Kompas Edisi Jateng-DIY, www.kompas.com/kompas-cetak/0612/16/jogja/1031803.htm

Berharap Visi Pendidikan dari Televisi

2:05:00 PM Diposting oleh Subhan Afifi

Setiap memperingati hari pendidikan nasional, rasa prihatin masih lebih dominan terasa dibanding haru biru kebanggaan karena prestasi. Betul, beberapa siswa kita meraih penghargaan internasional di ajang olimpiade fisika dan sejenisnya. Tetapi hanya, beberapa siswa yang berhasil menunjukkan mutu pendidikan dari sisi prestasi puncak itu. Selebihnya, bila kita bicara tentang mutu rata-rata anak didik kita, masih jauh dari harapan. Fakta-fakta yang menyesakkan dada tentang dunia pendidikan kita belum juga bisa teratasi. Mulai dari persoalan akses pendidikan yang belum berkeadilan, mutu pendidikan yang belum beranjak, hingga tata kelola pendidikan yang buruk dan menghasilkan citra publik yang tidak sedap tentang pendidikan nasional. Sayangnya seluruh komponen bangsa belum satu kata untuk membangkitkan pendidikan kita. Kebijakan tentang Standar Nasional Pendidikan yang diimplementasikan melalui Ujian Nasional di tingkat SMP dan SMA misalnya, justeru melahirkan budaya kecurangan yang konspiratif. Karena takut tidak lulus ujian nasional, yang berarti hancur sudah segala usaha dan upaya selama 3 tahun bagi siswa, dan hancurnya reputasi bagi guru, sekolah bahkan pemerintah daerah, maka praktek-praktek kecurangan yang dilakukan secara “berjamaah” mulai terungkap.

Di sisi lain, media massa, terutama televisi, sebagai pihak yang seharusnya mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan, belum mengedepankan visi pendidikan dalam program-programnya. Tak heran, bila Sidang Tanwir Muhammadiyah 2007 di Yogyakarta minggu lalu merekomendasikan satu persoalan penting di luar masalah sosial politik dan kelembagaan Muhammadiyah. Salah satu dari 13 rekomendasi Tanwir Muhammadiyah itu adalah : “Menyerukan kepada pengelola pertelevisian untuk tidak menayangkan acara-acara yang dapat merusak moral anak bangsa”.

Rekomendasi tersebut penting dan mendapat momentum yang tepat dengan peringatan hari pendidikan nasional. Selain pemerintah yang terus bekerja keras memperbaiki sisitem pendidikan, sekolah dan para guru yang terus bersimbah peluh dan air mata di garda paling depan, televisi juga harus mengambil peran dalam pencapaian tujuan pendidikan, terutama dalam pembentukan moralitas anak didik. Televisi adalah “pendidik” yang bukan tidak mungkin lebih di dengar siswa karena lebih atraktif, dibanding wejangan yang dianggap klasik nan kuno dari para orang tua dan guru.

Tugas televisi, seperti halnya media massa lainnya, dalam proses demokratisasi adalah memberi informasi, mendidik, menghibur dan kontrol sosial. Tugas-tugas yang lain, relatif telah terpenuhi. Apalagi tugas untuk menghibur, ini yang paling dominan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bandung TV Wacth terhadap televisi swasta, ditemukan bahwa porsi siaran yang bersifat pendidikan sangat kecil, hanya 6 %, selebihnya untuk informasi (27 %) dan hiburan (67 %) (Republika, 1 Mei 2007).

Tugas “mendidik” inilah yang perlu untuk terus dikritisi, mengingat menu-menu televisi yang dikonsumsi anak didik kita, justeru menjauhkan mereka dari nilai-nilai luhur pendidikan. Menu televisi yang mereka konsumsi tidak jauh tak jauh dari kekerasan, cabul yang berbalut kisah percintaan, perselingkuhan, dendam, amarah, dan seterusnya. Belum lagi acara yang berbau klenik, dan hantu, yang mengesampingkan akal sehat. Acara yang berbau relegiuspun lebih dekat dengan mistik dan khurafat. Kini malah sedang digencarkan program cerita cinta dengan lakon anak-anak. Mereka yang masih bau kencur itu sudah dilatih untuk terlibat cinta segitiga yang penuh konflik a la selebritis di acara infotainment. Belum lagi gambaran tentang sinetron-sinetron remaja yang sering menjadikan setting sekolah sebagai bumbu cerita. Celakanya, sekolah digambarkan tidak lagi menjadi institusi pendidikan yang mulia. Sekolah hanya jadi ajang rebutan cinta, pamer kekayaan, jauh dari realitas sekolah idial. Sekolah juga digambarkan berisi guru-guru galak, tidak berwibawa, sering dikerjain murid-muridnya, murid-murid tidak hormat lagi, pakaian tidak rapi dengan asesoris yang tidak umum, dan seterusnya. Tentu saja, tidak semua program televisi bernuansa seperti itu. Beberapa program ada yang relatif mencerdaskan bagi siswa, dan layak dikonsumsi. Tetapi secara umum, jumlahnya masih sangat minim.

Dalam konteks masyarakat Barat, anak-anak dan remaja memang dianggap mampu untuk mengorganisasikan apa yang mereka tonton dengan keseluruhan pengalaman domestik mereka, (Palmer dalam Burton 2000). Perilaku siswa dalam menonton televisi dan dampaknya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, gender, dan kematangan fisik dan sosial. Tetapi di sisi lain, di sana para orang tua memiliki tingkat melek media (media literacy) yang tinggi dan melakukan pendampingan terhadap anak-anak ketika menonton televisi secara aktif. Aturan tentang televisi di negara-negara maju juga sangat ketat. Komisi Independen bidang penyiaran diberikan wewenang sangat kuat untuk mengawasi isi siaran, terutama bila terkait dengan anak-anak. Akademisi mereka juga terus mengumandangkan “bahaya” televisi bagi anak-anak, terutama berkaitan dengan dampak televisi terhadap intelektualitas mereka. Jane M Healy misalnya, seperti dikutip Adhim (2004) mengingatkan : Higher levels of television viewing correlate with lowered academic performance, especially reading scores. (Kuatnya anak memelototi TV berhubungan erat dengan merosotnya prestasi akademik anak, khususnya nilai membaca). Anak yang terbiasa menonton TV, otaknya cenderung istirahat. Maria Conroy (1993) menyerukan agar orangtua melarang atau sekurang-kurangnya membatasi anak menonton TV dan vidiogame karena keduanya membuat anak menjadi pasif. Jane M Healy merekomendasikan agar anak-anak usia SD dan yang lebih tua dari itu menonton TV seminggu sekali. Kalau tidak bisa Healy menunjukkan batas waktu maksimum menonton TV berdasarkan usia anak. Menurut Healy, satu jam setiap hari bagi anak-anak usia pra sekolah merupakan waktu yang berlebihan untuk menonton TV, sedangkan satu atau dua jam bagi atas usia di atasnya merupakan batas maksimum.

Tidak demikian dengan anak-anak dan remaja di negara berkembang seperti di Indonesia. Anak didik kita masih tergolong dalam “penonton pasif” yang siap menelan mentah-mentah materi tontonan dan melakukan duplikasi tanpa bersikap kritis sedikitpun. Kasus Smack Down yang memakan korban banyak anak beberapa waktu lalu adalah bukti empiris. Ketidakmatangan sosial dan daya kritis ini anak diperburuk oleh sikap orang tua yang sebagian besar belum “melek media”.Kemampuan memilih dan memilah program yang ramah untuk keluarga masih terbatas. Anak-anak dibiarkan “diasuh” oleh televisi hingga berjam-jam dalam sehari karena dianggap meringankan beban orang tua. Jam tayang yang seharusnya masuk dalam kategori dewasapun luput dari pengawan orang tua, dan anak-anak bebas menikmatinya. Di sisi lain, kita memang telah memiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berdasarkan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 tentang penyiaran diberikan wewenang untuk mengawasi. Tetapi, persoalan yang menghadapi KPI masih cukup rumit, mulai dari wewenang yang terus dikebiri melalui peraturan pemerintah, hingga persoalan kelembagaan menyebabkan KPI belum dapat langsung bertindak.

Harapan yang masih tersisa adalah memohon dengan kerendahan hati kepada para pengelola televisi untuk lebih mengedepankan “nurani”, tanggung jawab sosial dan visi pendidikan mereka. Mereka sendirilah yang seharusnya menerapkan sensor mandiri (self cencorship) bagi program-program acara. Sangat bisa dipercaya, pengelola televisi adalah orang-orang profesional yang sebenarnya sangat mengerti mana program-program yang mencerdaskan, mana acara-acara yang sampah. Kepentingan kapital atau keuntungan tak akan hancur seluruhnya bila televisi mengedepankan tanggungjawab sosial dengan menyajikan acara-acara yang bermutu dengan visi membangun pendidikan anak bangsa. Bukan tidak mungkin justeru akan menjadi lebih optimal, karena dukungan publik. Saatnya ambiguitas televisi dihentikan. Disatu sisi menyajikan acara-acara relegius, bahkan untuk anak-anak ada kontes da’i cilik, tetapi disisi lain program-program sarat kekerasan,mistis, dan seks, jalan terus. Visi pendidikan televisi sangat berkontribusi bagi perbaikan pendidikan nasional kita. (**Subhan Afifi)

Catatan : Tulisan ini dibuat 1 Mei 2007, pernah di muat di harian Merapi, 2 Mei 2007